Adat dan Kuasa: Studi Tentang Upaya Penyimbang Adat di Lampung Meraih Kekuasaan di Era Reformasi
ARIE OKTARA, Amalinda Savirani, MA.
2015 | Tesis | S2 Politik dan PemerintahanStudi ini berusaha menjawab satu pertanyaan utama, yakni Bagaimana Strategi Penyimbang-penyimbang Adat di Lampung Untuk Meraih Kekuasaan di Era Reformasi?Penyimbang adalah sebutan bagi para pemimpin adat di Lampung. Paling tidak hingga masa Pemerintah Kolonial Belanda, para penyimbang memegang peranan penting secara sosial politik di Lampung karena statusnya sebagai entitas yang memuncaki hierarkhi masyarakat adat. Namun peranan mereka terkikis secara bertahap seiring berdirinya Republik Indonesia dan mencapai puncaknya pada masa Orde Baru terutama setelah diterapkannya UU 5/ 1979 tentang Pemerintahan Desa, yang mengganti seluruh sistem pemerintahan tradisional di Indonesia dengan desa yang dipimpin oleh kepala desa yang dipilih secara langsung. Terhitung sejak itu, kekuasaan para penyimbang di Lampung praktis hilang. Semenjak reformasi dilangsungkan pada 1998, tuntutan untuk mendistribusikan kekuasaan yang semula tersentralisasi, massif dilancarkan oleh daerah-daerah. Sejak itu pula, usaha para penyimbang di Lampung untuk meraih kekuasaan dengan memanfaatkan status simboliknya sebagai pemimpin di masyarakat adat, berlangsung secara massif. Seperti yang terjadi di daerah lainnya di Indonesia, kebangkitan para pemimpin adat di Lampung makin marak terutama semenjak dikeluarkan serta diterapkannya UU 22/ 1999 yang di antaranya menyatakan negara mengakui masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup. Berbagai strategi kemudian dilancarkan oleh para penyimbang untuk meraih kekuasaan. Studi ini menemukan bahwa strategi yang mereka lancarkan bergantung terutama kepada tiga faktor yang saling berkaitan; kepemilikan kapital (ekonomi dan kultural); kepemilikan jaringan; serta perubahan sosial politik di daerah. Ketiga faktor tersebut, berkelindan dengan isu politik, kemudian berpengaruh terhadap pemilihan strategi yang mereka gunakan untuk meraih kekuasaan: menempel, atau vis a vis dengan negara, atau dalam terma Accaioli yang dipinjam untuk mengerangkai studi ini: officializing strategy atau opposing strategy. Di beberapa kasus, kedua strategi tersebut malahan dilancarkan bergantian atau bahkan bersamaan. Akhirnya, studi ini menggarisbawahi beberapa hal sebagai catatan atas kajian serupa yang pernah dilakukan. Pertama, kajian ini menyetujui bahwa permasalahan mendasar dari kekuasaan-dalam konteks kebangkitan adat-adalah legitimasi, atau sesuatu yang membenarkan, merasionalisasikan kehadiran (pemimpin) adat. Kedua, bahwa strategi yang dilakukan oleh para pemimpin adat untuk meraih kekuasaan di aras lokal di era reformasi terkait erat dengan isu, yang kemudian mempengaruhi pemilihan strategi. Ketiga, studi ini melengkapi studi-studi sebelumnya, bahwa pintu masuk para pemimpin adat di banyak daerah di Indonesia untuk meraih kekuasaan di ranah lokal bukanlah UU 22/1999 seperti yang selama ini diamini, namun justru runtuhnya Orde Baru itu sendiri.
This study try to answer one main question: How is The Strategies Of Penyimbang Adat In Lampung To gain Power In The Era of Reform? Penyimbang is a term for adat leaders in Lampung. At least until the Dutch Colonial Government, the Penyimbang plays an important role in social and political in Lampung because of its status as an entity who topped the hierarchy of adat. But their role is eroded gradually as the establishment of the Republic of Indonesia and culminated in the New Order era, especially after the implementation of Law Number 5/ 1979 about Village Governance, which is to replace the entire system of traditional governance in Indonesia with the village, led by the village head who directly elected. As from then, the power of the Penyimbang in Lampung practically lost. Since what is called reformation took place in 1998, the demand for distribution of power which was centralized in the New Order era, massively waged by many regions in all over Indonesia. Since then, the efforts of Penyimbang in Lampung to gain power by exploiting its symbolic status as a leader in adat communities also took place on massive scale. As happened in other areas in Indonesia, the rise of adat leaders in Lampung more intense especially since of Law 22/ 1999 was issued and then being applied. This law among others contains the recognition of state on adat law communities along with their traditional rights as long as they still alive. Various strategies then performed by penyimbang to waged for power. This study found that the strategies they have embarked depend primarily on three factors that are interrelated; ownership of capital (economic and cultural); network; and last factor is social and political changes in the region. These three factors, intertwined with political issues then affects the selection of strategies they use to gain power: collaborating, or contradicting the state, or in Accaioli terms that used for this study: officializing strategy or opposing strategy. In some cases, both strategies were waged alternately or even simultaneously. Finally, this study underlines some notes on similar studies that have been done. First, this study agreed that the fundamental issues of power-in the context of adat resurrection-is the problem of legitimacy, or something to justify or rationalize the presence of adat (leader). Secondly, that the strategy undertaken by adat leaders to gain power at the local level in the reform era is closely related to (political) issue, which then influence the strategy to (re) gain power. Third, this study complements previous studies that says the entrance used by the adat leaders in many areas in Indonesia to (re) gain their power in the local sphere is not Law 22/1999 as agreed by many. This study found that in the context of Lampung, the entrance used by indigenous leaders it is the collapse of the New Order itself.
Kata Kunci : Adat, Penyimbang, Kekuasaan, Officializing Strategy, Opposing Strategy