PENGEMBANGAN METODE BARU SURVEILANS LEPTOSPIROSIS DENGAN PENDEKATAN EPIDEMIOLOGI PENYAKIT DI KOTA SEMARANG, JAWA TENGAH
DRS. RISTIYANTO, M. KES, Prof.dr. Supargiyono, DTM&H, SpPar(K).; Prof.Drh. Setyawan Budiharta, MPH, PhD.
2015 | Disertasi | S3 Ilmu KedokteranPendahuluan. Di Kota Semarang, sejak tahun 2002 sampai saat ini, kasus leptospirosis cenderung meningkat. Tahun 2002 dilaporkan tiga kasus dan satu kasus meninggal dunia. Berdasarkan data kasus leptospirosis dari rumah sakit di Kota Semarang, Jawa Tengah diperkirakan per tahun angka kesakitan 4,14% dan angka kematian 16,92%. Pada tahun 2009 dilaporkan 235 kasus dan 9 kasus meninggal dunia. Kejadian luar biasa (KLB) sering terjadi, bahkan 4 tahun terakhir kasus leptospirosis cenderung tersebar luas secara acak hampir di seluruh kecamatan Hasil penyelidikan epidemiologi Dinas Kesehatan Kota Semarang (2013) menunjukkan bahwa kasus leptospirosis sering ditemukan pada para pekerja kasar (buruh, tukang sampah, dan lain-lain) dan pengangguran/tidak bekerja, berjenis kelamin laki-laki dan berumur produktif (15..50 tahun). Selain itu, ditemukan pula kasus leptospirosis pada pemelihara anjing. Hasil penelitian Gasem dkk. (2002), menemukan bakteri Leptospira interrogans serovar Canicola pada pasien leptospirosis dan anjing peliharaannya. Penanggulangan leptospirosis telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Semarang meliputi pemantauan leptospirosis di rumah sakit, penyelidikan epidemiologi (PE) di sekitar tempat tinggal penderita, ceramah klinik leptospirosis bagi dokter Puskesmas dan Rumah Sakit, pertemuan pencegahan penularan leptospirosis bagi petugas Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang (P2B) dan petugas Surveilans Puskesmas, penyediaan/pelatihan rapid diagnostic test (RDT) bagi tenaga Puskesmas, penyuluhan kesehatan kepada masyarakat tentang leptospirosis, penapisan leptospirosis di area pembuangan sampah dan di daerah rawan banjir, serta rapat koordinasi di lokasi KLB leptospirosis bagi Puskesmas. Walaupun telah dilakukan penanggulangan leptospirosis tersebut di atas, namun kasus leptospirosis masih sering ditemukan dan menimbulkan kematian. Kesimpulan; Pada penelitian ini diperoleh 5 faktor risiko mempengaruhi kejadian leptospirosis di Kota Semarang yaitu, kondisi selokan yang buruk (OR=5,58; 95%CI: 1,5520,01; p=0.008), Adanya tikus/ di dalam dan atau sekitar rumah (OR=4,52; 95%CI:1,2716,16; p=0.020), Adanya riwayat luka (OR=12,16; 95%CI: 2,99-49,37; p<0.001), Adanya riwayat banjir (OR=5,16 95;CI 2,34-11,42; p<0,0001) dan ketersedian tempat sampah (OR=5,71 95;CI 1,41-15,59 p=0,002). Faktor risiko kejadian leptospirosis yang sesuai digunakan sebagai unsur surveilans leptospirosis adalah keberadaan tikus di lingkungan rumah dengan indikator keberhasilan penangkapan. Pemodelan sistem dinamins kejadian leptospirosis berdasarkan faktor risiko yang diperoleh selokan yang buruk, adanya tikus/ di dalam dan atau sekitar rumah, adanya riwayat luka, adanya riwayat banjir dan ketersedian tempat sampah berhasil memprediksi bahwa intervensi pengendalian tikus, perbaikan selokan, perawatan luka, dan pengelolaan sampah pada penduduk selama 5 tahun di Kota Semarang akan menurunkan kasus leptospirosis berkisar antara 63,46-98,30%. Metode surveilans leptospirosis berbasis pelayanan kesehatan masyarakat dirancang dengan membagi 4 kategori daerah yaitu, daerah KLB, daerah fokus, daerah sporadis dan daerah bebas, dengan kegiatan penemuan kasus leptospirosis secara aktif dan pasif dan survei tikus di daerah KLB dan Fokus. Rekomendasi. Perbaikan terhadap kondisi selokan-selokan yang ada di Kota Semarang dengan maksud untuk memperlancar aliran air selokan dan mengurangi banjir. Kerjasama dalam pemeriksaan laboratorium untuk penegakan diagnosis dari kasus leptospirosis yang tersaring di Puskesmas. Menfasilitasi/membekali masyarakat untuk melindungi dirinya dari penularan leptospirosis dengan cara penyuluhan kesehatan dan uji coba mengaplikasikan metode surveilans leptospirosis berbasis pelayanan kesehatan oleh Puskesmas untuk menentukan efektifitas dan efisiensinya.
Leptospirosis outbreak is often found in Semarang city, Central Java, and causes death annually. It needs an effort to avoid the distribution and growth of the case, effectively and efficiently. One of the efforts is the development of Leptospirosis surveillance method based on public health care (Puskesmas). The main objective of the study is to develop the new surveillance method based on public health care (Puskesmas) in Semarang City, Central Java. The specific objectives are to identify and analyze all main risk factors of Leptospirosis, from the side of the host, agent, and the environment, then used as Leptospirosis surveillance variable based on public health care (Puskesmas). The dynamic simulation model then built to describe the association of Leptospirosis risk factor in Semarang City, Central Java, and the alternative interventions. The research conducted in January-December 2013 and January-December 2014. The research design was casecontrol. Early diagnosis of leptospirosis in human used modified-Faine criteria, continued by laboratory assay using rapid diagnostic test (RDT), micro-agglutination test (MAT) and polymerase chain reaction (PCR). The sample size was 62 Leptospirosis cases and 62 controls. The Leptospirosis case criteria are positive on laboratory assays of RDT, or MAT, or PCR. Controls are people with negative results of the laboratory assays above. Data analysis used univariate, bivariate and multivariate assays. Rats and environmental surveys, including water pH) were also conducted. The rats were collected using live trap indoor and outdoor. The water pH was measured using pH-meter. Five risk factors of Leptospirosis were obtained in Semarang City: poor drain condition (OR=5,58; 95%CI: 1,55-20,02;p=0.008), the existence of rats indoor or around the houses rumah (OR=4,52; 95%CI:1,27-16,16;p=0.020), injure or wound history (OR=123,16; 95%CI: 2,9949,37;P<0.001), flood history (OR=5,16 95%CI:2,34-11,42;P<0.001), and the presence of the garbage bin (OR=5,71 95%CI1,41-15,59 p=0.002). The suitable Leptospirosis risk factor used as surveillance variable is the presence of rats in settlements with success capture indicator. The dynamic system modeling of Leptospirosis based on risk factors (poor drain system, the presence of rats indoor and outdoor, injure or wound history, flood history, and the presence of garbage bin) were succeed to predict that rat s control intervention, drain restoration, wound management, and waste management in the population for 5 years in Semarang City caused the decline of Leptospirosis 63.46-98.30%.
Kata Kunci : Leptospirosis, Outbreak, Early diagnosis, surveillance method, public health care