ASESMEN PERAN INFORMASI GEOSPASIAL DALAM PROSES BOUNDARY MAKING DAN SENGKETA BATAS DAERAH PADA ERA OTONOMI DAERAH DI INDONESIA
SUMARYO, Ir. Subaryono, MA., Ph.D; Ir. Djurdjani, MSP., M.Eng., Ph.D.; Prof. Ir. Sobar Sutisna, M.Surv. Sc., Ph.D.
2015 | Disertasi | S3 ILMU TEKNIK GEOMATIKAPelimpahan wewenang yang luas kepada daerah melalui kebijakan Otonomi Daerah (OTDA) menciptakan tantangan sekaligus peluang bagi daerah. Salah satu pemanfaatan peluang tersebut adalah pemekaran wilayah, sehingga pada era OTDA banyak muncul daerah otonom baru (DOB) hasil pemekaran. Konsekuensi dari terjadinya pemekaran wilayah tersebut, antara lain perlunya penataan kembali batas daerah baik daerah induk maupun DOB hasil pemekaran. Informasi geospasial (IG) merupakan salah satu unsur utama dalam setiap kegiatan yang berhubungan dengan posisi dan ruang di permukaan bumi. Karena itu, batas daerah sebagai batas untuk pengelolaan ruang wilayah administrasi daerah otonom selalu terkait dengan IG. Dalam boundary making,selain model kerangka kerja, ketersediaan IG yang memadai berpengaruh terhadap proses penetapan dan penegasan menuju kesepakatan batas daerah. Kenyataannya, pada era OTDA yang luas di Indonesia, banyak terjadi sengketa batas daerah dalam tahapan penegasan. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasikerangka kerja penetapan dan penegasan batas daerah, mengidentifikasi kondisi IGkhususnya peta RBI untuk mendukung proses boundary making, mengevaluasi penggunaan IG dalam tahap penetapan batas daerah serta menganalisis kontribusi IG terhadap sengketa batas daerah. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatip dengan analisis secara deskriptif.Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa aturan untuk penetapan dan penegasan batas daerah dalam era OTDA dan UUPD (Undang undang Pembentukan Daerah) beserta lampiran peta wilayah administrasi periode tahun 1999 sampai dengan tahun 2009 yang diperoleh dari Direktorat Wilayah dan Administrasi Perbatasan Kemendagri. Data sengketa batas daerah juga diperoleh dari Kemendagri. Data terkait ketersediaan IG diperoleh dari BIG. Kerangka kerja penetapan dan penegasan batas daerah diperoleh berdasar aturan yang digunakan. Kriteria linear dan non linear dalam teori boundary making Jones yang dikemukan oleh Srebro dan Shoshany digunakan untuk menganalisis kerangka kerja penetapan dan penegasan. Asesmen penggunaan dan hasil IG dalam penetapan batas daerah dilakukan dengan metode checklist dengan tolok ukur Spesifikasi Teknis Peta Wilayah Daerah Otonom Provinsi, Kabupaten dan Kota yang dikeluarkan oleh Pusat Pemetaan Batas Wilayah Bakosurtanal tahun 2008 dan tahun 2009. Diagnosis penyebab sengketa batas daerah dilakukan dengan pendekatan Lingkaran Konflik Moore terhadap 45 kasus sengketa batas daerah. Hasil temuan dalam penelitian ini diklarifikasi menggunakan metode wawancara dengan responden kunci yang membidangi materi terkait di Kemendagri dan BIG. Dari penelitian dapat diidentifikasi bahwa pada era OTDA kerangka kerja penetapan batas daerah yang diatur dalam PP No.129 tahun 2000 dan PP No.78 tahun 2007 bersifat non linear. Adanya tahapan re-delimitasi yang diatur dalam Permendagri No.1 tahun 2006, mengindikasikan bahwa kerangka kerja penegasan batas daerah juga bersifat non linear. Ketersediaan peta RBI cukup memadai untuk mendukung penetapan batas daerah, namun karena kerangka kerja penetapan bersifat non linear maka penggunaan IG tidak optimal. Hal tersebut mengakibatkan penetapan batas daerah menghasilkan peta wilayah lampiran UUPD yang tidak memadai bila digunakan untuk kegiatan penegasan batas daerah. Berdasar analisis ditemukan bahwa peta wilayah administrasi lampiran UUPD dan data numerik luas wilayah yang dicantumkan dalam penjelasan UUPD memiliki kontribusi terjadinya sengketa batas daerah. Sengketa batas daerah menjadi lebih tajam ketika dipicu faktor kepentingan dan struktural. Penguatan peran IG diusulkan melalui: (1) desain kerangka kerja penetapan dibuat linear dengan mengakomodasi secara proporsional peran IG, (2) penegasan batas daerah dibuat linear dengan tidak dilakukan re-delimitasi, (3) disusun kriteria standar kebutuhan informasi geospasial untuk keperluan penetapan batas daerah.
The transfer of a great amount of authority from central to local government in Indonesia through the policy of regional autonomy (hereafter otonomi daerah, OTDA) creates challenges and opportunities for local government. One of the opportinities is territorial splits that may create a large number of new autonomus regions or daerah otonomi baru (DOB) in Indonesia. As the consequence of the territorial splits is the need of rearangement of regional boundaries both for main or original regions and regions resulted from the splitting process. In this case, there will be changes of spatial arrangement among regions in Indonesia. The arrangement of position and location of new boundaries requires the availability of geospatial information, being one of the main features in every activity related to position and space on Earth������¢���¯���¿���½���¯���¿���½s surface. Hence, regional boundaries, which serve as the limit and border in spatial management of administrative territory of autonomous regions Indonesia, will eventually be related to geospatial information. In a boundary making process, the availability of sufficient geospatial information, in addition to famework model, will affect the process of delimitation and demarcation of regional boundaries. In fact, during the autonomy era (Otonomi Daerah, hereafter OTDA) in Indonesia, there have been disputes in the regional boundary demarcation stage. This research aims at identifying the framework of the delimitation and demarcation of regional boundaries; identifying the avaiaibilty of geospatial information, particularly topographic maps (Peta Rupabumi, RBI), to support boundary making process; evaluating the use of geospatial information in the delimitation of regional boundaries; and analizing the contribution of geospatial information to regional boundary disputes in Indonesia. This research utilizes qualitative approach with descriptive analysis. Data collected for this research are regulations related to delimitation and demarcation of regional boundaries during OTDA and Law regarding Regional Establishment (hereafter Undang-Undang Pembentukan Daerah or UUPD) and its regional administrative boundary maps attachment within the period of 1999 to 2009, obtained from the Directorate of Territory and Boundary Administration of the Ministry of Home Affairs. Data and information related to the availability of geospatial information were obtained from Geospatial Information Agency (hereafter Badan Informasi Geospasial, BIG). Framework of delimitation and demarcation of regional boundaries is obtained based on relevant regulations. linear and non-linear criteria based on boundary making theory by Jones (1945) as introduced by Srebro and Shoshany (2013) was used to analize the framework of delimitation and demarcation of regional boundaries. Assessment on the use of geospatial information and its results in the delimitation of regional boundaries is conducted with checklist method using parameters of Technical Specification of Territorial Map of Autonomous Regions (Spesifikasi Teknis Peta Wilayah Daerah Otonom Provinsi), of Provinces, Regencies and City issued by the Center for Boundary Mapping of Bakosurtanal year 2008 and 2009. To diagnose the cause of boundary disputes, the Circle of Conflict by More (1986) has been utilized against 45 cases of regional boundary disputes. Research findings were then clarifed by interviewing key respondents dealing with relevant matters in the Ministry of Home Affairs and BIG. It has been identified, based on this research, that in the OTDA era the framework of regional boundary delimitation as governed by Government Regulation (PP) number 129 of 2000 and PP number 78 of 2007 is non-linear in nature. Furthermore, the existance of there-delimitation process as governed by Permendagri No.1 of 2006 is also an indication that the framework of regional boundary demarcation is also non linear. RBI Maps, on the other hand, is viewed as sufficient in supporting regional boundary demarcation. However, since the framework was non linear, the use of geospatial information has therefore not been optimal. Consequently the regional boundary delimitation generally produced regional administrative boundarymaps attached to UUPD. It was found that the administrative territorial maps attached to UUPD and numerical information on the area or size of particular administrative territories described in the explanation of UUPD do contribute to regional boundary disputes. The disputes have been worsened by political and structural interests. To strengthen the roles of geospatial information this research comes up with three recommendations, which are (1) the design of the framework of regional boundary delimitation and demarcation must be linear by proportionally accommodating the roles of geospatial information, (2) regional boundary demarcation must be linear in nature without involving any re-delimitation process, and (3) there is a need to establish criteria of the quality standard of geospatial information for regional boundary delimitation.
Kata Kunci : peran informasi geospasial, penetapan dan penegasan batas, sengketa, batas daerah