Pemanfaatan Batu Apung (Pumice) Lombok dan Bakteri Bacillus subtilis sebagai Agent Perbaikan Kerusakan Retak Pada Beton

IDA ROCHANI,SPD, Ir. Agus Prasetya,M.Eng.Sc.,Ph.D ; Agus Kurniawan,ST.,M.T.,Ph.D

2015 | Tesis | S2 Ilmu Lingkungan

Batu apung (pumice) merupakan bahan lokal yang banyak terdapat di wilayah Lombok, Nusa Tenggara Barat. Komposisi batu apung mengandung silika tinggi yaitu antara 52,30% - 65,60% dapat digunakan sebagai pozolan. Penggunaan batu apung (pumice) sebagai campuran pada penyusunan beton ringan yang mempunyai kuat tekan dan kuat lentur yang baik. Beton juga rentan terhadap kerusakan yang dapat bersumber dari beban ekstrim, serangan kimia dan kondisi lingkungan. Faktor kualitas beton berpengaruh terhadap proses terjadinya keretakan beton. Produksi semen dalam penggunaan campuran beton dapat memberikan kontribusi 10% emisi CO2 ke atmosfer. Retak mikro merupakan fenomena yang tidak dapat terhindari, akan tetapi retak kecil dapat di atasi yang disebut penyembuhan autogenous atau self-healing beton. Metode yang digunakan dalam perbaikan mandiri pada keretakan beton adalah pemanfaatan peranan bakteri Bacillus subtilis yang terenkapsulasi. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pengaruh penambahan enkapsulasi bakteri B. subtilis dalam campuran beton dengan campuran pozolan batu apung (pumice) terhadap kemampuan menutup retak beton. Metode analisis penelitian self-healing beton berdasarkan tinjauan kimia, mekanik, fisis dan keberlanjutan secara ekonomi, toksi lingkungan, sosial. Tinjauan kimia pozolan batu apung Lombok mengandung SiO2 sebesar 56,56% dan Al2O3 sebesar 14,77% apabila bercampur dengan B. subtilis kurang signifikan sebagai self-healing beton dengan kadar perbaikan hanya 5,6%. Kuat lentur tertinggi terjadi dalam persentase enkapsulasi 3% dan diameter enkapsulasi 4 mm sebesar 1.497 KPa. Kuat tekan beton sebesar 21,053 MPa dalam persentase enkapsulasi 3% dan diameter enkapsulasi 2 mm. Analisis SEM menyatakan bahwa peranan bakteri B. subtilis dan pozolan batu apung terlihat adanya serabut - serabut kecil yang menghubungkan antar partikel beton. Kadar persentase perbaikan mandiri dalam retak beton mencapai 5,6% dalam diameter enkapsulasi 4 mm dan persentase enkapsulasi 7%. Self-healing dalam kerusakan beton dapat mengurangi produksi semen sehingga akan mengurangi emisi CO2 di atmosfir. Self-healing dapat menghemat biaya Rp.442.725 / m3 karena tanpa adanya biaya perawatan beton apabila terjadi kerusakan. Pengurangan emisi CO2 akibat pengurangan produksi semen berpengaruh terhadap kesehatan pernafasan sehingga akan mengurangi biaya perawatan kesehatan sehingga tidak menambah biaya kesehatan.

Pumice is a local material which is widely found in Lombok, West Nusa Tenggara. This stone has high silica content, approximately 52,30% - 65,60% therefore it can be used as a pozzolan. Using pumice as materials for making light concrete will produce good high compressive strength and bending strength concrete. A concrete is also prone to crack due to extreme load, chemical effects and environmental condition. The quality of concrete has affects the present of concrete cracks. The production of cement in the concrete mix may contribute 10% of CO2 emissions into the atmosphere. Micro cracking is a phenomenon that cannot be avoided, but small cracks can be overcome by the so-called autogenous healing or self-healing of concrete. The method for concrete cracks self-healing is using encapsulated bacteria of Bacillus subtilis. This research aimed to investigate the effects of adding encapsulated bacteria of B. subtilis into concrete mix with a mixture of pumice pozzolan on the ability to close cracked concrete. The research analysis technique of self-healing concrete was based on the perspectives of chemical, mechanical, physical and economic sustainability, environmental toxicity, and social. In reference to the chemical perspective, pumice pozzolan from Lombok contains 56,56% SiO2 and 14,77% Al2O3. If they are mixed with B. subtilis, they will not significant concrete self-healing with levels of refinement only 5,6%. The highest flexural strength is in the encapsulation of 3% and 4 mm diameter of 1.497 kPa. Strong concrete press is 21,053 MPa within encapsulation of 3% and 2 mm diameter. SEM analysis depict that the role of the bacteria of B. subtilis and pumice pozzolan show small fibers that connect the concrete particles. The percentage of self-healing for cracked concrete reached 5,6% in 4 mm diameter and encapsulation percentage is 7%. Self-healing in cracked concrete could reduce the production of cement, therefore it reduces CO2 emissions to the atmosphere. Self-healing could save costs up to Rp.442.725/m3 since there is no maintenance cost for concrete when it cracks. The reduction of CO2 emissions due to reduced production of cement influences respiratory health. Therefore, it reduces health care costs or doesn't increase healthcare cost.

Kata Kunci : batu apung, Bacillus subtilis, self-healing, keberlanjutan ; Pumice, Bacillus subtilis, self-healing, continuity