IDENTIFIKASI DAN PENDEFINISIAN PERAIRAN PEDALAMAN DI DALAM GARIS PENUTUP TELUK DI PESISIR BARAT SULAWESI
MUHAMMAD REZA MUZADHIN, I Made Andi Arsana, S.T., M.E., Ph.D
2015 | Skripsi | S1 TEKNIK GEODESIIndonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia telah meratifikasi hukum laut internasional yaitu United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) sejak tahun 1985. Dalam UNCLOS diatur bahwa setiap negara kepulauan berhak untuk mengklaim kawasan lautnya masing-masing, termasuk diantaranya adalah wilayah perairan kepulauan dan perairan pedalaman. Dalam pasal 50 UNCLOS disebutkan bahwa negara kepulauan dapat mendefinisikan perairan pedalaman mereka dengan menarik garis penutup pada garis pantainya. Garis penutup yang dikaji dalam kegiatan aplikatif ini adalah garis penutup teluk. Sebagai negara kepulauan, Indonesia belum mendefinisikan perairan pedalamannya, sehingga seluruh perairan yang berada di sisi dalam dari garis pangkal dianggap sebagai perairan kepulauan. Perairan pedalaman dapat dianggap setara dengan daratan, sehingga pelaksanaan hak dan kewajiban pada wilayah tersebut tentu berbeda dengan perairan kepulauan. Belum ditentukannya perairan pedalaman di Indonesia berdampak pada hak dan kewenangan Indonesia di kawasan perairannya serta bisa menimbulkan ancaman baik berupa ancaman keamanan maupun ancaman kerusakan lingkungan hidup. Kegiatan aplikatif ini bertujuan untuk mengidentifikasi perairan pedalaman di pesisir barat Sulawesi Tengah dan Barat, serta mendefinisikan masing-masing perairan pedalaman secara geografik yaitu dalam koordinat lintang dan bujur. Pendefinisian geografik dalam kegiatan aplikatif ini dilakukan pada perairan pedalaman yang terletak di sepanjang pesisir barat Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat. Metode yang digunakan adalah penentuan perairan pedalaman menggunakan garis penutup teluk. Berdasarkan UNCLOS, ada dua syarat utama untuk teluk disebut perairan pedalaman. Yang pertama adalah syarat panjang garis penutup teluk yang dalam hal ini berarti teluk dapat disebut perairan pedalaman jika garis penutup teluk tidak melebihi 24 mil laut. Yang kedua adalah syarat luas teluk yang dalam hal ini luas teluk yang telah ditutup garis penutup teluk harus lebih besar dari atau setidaknya sama besar dengan luas setengah lingkaran yang terbentuk dengan garis penutup teluk sebagai diameter. Pendefinisian geografis dimulai dari identifikasi teluk yang memenuhi kedua syarat UNCLOS dan analisis pemilihan garis penutup alternatif yang lebih menguntungkan jika memungkinkan. Berdasarkan kegiatan yang telah dilakukan, di wilayah kegiatan aplikatif didapat enam teluk yang diidentifikasi dan memenuhi syarat sebagai perairan pedalaman, yaitu Teluk Tambu, Teluk Palu, Teluk Labani dan tiga buah teluk lain yang belum memiliki nama. Dari enam teluk tersebut didefinisikan secara geografis masing-masing perairan pedalaman dengan batas berdasarkan letak teluk dan koordinat garis penutup teluk untuk selanjutnya dipublikasikan dengan didaftarkan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dari kegiatan ini juga diketahui ada beberapa teluk yang telah mempunyai nama dan dianggap teluk sebelumnya tapi tidak memenuhi syarat teluk sesuai UNCLOS.
Indonesia, being the largest archipelagic state in the world, has ratified United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) since 1985. Based on UNCLOS every archipelagic state has the right to claim its maritime zone of jurisdiction, including, but not limited to, archipelagic and internal waters. In Article 50 of UNCLOS archipelagic state can define its internal waters by drawing a closing line on its coast. Closing lines studied in this project are bay closing lines. Indonesia has yet to define its internal waters, so that all waters located on the inner side of baselines is by default regarded as archipelagic waters. Meanwhile internal waters can be, somehow, considered equivalent to the land, so that the implementation of the rights and obligations in the area is different, and somehow can be more assertive, from the archipelagic waters. It is important, therefore, for Indonesia to define its internal waters, and distinguish it from archipelagic waters, by designating the aforementioned closing lines. This project aims to identify internal waters on the west coast of Central and West Sulawesi, as well as to define each internal waters geographically. This project focuses on the west coast of Central and West Sulawesi. The method used is the determination of the internal waters using bay closing lines. A bay can be defined as internal waters if the closing line of its natural entrance points does not exceed 24 nautical miles in length. Furthermore, its area must be as large as or larger than the semi-circle whose diameter is a closing line drawn across the natural entrance points. Defining the internal waters starts from the identification of the bay that meet both the requirements and analysis for alternative possible closing lines that are more advantageous in term of bay area or size. Based on the project, there are six bays identified and qualified as internal waters, which are the Tambu, Palu, Labani and three other bays that have yet to be named. Six bays that identified, defined geographically each internal waters to registered and publish by the United Nations. Interestingly, this project also identified areas that are generally known as bays by the society that do not in fact meet the criteria of bays as defined by UNCLOS.
Kata Kunci : Pendefinisian geografis, perairan pedalaman, perairan kepulauan, garis penutup teluk