Rethinking Waria Discourse in Indonesian and Global Islam: The Collaboration between Nahdlatul Ulama Islamic University Activists and Waria Santri
HARY WIDYANTORO, Gregory Vanderbilt, Ph.D.
2015 | Tesis | S2 Agama dan Lintas BudayaPermasalahan LGBT semakin menjadi hal penting untuk dikaji berbagai kalangan dalam dunia global. Asia Tenggara, sebagai benua di mana kebangkitan agama sangat signifikan, permasalahan LGBT didiskusikan dalam kerangka agama. Salah satu contohnya adalah bagaimana institusi agama semakin berkembang di Indonesia dan ikut andil berbicara soal demokrasi, ekonomi, dan perkembangan sosial. Penelitian ini menyajikan kolaborasi antara akademisiaktifis Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara dan santri waria Pesantren Waria al-Fatah, Yogyakarta, di mana wariabisa melakukan ritual keagamanan sesuai dengan kesadaran gender mereka. Program ini menjadi jawaban dari diskursus mainstream, yang menganggap waria sebagai orang yang sakit dan menyimpang, sehingga perlu disembuhkan. Penelitian ini mencoba menjawab tiga pertanyaan, bagaimana para aktifis kembali berpikir tentang diskursus waria, aktif menjalankan Program Pendampingan Praktek Keagamaan Waria, dan diskursus apa yang di diskusikan dan disarankan oleh aktifis. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya melakukan penelitian lapangan selama lima bulan. Selama itu, saya melakukan interview kepada para akademisiaktifis dan juga salah satu waria, dan participant observation di setiap acara mereka. Beberapa naskah yang berhubungan dengan program juga menjadi data dalam penelitian ini. Penelitian ini mencoba menjelaskan tiga poin. Pertama, terjadi proses berpikir kembali tentang gender binary oleh para aktifis dari Uiversitas Nahdlatul Ulama, yang akhirnya membuat mereka merasa ada kekosongan hukum dalam Islam tentang persoalan waria. Akhirnya, mereka menyuarakan fiqh kusus waria. Kedua, konsep global mengenai teologi pembebasan Islam dan ahl sunnah wa aljamaah, yang dipahami dalam NU dan PMII mempengaruhi bagaimana para aktifis melihat waria, dalam konteks lokal. Ketiga, diskursus waria yang dibentuk oleh para aktifis dan santri waria menjadikan waria sebagai subjek pengetahuan. Hal ini dapat dilihat dari satu istilah yang mereka gunakan untuk melihat subjektifitas waria, yaitu kesadaran gender. Peneitian ini berkontribusi terhadap studi gender dan religious studies, karena fokus kepada no-waria, yaitu aktifis UNISNU yang belum dikaji oleh peneliti sebelumnya. Studi ini menjadi bacaan kritis yang menjelaskan bagaimana proses berpikir kembali tentang diskursus waria, menyediakan harapan dan ruang dalam kehidapan sosial dan agama bagi mereka yang tidak termasuk male dan female gender binary Kata kunci: Fiqh waria, Islam, LGBT, transgender, Indonesia, kesadaran gender
Questions on LGBT have recently become an important topic in global discussion. In Southeast Asia, where religious resurgence has taken place, many discuss LGBT questions within a religious framework. This can be seen as the case as within many religiously oriented institutions within Indonesia. This study presents the collaboration of scholar activists from Nahdlatul Ulama Islamic University, Jepara and waria santri (transgender students) at the Pesantren Waria al-Fatah, Yogyakarta, where transgender can practice religion, based on their gender consciousness. Such activism then has become an answer to the mainstream discourse that condemns waria existence and considers them as deviant. This study seeks to comprehend how the scholar activists have come to rethink the mainstream waria discourse, have come to engage with the Religious Practice Partnering Program for waria at the Pesantren, and what discourse that the scholar activists suggested. This study includes five months of field work, which encompasses interviews with the scholar activists and participant observation in every event they held at both Jepara and Yogyakarta. Some literature, related to the program also was considered within this study. This study seeks to illustrate three main points. The first is the rethinking the gender binary by the scholar activists, leading them to notice a legal vacuum in Islamic law about those who are waria, and henceforth have come to suggest fiqh waria. The second is that the concept of Islamic liberation theology and ahl sunnah wa al jamaah within global Islam, as understood within NU and PMII, setting the local context, influenced their thinking of waria in Indonesia. The third point highlights the discourse of waria recognizing waria as subjects of knowledge, indicated by the term they call as gender consciousness. The research contributes in both gender and religious studies, because focusing on non-waria, the scholar-activist that is never done by previous studies that mostly discussed and see waria as object of research. It becomes a critical instrument, providing the logic of how the process of rethinking waria discourse, offers new hopes for those who do not fit in male and female gender binary. Keywords: Fiqh waria, Islam, LGBT, transgender, Indonesia, gender consciousness
Kata Kunci : Fiqh waria, Islam, LGBT, transgender, Indonesia, gender consciousness