KONFLIK KAWASAN KONSERVASI (Studi Kasus Konflik Batas Kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu)

SUGITO, S.HUT, Dr. Poppy S.Winanti, MPP., M.Sc.

2015 | Tesis | S2 Ketahanan Nasional

Fokus pembahasan dalam penelitian ini adalah konflik batas kawasan konservasi Taman Nasional (TN) Gunung Merbabu yang menyebabkan sengketa lahan seluas kurang lebih 49,05 ha. Perbedaan persepsi mengenai batas kawasan TN Gunung Merbabu antara pihak pengelola dan masyarakat di dusun Gesikan dan Tumut desa Jrakah menyebabkan konflik terus terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran persepsi dan kebutuhan kedua belah pihak dalam konflik batas kawasan TN Gunung Merbabu. Selain itu, penelitian ini juga menganalisis upaya-upaya yang telah dilakukan serta alternatif penyelesaian untuk mengatasi konflik batas kawasan ini. Desa Jrakah, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali merupakan lokasi penelitian dimana konflik batas kawasan terjadi antara masyarakat di dusun Gesikan dan Tumut dengan pihak pengelola kawasan TN Gunung Merbabu. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik wawancara yang menghasilkan data deskriptif. Informan yang diwawancara adalah orang yang mengetahui/pernah terlibat menangani konflik ini. Kesimpulan dari hasil penelitian ini, pihak TN Gunung Merbabu mempunyai persepsi bahwa batas kawasan sesuai dengan peta Perhutani (pengelola sebelumnya) dan peta hasil rekonstruksi batas TN Gunung Merbabu tahun 2007. Sedangkan batas kawasan dalam persepsi masyarakat adalah batas alam sejak jaman Belanda yang saat ini masih ada seperti batu besar, tumpukan batu (entho) dan tanaman bambu cendani. Berkembangnya konflik pada akhirnya berkaitan dengan kebutuhan masing-masing pihak. Masyarakat mempunyai ketergantungan terhadap lahan untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari, sedangkan pihak TN Gunung Merbabu membutuhkan kondisi batas kawasan yang mantap (diakui semua pihak) untuk mendukung optimalisasi pengelolaan kawasan. Persepsi dan kebutuhan masing-masing pihak menimbulkan sikap dan perilaku sesuai standard masing-masing. Masyarakat berpegang pada interpretasi sejarah dan kebijakan tokoh-tokoh masyarakat setempat. Sedangkan pihak TN Gunung Merbabu berpedoman pada kebijakan dan aturan konservasi. Konflik masih terjadi karena belum ada solusi integratif dari kedua belah pihak. Upaya yang telah dilakukan masih merupakan inisiatif pihak TN Gunung Merbabu. Perbedaan persepsi tentang batas kawasan belum dapat diklarifikasi secara memadai dan dapat diterima masyarakat. Sejarah status lahan sengketa yang pada awalnya merupakan tanah milik pemerintah kasunanan Surakarta yang kemudian demi hukum berubah menjadi tanah negara (dikelola pemerintah pusat), belum diketahui dan dipahami kedua belah pihak. Disisi lain berlarutnya penyelesaian konflik menyebabkan masyarakat semakin tergantung terhadap lahan sengketa. Diperlukan upaya problem solving yang menghasilkan solusi integratif dan menjadi kesepakatan bersama. Keterlibatan pihak ketiga (mediator) diperlukan untuk mengupayakan solusi integratif. Upaya pertemuan bina konsensus dengan melibatkan berbagai pihak terkait dan pihak ketiga dapat membantu melakukan klarifikasi sejarah kawasan dan menjadi langkah awal upaya pemecahan masalah yang konstruktif. Sedangkan kebijakan konservasi dapat menjadi alternatif instrumen penyelesaian konflik yang bersifat solusi integratif dengan adanya kesepakatan bersama untuk melakukan rekonstruksi batas dan optimalisasi zonasi secara mufakat dengan keterlibatan pihak ketiga. Kebijakan konservasi yang mengedepankan aspek ekonomi, sosial budaya dan ekologi, dapat menjembatani kebutuhan kedua belah pihak dan meningkatkan kepedulian bersama terhadap pelestarian kawasan TN Gunung Merbabu.

This present research focuses on the conflict of conservation area borders at Mount Merbabu National Park which causes a dispute over 49,05 ha of land. The difference perceptions concerning the conservation area borders at Mount Merbabu National Park between the manager and the society in Gesikan and Tumut neighbourhood at Jrakah Village raises continuous conflict. This research is aimed at collecting perceptions and needs of both parties in the conflict of conservation area borders at Mount Merbabu National Park. Additionally, this research analyses efforts and alternative solution to solve the conflict. The research takes place in Jrakah Village at Selo Subdistrict in the District of Boyolali, in which the conflict emerges between the society of Gesikan and Tumut neighbourhood and the manager of Mount Merbabu National Park. This research applies interviews as its method which generates descriptive data. The resource persons are those who understand and have involved in solving the conflict. The results show that the manager of Mount Merbabu National Park has a perception that the area borders has been in accordance with the map of the Ministry of Forestry (the previous manager) and the map of reconstructed area borders of Mount Merbabu National Park in 2007. Whilst, in the perception of local society, the area borders is marked by a pile of big rocks (entho) and Cendani bamboo, which used to be the border marks in the era of Dutch colonialism. The conflict enhancement is eventually related to the need of both parties. The society's life depends on the land/field to fulfil their daily needs, meanwhile the manager of Mount Merbabu National Park needs the confidence of their area borders (acknowledged by all parties) in order to optimize the area management. Perceptions and needs of both parties construct their own standards of behaviours. The society holds on the historical interpretation and the wisdom of local public figures. Whilst, the manager of Mount Merbabu National Park holds on to the rules and the policy of conservation. The conflict is still going on since there has not been an integrative solution from both parties. Efforts that have been made are in form of initiative from Mount Merbabu National Park party. The different perceptions of area borders might not be clarified and accepted by the society. Both parties do not know and understand the historical status of the dispute land, which was owned by kesunanan (dominion of the Sunan) of Surakarta and then became the state's property by law. In the other side, the continuance of this conflict results to the greater society's reliance to the dispute land. Problem solving which gives integrative solution and mutual agreement is needed. The participation of the third party (mediator) is required to provide integrative solution. The attempt of constructing census by involving various related parties as well as the third party might help in clarifying the history of the area and might be the first constrictive step to solve the conflict. The policy of conservation might be the instrumental alternative in solving the conflict which also an integrative solution with mutual agreement to reconstruct the area borders and zones optimization by discussion and third party's participation. The policy of conservation which emphasizes economical, socio-cultural, and ecological aspects might link the need of both parties and increase mutual awareness towards the preservation of Mount Merbabu National Park area.

Kata Kunci : Taman Nasional (TN) Gunung Merbabu.Persepsi, Kebutuhan, Konflik batas kawasan konservasi, Solusi integratif ; Mount Merbabu National Park, Perception, Need, Conflict of Conservation Area Borders, Integrative solution