PERLAWANAN SIMBOLIK ORANG KAMPUNG PRAWIROTAMAN Respon Terhadap Pariwisata Dan Perubahan Ruang Fisik Perkotaan Yogyakarta
AGNES PRANUGRAHANING RISMARDIYANTI, Dr. Setiadi, M.Si
2015 | Tesis | S2 ILMU ANTROPOLOGIBranding Yogyakarta sebagai daerah tujuan wisata telah mengubah kondisi tata ruang perkotaan. Perkembangan industri pariwisata saat ini telah sampai ke tingkat kampung, lingkungan pemukiman tradisional di kawasan perkotaan. Di kampung yang telah terkenal sebagai pusat akomodasi, restaurant, cafe, bar,pembangunan gedung-gedungnya terjadi semakin intens. Pada titik ini, kampung tidak hanya menjadi tempat di mana masyarakat tinggal tetapi juga ruang di mana negara, pasar, dan pertemuan kepentingan masyarakat saling berkontestasi terutama dalam hal penggunaan ruang. Hilangnya ruang yang bisa diakses oleh masyarakat di tingkat kampung di Yogyakarta akibat perkembangan industri pariwisata masih belum banyak diteliti. Studi ini mengkaji bagaimana respon masyarakat terhadap transformasi yang terjadi di kampung mereka, di mana pengembangan pariwisata tumbuh berhimpitan dengan kehidupan sehari-hari warga dan menyebabkan hilangnya ruang yang bisa diakses oleh masyarakat. Studi kualitatif dilakukan di Kampung Prawirotaman, di mana pembangunan industri pariwisata sedang terjadi secara masif. Wawancara mendalam, observasi partisipasi, dan analisis wacana dilakukan sebagai metode pengumpulan data primer dan telah menghasilkan tiga temuan utama. Melalui studi ini disimpulkan bahwa (1) pengembangan Pariwisata di Yogyakarta adalah bagian dari agenda politik dan ekonomi rencana pembangunan negara. Pariwisata tumbuh sebagai industri yang telah mencapai tingkat kampung. Pada poin ini, kampung tidak lagi hanya menjadi ruang tinggal masyarakat perkotaan tetapi juga merupakan ruang yang saling terhubung dengan dunia luas di mana mobilisasi nilai-nilai, ide-ide, modal, dan manusia terjadi dengan mudah. (2) Sebagai ruang fisik, pengembangan pariwisata meninggalkan sedikit ruang bagi masyarakat lokal untuk melakukan praktek keseharian mereka. Sebagai ruang sosial, Kampung Prawirotaman telah dibentuk lebih sebagai kawasan industri pariwisata daripada sebagai komunitas itu sendiri. Keadaan ini mendorong masyarakat untuk memberikan responnya. (3) Masyarakat menunjukkan bahwa mereka tidak pasif. Dengan keterbatasan akses dan modal ekonomi, mereka memanfaatkan modal sosial untuk membuat acara budaya sebagai bentuk perlawanan simbolik. CFN-Prawirotaman, apeman, dan perubahan nama jalan, mencerminkan perlawanan mereka terhadap pengembangan industri pariwisata.
Branding Yogyakarta as a tourist destination has changed the city's urban scape. Tourism development now reaches down to the kampung level, the typical Javanese traditional-urban settlement neighborhood. In a kampung where has been well-known as a tourist area, the development of tourist-related buildings are getting intense. At this point, kampung is not only a place where community live but also it is a space where state, capitals, and community interest encounter, especially in terms of the allocation of space. The loss of space at kampung community level in Yogyakarta due to tourism development has not been studied. This study examines how the community response to the transformation that take place in their kampung, where tourism development is juxtaposed with their daily lives and lead to the loss of space for community. In order to meet the main research question, the study are following some area of explorations: - The political and economical background of tourism development in Indonesia and Yogyakarta; - The physical and social change in a kampung due to tourism developments - Cultural event as a symbolic struggle; A qualitative study in Kampung Prawirotaman, where tourist-related buildings are developing massively, has been conducted. In depth interview and participation observation as primary data gathering method have led to three main findings. This study argues that (1) Tourism development in Yogyakarta is part of political and economic agenda of the state development plan. It grows as industry that has reached the kampung level. Thus, kampung is not longer only an urban backstreet neighborhood but also it is an interconnected space where values, ideas, capital, and people transverse easily. (2) As a physical space, development of tourism leaves limited place for local community to carry out their daily life. As a social space, Kampung Prawirotaman has been constructed more as an industrial touristic than the local community itself. These circumstances drive community to response. (3) The community shows that they are not passive. Within their limited access of economic capital, they make use of their social capital to create an cultural event as a symbolic struggle. CFN-Prawirotaman, Apeman, and the shifting of street name reflect their resistance to the tourism industry development.
Kata Kunci : tourism, development, urban-scape, symbolic struggle, kampung, pariwisata, pembangunan, kawasan perkotaan, perlawanan simbolik, Jawa, Yogyakarta