UNDERSTANDING THE SPIRITUALITY OF OFFICIALS CONVICTED OF CORRUPTION: CASE STUDY OF WIROGUNAN PRISON
TJONG LIO IE , Gregory Vanderbilt, Ph.D.
2015 | Tesis | S2 Agama dan Lintas BudayaSatu pertanyaan abadi tentang masyarakat Indonesia adalah bagaimana ia bisa menjadi salah satu yang tertinggi di dunia menurut survei internasional baik dalam hal religiusitas dan spiritualitas ataupun korupsi yang merusak kepercayaan publik. Umumnya kita berasumsi bahwa orang yang kuat secara rohani tidak akan melakukan korupsi. Kasus Indonesia, bagaimanapun, memunculkan pertanyaan-pertanyaan tentang penegakan hukum, etika, agama, spiritualitas dan hubungan semua itu dalam kegiatan sehari-hari. Untuk memahami secara menyeluruh permasalahan ini, saya menganalisa pengalaman hidup tangan pertama tiga petugas sipil terpidana korupsi dengan menggunakan konsep psikologi, agama dan spiritualitas. Memakai metodologi kualitatif dan pendekatan sosial yang konstruktif, saya menganalisa pengalaman spiritualitas mereka lewat perjalanan karir mereka, keyakinan mereka, dan saat mereka di penjara dengan menggunkan wawancara mendalam, metode biografi dan kuesioner yang diambil dari Spirit at Work Scale (SAWS) yang telah saya terjemahkan ke dalam konteks Indonesia. Untuk memahami secara menyeluruh permasalahan ini, saya menganalisa pengalaman hidup tangan pertama tiga petugas sipil terpidana korupsi dengan menggunakan konsep psikologi, agama dan spiritualitas. Memakai metodologi kualitatif dan pendekatan sosial yang konstruktif, saya menganalisa pengalaman spiritualitas mereka lewat perjalanan karir mereka, keyakinan mereka, dan saat mereka di penjara dengan menggunkan wawancara mendalam, metode biografi dan kuesioner yang diambil dari Spirit at Work Scale (SAWS) yang telah saya terjemahkan ke dalam konteks Indonesia. Tidak mudah menjadi pejabat dengan posisi manajerial di pemerintahan di mana korupsi masih merajalela dan telah menulari lembaga-lembaga polisi dan peradilan yang justru seharusnya memberantas korupsi. Seorang pemimpin perlu membaca dengan teliti setiap perubahan hukum dan peraturan anti-korupsi sehingga ia dapat bekerja secara profesional dan memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Etika Jawa yang telah menjadi bahasa politik yang berpengaruh menyebabkan masalah moral bagi para pejabat yang harus mengikuti hukum-hukum yang berdasarkan pada etika Barat. Tidak mudah menjadi pejabat dengan posisi manajerial di pemerintahan di mana korupsi masih merajalela dan telah menulari lembaga-lembaga polisi dan peradilan yang justru seharusnya memberantas korupsi. Seorang pemimpin perlu membaca dengan teliti setiap perubahan hukum dan peraturan anti-korupsi sehingga ia dapat bekerja secara profesional dan memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Etika Jawa yang telah menjadi bahasa politik yang berpengaruh menyebabkan masalah moral bagi para pejabat yang harus mengikuti hukum-hukum yang berdasarkan pada etika Barat. Beberapa pasal dalam hukum Anti-Korupsi, misalnya, bias dan akibatnya membutuhkan interpretasi yang benar dan menyeluruh. Jika tidak, seseorang tanpa sengaja dapat didakwa sebagai koruptor dalam sidang pengadilan. Beberapa pegawai sipil yang spiritualitasnya kuat dikirim ke penjara karena norma-norma budaya dan kultur perusahaan yang dianggap sebagai perbuatan korupsi seperti yang tertera dalam undang-undang anti - korupsi. Hilangnya identitas sosial dan martabat pribadi menyebabkan penderitaan besar selama mereka dipenjara. Stigma sebagai koruptor menjadi lebih berat bagi keluarga pejabat yang harus menanggungnya untuk waktu yang lama. Namun, spiritualitas tinggi para responden membantu mereka mengatasi kesulitan hidup di penjara. Penjara berubah menjadi sebuah rumah retret yang mewujudkan transformasi spiritualitas mereka. Untuk para pencari spiritualitas, seperti mereka, penjara adalah tempat di mana mereka dipaksa untuk melepas semua kemelekatan duniawi mereka: kekuasaan, pekerjaan, gelar, keluarga, makanan/minuman, dan jaringan sosial lainnya. Semua responden yang sekarang masih menjadi napi di Penjara Wirogunan dilahirkan dua kali, jika meminjam istilah yang William James gunakan. Tampaknya Allah telah membuat mereka tak berdaya dan telanjang agar supaya suara-Nya dapat didengar. Adalah kesunyian penjara yang membuat mereka merenungkan penderitaan mereka dan mencoba untuk mendengarkan kehendak Allah. Dengan tidak mementingkan diri sendiri, seperti yang disarankan oleh baik psikologi maupun agama/spiritualitas, seseorang akan melupakan penderitaan-Nya dan dengan demikian mencari arti hidupnya. Jika orang melihat ke masa depan, ia akan termotivasi untuk terus hidup. Sebaliknya, ketika orang gagal menemukan arti hidupnya, ia akan lari ke kejahatan, depresi, bunuh diri, atau nihilisme. Frankl percaya bahwa setiap orang memiliki tanggung jawab untuk menemukan arti dalam setiap penderitaan yang dialaminya. Konsep agama dan spiritualitas menegaskan kembali bahwa tidak mementingkan diri sendiri adalah vital bagi seorang pencari spiritualitas untuk membiarkan Allah, Yang Maha Tinggi/Maha Ada, merasuki hatinya. Mementingkan diri sendiri, sebaliknya, akan menyebabkan kematian karena manusia berasal dari Allah dan bukan dari dunia. Martabat manusia tidak tergantung pada keadaan tapi keputusannya untuk mengaktualisasikan potensi dirinya untuk mengatasi penderitaan yang dialaminya. Konsep psikologi menyatakan bahwa tidak mementingkan diri sendiri adalah penting bagi manusia demi menemukan arti penderitaan. Kehidupan tanpa berarti akan membawa manusia kepada kejahatan, depresi, gila atau bunuh diri. Karena itulah manusia dapat memilih konsep psikologi, atau agama/spiritualitas agar ia dapat bertahan dalam perjalanan yang hanya sekali dialami, yang disebut kehidupan.
One enduring question about Indonesian society is how it can be among the highest in the world according to international surveys in levels of both religiosity and spirituality and of corruption which damages public trust. It is assumed that spiritually strong people will never commit corruption. The case of Indonesia, however, brings on questions of law-enforcement, ethics, religion, spirituality and their relation in daily activities. To have a thorough comprehension of the problem, I analyzed first-hand life experiences from three civil officers convicted of corruption with the concepts of psychology, religion and spirituality. Adopting qualitative methodology and social constructive approach, I analyze their experience of spirituality through the course of their careers, their convictions, and their time in prison using in-depth interviews, biographical methods, and questionnaire taken from the Spirit at Work Scale (SAWS) translated to the Indonesian context. It is not easy to become a civil servant with managerial position in a government where corruption is still rampant and infects the very institutions, the police and judiciary which are supposed to eradicate it. A leader needs to make a careful reading on every change of anti-corruption laws and regulations so that he can work professionally and give good service to the people. It turns problematic as the society still hold strong to Javanese Ethics of which concepts are different from the Western Ethics that base the Indonesian anti-corruption laws. Some articles of Anti-Corruption laws, for example, are biased and consequently require correct and thorough interpretation. Otherwise, one is unknowingly put in trial for corruption. Some spiritually strong civil officers were sent to jail due to cultural norms and company culture which were considered as corrupt deeds under the anti-corruption laws. The loss of social identity and personal dignity caused great suffering during their imprisonment. The stigma of being a corruptor became even heavier for a civil officers family to carry for the long years to come. However, the respondents strong spirituality helped them cope with the hardships of life at jail. The prison turned to be a retreat house where their spiritual transformation took place. For spiritual seekers, like them, a prison was the place where they were forced to put off all their worldly attachments: power, job, titles, family, food/drink, and other social links. All the respondents who are now still prisoners at Wirogunan Jail were born twice to borrow the words William James adopts. It seems that God has made them powerless and naked so that His voice can be heard. It is the solitude of jail that makes them contemplate their sufferings and attempt to listen to the call of God. By becoming self-less, as both psychology and religion/spirituality prescribe, one will forget his sufferings and thus search for the meaning of life. If one looks to the future, one will be motivated to continue living. On the other hand, when one fails to find meaning in life, one can be left with crime, depression, suicide, or nihilism. Frankl believes that everyone has the responsibility to find meaning in each suffering one bears. Concepts of religion and spirituality reiterate that self-less is vital for a spiritual seeker to let God, the Supreme Being/State, overwhelm his/her heart. Self-centeredness, on the other hand, will lead to death because man is of the divine and not the world. Dignity of man does not depend on the circumstances but his/her decision to actualize his/her potentials to overcome any sufferings he/she endures. Concepts of psychology argue that self-less is essential for man to find meaning in suffering. A meaningless life will lead man to crime, depression, insane or suicide. For that reason man can choose either concepts of psychology, or religion/spirituality to survive this once in a life time journey called life.
Kata Kunci : Korupsi, psikologi, agama, spiritualitas, arti, kesunyian, tidak mementingkan diri sendiri, Corruption, Psychology, Religion, Spirituality, Meaning, Solitude, Selflessness