STUDI KELAYAKAN TEKNO-EKONOMI INDUSTRI MANUFAKTUR FOTOVOLTAIK DI INDONESIA

I.PRASETYANINGSARI, Dr. Eng. Muh. Arif Wibisono, S.T., M.T. ; Dr. -Ing. Ir. Kusnanto

2015 | Tesis | S2 TEKNIK SISTEM

Secara teknologi, industri fotovoltaik (photovoltaic - PV) di Indonesia baru mampu melakukan pada tahap hilir, yaitu memproduksi panel surya dan mengintegrasikannya menjadi PLTS, sementara bahan baku sel surya masih mengandalkan impor. Saat ini hanya terdapat enam pabrik panel surya di Indonesia dan keenam pabrik tersebut hanya memproduksi dengan kapasitas pabrik 10 - 30 MWp per tahun. Biaya investasi yang tinggi dalam mendirikan industri hulu fotovoltaik, tidak adanya kepastian pasar domestik, kurangnya dukungan kebijakan, serta harga panel surya dalam negeri saat ini tidak dapat bersaing dengan produk impor menjadikan para investor kurang berminat untuk terlibat dalam investasi industri PV. Dari hasil analisis teknologi, didapatkan bahwa industri fotovoltaik yang layak di Indonesia untuk saat ini adalah pabrik panel surya jenis crystalline. Sementara dari hasil analisis potensi pasar didapat bahwa Indonesia akan kekurangan pasokan panel surya di tahun 2020 apabila tidak ada tambahan pabrik lain. Untuk memenuhi 50% kekurangan pasar di 2020, maka dirancang pabrik panel surya dengan kapasitas 300 MWp per tahun. Hasil dari analisis finansial untuk pabrik panel surya 300 MWp/tahun berumur 20 tahun didapat total biaya produksi sebesar $ 0,78 dan margin $ 0,1 maka harga jual produk menjadi $ 0,88 dan nilai Return Of Investment setelah pajak 73,98%, Pay Out Time setelah pajak 1,27 tahun, Break Even Point pada 29,16% kapasitas, Shut Down Point pada 21,47% kapasitas, Net Present Value pada 20 tahun sebesar $ 531.941.533,03, dan Internal Rate of Return pada 20 tahun sebesar 25%. Keberadaan pabrik panel surya skala kecil menunjukkan potensi teknis dari sumber daya lokal. Dalam analisis finansial, harga dari produk panel surya yang dijual yakni $ 0,88/Wp dikatakan telah mampu bersaing dengan harga panel surya impor. Oleh karena itu, untuk pembangunan pabrik panel surya berkapasitas 300 MWp secara teknis dan ekonomi adalah layak.

Indonesia photovoltaic industries were only able to produce on the end of photovoltaic chain industry that was solar module producing. The raw materials for producing solar module were relying on import from other countries. Right now, there are only six industries that registered at APAMSI (the associate for solar module producer in Indonesia) and all of them only produce solar module 10 - 30 MWp per year. High investment cost for set up other plant facilities, no certainty of the market and lack of government policies support and also the domestic solar module price that cannot compete with the imported product price makes the investors are less on interest to invest in Indonesia. From the technology analysis, found that the most feasible photovoltaic industry for Indonesia right now is crystalline solar module industry. The market analysis showed that in 2020 Indonesia will lack of solar module supply and to fulfill the 50% of market needs in 2020, a 300 MWp solar module manufacturing was designed. The financial analysis result for 300 MWp/year solar module industry with 20 years of operation obtained the total production cost is $ 0.78/Wp with margin $ 0.1 so that the selling price is $ 0.88/Wp and the Return of Investment (ROI) after tax is 73.98%, Pay Out Time (POT) after tax is 1.27 years, Break Even Point (BEP) at 29.16% of plant capacity, Shut Down Point (SDP) at 21.47% of plant capacity, Net Present Value (NPV) for 20 years is $ 531,941,533.03, and Internal Rate of Return (IRR) for 20 years is 25%. The availability of small-scale solar module manufacturing industries in Indonesia demonstrates the technical capabilities of local resources. In the financial analysis, the solar module product can compete with imported product with selling price $ 0.88 per Wp. It can be concluded that to build a 300 MWp solar module industry is technically and economically feasible.

Kata Kunci : panel surya, industri, tekno-ekonomi, studi kelayakan