CERITA SILAT NAGABUMI 1 SEBAGAI PARODI POSMODERNISME
AWLA AKBAR ILMA, Dr. Supriyadi, M.Hum.
2015 | Tesis | S2 Ilmu SastraPada tahun 2009 muncul karya terbaru Seno Gumira Ajidarma (SGA) dengan judul Nagabumi 1. Karya ini mengandung fakta sejarah yang dominan sehingga mengaburkannya sebagai fakta atau fiksi. Meskipun demikian, penelitian berasumsi bahwa Nagabumi 1 merupakan karya fiksi yang menggunakan fakta sejarah sebagai salah satu unsurnya. Terkait sosok SGA sebagaisastrawan produktif yang terkenal kritis terhadap kondisi sosial politik Indonesia, penelitian ini pun berasumsi bahwa fakta sejarah telah digunakan di dalam fiksi untuk mengangkat gagasankritis terhadap kondisi reformasi. Untuk membuktikan asumsi tersebut, penelitian ini menggunakan teori posmodernisme Linda Hutcheon sebagai alat analisis sebab teori ini menjelaskan bahwa fakta sejarah digunakan dan disalahgunakan dalam fiksi untuk mengangkat gagasan kritis yang bersifat kontekstual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cerita silat Nagabumi 1merupakan cerita parodi posmodernisme sebab dibangun berdasarkan penggunaan dan pengembangan fakta sejarah Kerajaan Sriwijaya dan Mataram abad 8-9 sehingga memunculkan penyimpangan-penyimpangan atas fakta sejarah itu sendiri. Proses demikian ternyata dilakukan untuk mengangkat kritik sosial. Hal yang menjadi poin penting kritiknya, yakni maraknya konflik sosial dan politik dalam pemerintahan baru serta sikap pragmatis penguasa dalam melegitimasi kekuasaan dengan mengatasnamakan agama dan membatasi pengetahuan. Sikap penguasa demikian ditunjukkan sangat menyengsarakan rakyat sehingga mereka berkali-kali melawan meskipun perlawanannya dapat digagalkan. Pandangan kritis demikian bersifat alegoris dengan situasi awal Reformasi. Hal itu ditandai dengan maraknya konflik sosial politik di daerah-daerah akibat pluralisme yang menajam serta munculnya sikap pragmatis sebagian oknum penguasa. Sikap pragmatis ini tampak melalui penggunaan berbagai cara untuk melegitimasi kekuasaan terutama memanfaatkan kekuatan agama. Pemilu 1999 jelas menunjukkan keberhasilan agama sebagai kekuatan utama legitimasi. Melalui tokoh utama cerita, SGA tampak mengomentari situasi ini dengan menekankan gagasan antitotalitas antara lain: independensi dan anti kekuasaan, mendukung kesetaraan termasuk mengakui keberagaman dalam beragama, serta mendukung kebebasan berpengetahuan dan berpendapat sehingga kebenaran diartikan tidak bersifat mutlak, tetapi cair dan dialogis.
In 2009, Seno Gumira Ajidarma (SGA) launched a new literary work, entitled Nagabumi I. There are dominant historical facts in this work. However, they cannot be found easily because fiction and facts come together in this work. This research considers that the historical facts are the main element of Nagabumi I. It is because SGA is known as a productive writer who often criticizes the condition of social-politic in Indonesia. Therefore, the researcher assumes that the historical facts have been transformed intentionally into fiction to criticize the condition of reformation. In order to prove this assumption, the researcher applies Linda Hutecheon’s postmodernism theory. It reveals that historical facts can be misused in fiction to voice critics toward some contextual conditions. The result of this study shows that the silat story of Nagabumi I is a kind of postmodernism parody. In this story, there are the use and the development of historical facts about Sriwijaya and Mataram kingdom in eight and nine century. However, those historical facts are distorted intentionally to criticize social condition. The condition relates to social and politic conflicts in the new government. The government was pragmatic; they used religion and restricted society to get more knowledge in order to legitimate their authority. A lot of protests came to the government, but they could overcome and silenced them. This critical view is allegoric with the condition of early Reformation. It is proved by the emergence of social-politic conflicts in numerous districts as the effect of pluralism and pragmatism. In election 1998, it can be seen how religion became a tool to get legitimation. Through the protagonist of Nagabumi I, SGA comments this condition by using the anti-totality concepts, which consist of: independence and anti-authorization, creating equality by respecting religious diversity, improving knowledge and chances to speak up. Thus, the truth will not be defined as an absolute power, but a dynamic and dialogic one.
Kata Kunci : Nagabumi 1, posmodernism, facts and fiction, allegory, and antitotality.