DINAMIKA KEHIDUPAN KELOMPOK MINORITAS DI INDONESIA (Studi Kasus Pengalaman Bermasyarakat dan Bernegara Warga Kerokhanian Sapta Darma)
NAILI NIMATUL ILLIYY, Dr. Samsul Ma'arif
2015 | Tesis | S2 Agama dan Lintas BudayaPembedaan status agama di Indonesia berdampak pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kerokhanian Sapta Darma merupakan salah satu aliran kepercayaan yang telah terdaftar dalam Dirjennya, mempunyai lembaga yang mapan serta warga yang banyak. Namun, seringkali ditemui tindak negatif terhadap kelompok tersebut, baik yang bersifat intimidatif maupun diskriminatif. Mereka mengalami kesulitan dalam memperoleh hak sipilnya karena sikap masyarakat maupun Negara yang tidak kooperatif. Hal ini dikarenakan status mereka sebagai penganut/ warga kerokhanian Sapta Darma. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dan menggunakan kerokhanian Sapta Darma sebagai objek penelitian kami. Melalui Komunikasi, penelusuran data dari media massa, dokumen internal maupun sumber terkait menjawab rumusan masalah dalam tesis ini. Pertama, bagaimana relasi Negara dan kerokhanian Sapta Darma; kedua, bagaimana pengalaman warga dalam bermasyarakat dan bernegara; ketiga, bagaimana solusi atas permasalahan warga. Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Negara di satu sisi mengakui adanya aliran kepercayaan dan agama lokal yang ada melalui beberapa regulasi yang telah ditetapkan. Namun, di sisi lain Negara mengabaikan hak warga dalam prakteknya karena adanya produk hukum seperti UU No.1/PNPS/1965 yang digunakan sebagai alat legitimasi untuk mendiskriminasi kelompok minoritas dalam pemenuhan hak sipil mereka. Pengalaman warga kerokhanian Sapta Darma dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara tercermin dalam tiga kategori. Pertama, pengalaman diskriminasi; kedua, pengalaman negosiasi; ketiga, pengalaman sinkretik. Pada poin pertama, warga secara sadar diperlakukan diskriminatif oleh masyarakat dan Negara. Mereka banyak menemui masalah dalam hal pendidikan agama, pengurusan KTP, pemakaman warga, pendirian sanggar dan juga klaim sesat. Poin kedua, warga merespon masalah yang mereka alami dengan cara bernegosiasi atau menuruti keinginan pihak lain yang mempersulit mereka seperti memanipulasi identitas. Poin ketiga, warga tidak mempermasalahkan kesulitan yang mereka alami atau kebijakan Negara terkait dengan hal tersebut. Adapun solusi yang digunakan untuk mengatasi permasalahan warga adalah dengan menggunakan kultur pluralisme kewargaan dimana Negara dan warganya bersama-sama menciptakan iklim yang nyaman dalam ranah publik sebagai ruang bersama. Beberapa pendekatan sudah dilakukan seperti pendekatan berbasis kuasa, hak maupun kepentingan untuk menyelesaikan problem di atas. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan sehingga mengarahkan pada solusi selanjutnya yakni scaling up dimana sisi baik pada pendekatan tersebut yang sudah digunakan mampu diterapkan untuk menyelesaikan kasus lainnya. Misalnya pengalaman negosiasi dan sinkretik warga digunakan untuk menyelesaikan pengalaman diskriminasi mereka sehinga diharapkan mampu meminimalisir gesekan dengan pihak lainnya. Kata kunci: warga, diskriminasi, negosiasi, minoritas, hak sipil.
The distinction of religion status in Indonesia affects social and political lifes. Sapta Darma is one of spiritual movements which is registered legally in its Department, it has established institution and many adherents. Otherwise, it often gets negative treatments, both intimidated and discriminative actions. They are oppressed in getting their civil rights because of the State and some people are not cooperative to them. They get some problems related to their status as the adherent of Sapta Darma. This research is qualitative research and uses Sapta Darma as the object of it. Through interviewing, getting data from mass media, internal document and everything relates to it are used to answer the research questions. First, how is the relationship between Sapta Darma and the State; second, how do the adherents experience their life in social and political spheres; third, how is the solution of these problems. This research can be concluded that on one hand the State recognizes the existence of local religion through some regulations, but on the other hand, it ignores civil rights because of the constitution UU No.1/PNPS/1965 always used as legitimation to discriminate minority group in getting their rights. The experiences of adherents as civil society are reflected into three categories. First, discrimination experience; second, negotiation experience; third, syncretic experience. In the first one, the adherent aware that they are discriminated by some people and the State. For instance in education, getting their ID card, funeral of the adherent, build the religious place and also claimed as deviant. The second one is category that places the adherents who are solving their problems by negotiating or following other interest in order to minimize the conflict such as manipulating their identities. The last one represents they who do not problematize what they get or policy of the State to them. These problems have solutions through the civil pluralism where the State and its society cooperatively create harmony in public sphere. Some approaches have applied such as power based approach, right based approach and interest based approach to solve these problems. Each approach has strength and weakness so that lead it to the next solution namely scaling up. It create the strength of certain strategy which has applied to solve the other one. For instance, negotiation and syncretic experience are used to solve discrimination problem in order to minimize conflict among people. Keywords: the adherent, discrimination, negotiation, minority, civil right.
Kata Kunci : warga, diskriminasi, negosiasi, minoritas, hak sipil.