A Comparative Analysis towards Synthesis of a client oriented model (COM), and its implications for urban housing consolidation process (case study: slums-squatter settlements in Surakarta city)

ARAP MATINGUNY ADRIS, Prof. Dr. Suratman; Prof. Dr. Baiquni

2015 | Disertasi | S3 Ilmu Lingkungan

Permukiman atau perumaham merupakan salah satu kebutuhan pokok oleh manusia maunpun makhluk makhluk lain lain. Tetapi kesediaannya dalam masysrakat sudah menjadi masalah yang tidak bias terlepas. Para ilmuan seperti Turner J. dan kawawas pada decade ke 60-an yang lalc mengajukan pendapat bahwa apa yang sedang dilakukan oleh masyarakat miskin di saerah permukiman kumuh dan liar akan menjadi salah satu solusi dalam menghadapi masalah ini apa bila tersediannya infrustruktur dan terjaminnya keamanan tentang kepemilikan tanah. Keberadaan permukiman kumuh dan pendistribuian fasilitas terkait seperti air bersih dan MCK telah menjadi masalah besar di perkotaan perkotaan dunia. Dalam studi ini, dasar pemikirannya adalah bahwa untuk memecahkan permasalahan ini, perluhnya suatu pemahaman komprehesip tentang faktor faktor penyebab kekumuhan dan faktor faktor pendorong proses perbaikan permukiman oleh masyarakat itu sendiri. Dengan ini, kita menyusun suatu pendekatan yang kita sebut Client-Oriented approach. Argumentasinya adalah bahwa intervensi publik oleh pemerintah harus ditentukan oleh kebutuhan untuk rumah atau fasilitas terkait dengan melakukan idetifikasi mereka yang butuh berdasarkan tesis - Etika Keperdulian dan Yang lebih kuat akan bertahan. Dengan kata lain, berarti untuk mencapai tujuan tersebut, akan pentingnya mencari tahu "Seberapa marginal atau miskin masyarakat permukiman kumuh - liar di anata kedua kota Surakarta dan Yogyakarta sebagai wilayah studi kasus. Adakah perbedaan signifikan antara masyarakat ini dalam proses perbaikan permukiman mereka atau housing consolidation? Setelah menulusurih secara luas tentang konsep konsep dan teori teori yang telah diajukan oleh para peneliti terdahulu, studi ini akhirnya mengahasilkan beberapa hal antara lain: pemahaman bahwa karena sumbangan sumbangan positip oleh permukiman permukiman kumuh ini pada pembangunan dan kemakuan daerah daerah perkotaan maupun nasitional, keberadaan permukiman permukiman ini dan masyarakatnya adalah manifestasi kehidupan normal sehingga tidak perlu robokkan tetapi bantuan untuk perbaikan. konsep konsep Turner J. dan kawan seperti bangunan oleh pribadinya orang (Selfhelp), membangun rumah adaah sebuah proses (Housing as a process), atau kemiskinan adalah sebuah proses (Marginality as a process), dan lain lain tidak berfilsafat dasar. Karena itu dalam studi ini, kita ajukan sebuah pendapat bahwa berdasarkan pada teori ekologis, perlunya pembangunan permukiman didasarkan pada filsafat sistim ekologis. Dengan demikian,, studi ini menyusun sebuah teori The Covering Law dan Filsafat Etika Perduli yand terdiri dari dua bandangan yaitu Etika Perduli (Care Ethic philosophy) dan Aku (philosophy of Self). Model matematis untuk pendistribuian rumah dan fasilitasnya (Client-Orinted Model) dengan tujuan mencoba membantu dalam perumusan strategi identifikasi mereka yang butuh. Tiada diskriminasi anatara masyarakat kumuh, ngindung (magarsari) atau wedigenser yang signifikan dalam kedua kota. Ini mungkin karena tanah ini adalah Hak Ulayat yang tidak dimiliki perorangan tetapi hak yang didasarkan pada keakraban rakyat dan pemiliknya yaitu seorang Raja atau Sultan. Dalam masyarakat ini, ada juga yang mengaku punya hak milik tetapi surat surat kepemilikan tersebut sudah tidak sesuai dengan kebijakan pertanahan Kraton maupun Negara (PPN). Kebanyakannya adalah surat surat VERPONDING yang dikuasakan oleh pemerintah Belanda. Negara Indonesia secara nasional sudah gagal mencapai tujuan Kesejeterahan rakyat dan Filsafat Dasar Negara, Pancasila sudah perantakan. Ini disebabkan oleh system penjalanan Negara yang tidak didasarkan pada Prestasi tetap 3D (Dhulur, Duit, dan Dukun atau Paranormal. Secara kesimpulan, melalui flsafat Etika Perduli - Aku, Client-Oriented model, pemeliharan sebuah kubuk oleh pemiliknya dengan proses perbaikan atau konsolidasi dapat menjadi salah satu cara tercapainya tujuan rumah untuk semua. Ini bias jada karena dalam proses tersebut, terdapat tiga prinsip penting: pemrintahan pribadi dalam menyediakan rumah untuk dirinya, teknologi yang dipakai cocok, tidak mahal karena sesuai dengan kemampuan pribadi pembangunan rumah rumah sesuai dengan batas area masing masing. Prinsip ini megajak pihak autoritas kepemerintahan untuk membatasi aktivitas aktivitas swasta dan perusahan perusahan mereka supaya tersedianya lahan untuk orang orang tidak mampu.

The issues in housing and quality of residential environments are more complicated than usually thought. We need to be concerned with both the physical characteristics of housing and an index of the quality of maintenance. There are many instances of what were originally mega houses being rundown in decaying areas and used by different kinds of households. In the history of urban modelling ignited by the advent of the computer technology great advancements have been made into the 1980's. Irrespective of this advancement, enormous critiques of these models have been documented (Sayer, 1976; Harvey 1989 and Brewe, 1973). What is common amongst these critiques was their call to the researchers to re-examine basic theoretical underpinnings. In other words, what is required is a scrutiny of the usefulness of present output models. This is because in the past, modellers had focused on the direct use of model predictions for planning without fully understanding the rich information based created from both data inputs into models and the outputs of the model simulations. The central aim of this research is to develop and articulate a systematic and comprehensive framework for the conceptual identification and calculations of model-based performance indicators in a variety of public and private sector environments. Although the emphasis is more likely to be on equity or effectiveness in the urban housing sector as well as efficiency in the private sector, both applications will need to focus on indicators relating to households and individuals as well as indicators concerning facility allocation. The spatial interrelationship between these two sets of indicators hopefully will offer new insights into the age-old equity-efficiency problem of slum - squatter settlements. This study reviews traditional indicators in each area of research and offer a Facility Allocation framework based on model outputs. The central argument is that a powerful new urban social environment is possible through the specification of residence and facility based indicators. In the contest of this study, models are usually seen as filling gaps in databases so that data and model outputs together constitute an expanded urban ecological information system, which can provide the basis for performance indicator computations. In a sense therefore, the rest of the argument is an attempt to provide a design for such an information system with modelling methods providing inputs and the outputs being performance indicators. In Chapter Two, we review the changing planning environments and the history of both marginality and the taudification processes. Outstanding here are the works of Turner J. and colleagues on the slumsquatter development. Turner J. clearly makes much contribution on the process of low-income housing development through hi theory of Self-help housing consolidation process. By reviewing these studies, the study at hand picks interest in the need of the use of model-based research, aiming at particularly linking to the ideas of accessibility and consumer welfare. The message here is that it is possible to build on this early research to aid articulate performance indicators more attuned to key planning problems of the day in the urban environments. Also in this chapter, insight is thrown on the wonder whether Turner's phrases of self-help and housing consolidation are philosophically founded. It is seen that Turner's theory of self-help is teological rather than a systems philosophy. The study finally emerges with two philosophies i.e. Self and Care Ethic. The emphasis in Chapter Four is on more comprehensive analysis of both the quantitative and qualitative data inputs from traditional indicators in both Sangkrah and Sendowo-Blimbingsari study areas. From such an analysis, we can offer new insights into the dynamics of the behavioural components of such indicators. We are particularly interested in how the outputs of such a Facility Allocation Model (FAM) can be related to housing quality or consumer welfare measures. Thus building on the indicators or variables reviewed in Chapter Three, we focus on socio-economic variables for the low-income housing sector and explore their spatial distribution to provide a more powerful set of residence and facility indicators of socio-economic, settlement and environmental planning. The Facility Allocation Model (FAM) developed here is expected to show how such a package or suite of indicator variables can be effectively used to monitor the state of housing and city, and to shed light on the variations in performance between its individual localities. This is because one of the major problems that studies on low-income settlements has faced to date has been that of 'ecological fallacy'of attributing average conditions to the entire population of the study area. Although the focus on homogenous populations may be vital for exposing general levels of housing marginality, it is important to appreciate that these will vary between different sections of the community. Therefore, in this study, we find that these housing marginality indicators become interesting when low-income settlements are disaggregated by type Ts say land tenureship into Slum Quasi-squatter and Squatter settlements.

Kata Kunci : urban housing consolidation