Pergeseran Makna Ruang Simbolik Ke Ruang Pragmatis Kawasan Keraton Kasepuhan Cirebon
INA HELENA AGUSTINA, Prof. Ir. Achmad Djunaedi, MUP., Ph.D;Prof.Ir. Sudaryono, M.Eng,PhD;Prof. Dr. Djoko Suryo
2015 | Disertasi | S3 ILMU ARSITEKTURDampak negatif globalisasi berupa penghancuran nilai-nilai budaya. Nilai-nilai budaya merupakan nilai yang melekat pada jatidiri bangsa, maka jika dihancurkan jatidiri bangsa pun akan ikut hancur. Upaya untuk penggalian nilai-nilai budaya sebagai suatu pengetahuan sangat penting karena dapat membentengi globalisasi. Demikian halnya dengan penggalian pengetahuan budaya di ruang lokal merupakan upaya membentengi globalisasi. Allmendinger (2001), dalam bukunya Postmodern Planning menyediakan celah untuk pengembangan teori-teori lokal dalam perencanaan atau dikenal dengan istilah indigenous planning. Kawasan keraton yang syarat dengan nilai-nilai budaya lokal memiliki peluang dalam mengisi kekosongan indigenous planning untuk pengembangan pengetahuan planning. Terdapat 189 keraton di Indonesia yang memiliki kondisi yang memprihatinkan (http://microsite.metrotvnews.com). Artinya, sumber pengetahuan budaya bangsa memiliki peluang untuk hilang. Keberadaan keraton penting untuk dipertahankan karena memiliki peran penjaga warisan budaya bangsa. Akan tetapi, upaya keberlangsungan keraton masih harus dilakukan sendiri oleh raja maupun komunitas keraton. Demikian halnya dengan Keraton Kasepuhan di Cirebon, keberlangsungannya sangat ditentukan oleh raja dan komunitasnya. Fenomena yang terjadi di Kawasan Keraton Kasepuhan adalah adanya gejala pergeseran makna ruang simbolik ke ruang pragmatis. Fenomena ini menjadi bahan pertanyaan penelitian: Bagaimanakah makna ruang kekinian di Kawasan Keraton Kasepuhan dengan adanya pergeseran makna ruang yang terjadi?. Pertanyaan lanjutannya adalah : fenomena apa yang dapat diungkap dari pergeseran makna ruang di Kawasan Keraton Kasepuhan dan hakikat apa yang mengakibatkan pergeseran makna ruang di Kawasan Keraton Kasepuhan ? Metodologi yang digunakan adalah metode Fenomenologi Husserl. Fenomenologi adalah suatu metode untuk mengkaji makna yang muncul dengan membiarkan realitas fenomena/ pengalaman itu membuka dirinya. Hasil analisis data dilakukan melalui metode reduksi, analisis dan tema, dan mencari semua makna dengan cara menyisihkan semua asumsi awal terhadap objek pengamatan. Penelitian ini dilakukan dari tahun 2011 hingga tahun ini. Penelitian ini berhasil mengkonstruksi teori ruang pragmatis (kebermanfaatan) dengan falsafah Ingsun Titipna Tajug Lan Fakir Miskin dan Wedia Ing Isun. Makna ruangnya adalah kebermanfaatan secara sosial, politik, ekonomi, budaya dan spiritual. Sedangkan hakikat yang mengakibatkan terjadinya pergeseran makna ruang adalah adanya gerak dalam konsep mental pelaku ruangnya. Kawasan Keraton Kasepuhan adalah adalah bentukan konstruksi mental dari pelaku ruang yaitu Gusti Sepuh XIV dan komunitasnya. Hasil untuk planning theory menunjukkan pergeseran dari teokratik planning yang bertumpu pada nilai-nilai normatif simbol bergeser ke pragmatis planning yang lebih mengutamakan kebermanfaata dibandingkan hal yang simbolik normatif
Globalisation has its negative impact and contributes to the destruction of cultural values embedded within a nations identity, which will inevitably followed by the destruction of the character of a nation. An effort to delve into the idea that cultural values as a form of knowledge is paramount to self protect from globalisation. Such being the case with an effort to delve into the cultural knowledge of spatial locality.Allmendinger (2001) has mentioned the needs to fill the space for the development of local theories in planning or simply known as indigenous planning. The Keraton (Javanese royal palace) area is brimming with cultural values and local wisdom has its own appeal to fill the current void of indigenous planning and to further develop the local knowledge in planning. Theres a total of 189 Keratons in Indonesia in critical condition (http://microsite. metrotvnews.com), the fate of these cultural sources hangs in the balance and all the knowledge and values the Keratons represent are in danger to be forever lost. Their existence is vital to the preservation of the nations cultural heritage. Nevertheless, the efforts of the Keratons to surviveare carried out solely by the Keratons respective kings and communities. Such is the case of Keraton Kasepuhan in Cirebon, its own existence and sustenance is very much determined by the kings will and community. The occurring phenomenon in the Keraton Kasepuhan is the shifting of spatial meaning, from what was then symbolic to what is now pragmatic. This phenomenon becomes the basic question of the research: What is the contemporary spatial meaning in Keraton Kasepuhan with the occurrence shift in spatial meaning? And a subsequent question: What phenomenon can be revealed from the shift in meaning and what is the nature that causes the shift in meaning in Keraton Kasepuhan? The methodology used in this research is Husserls phenomenology. Phenomenology is considered as a method to review meanings that emerge by allowing reality/phenomenon/experience to reveal themselves. Creswell (1998) suggested that the result of phenomenolgy analysis is carried out through the method of reduction, analysis and theme, and finding out all meanings by eliminating all presumptions towards the object of observation. The study was conducted from 2011 to this year This research has been able to construct a spatial theory of local values that is the spatial theory of usefulness based on indigenous philosophical background: Ingsun Titipna Tajug Lan Fakir Miskin & Wedia Ing Isun. Its spatial meaning is of usefulness in terms of social, political, economical, cultural and spiritual standpoints. While the natural cause behind the shifting of the spatial meaning is the flux in the mental conception of the entities that populate the space. Keraton Kasepuhan is a mental construct formed by its spatial agencies namely Gusti Sepuh XIV and the community. The result of the planning theory indicates a shift from theocratic planning based on normative symbolic values to pragmatic planning that prioritizes usefulness over symbolism.
Kata Kunci : shift of spatial meaning, phenomenology, spatial functionality, Keraton Kasepuhan Cirebon