Laporkan Masalah

DINAMIKA TEDHAK SITEN: Studi Terhadap Tradisi Upacara Adat Tedhak Siten Dua Keluarga di Yogyakarta

GALUH SANTIKA D, Dr. G.R. Lono Lastoro Simatupang, M.A.

2015 | Skripsi | S1 ANTROPOLOGI BUDAYA

Eksistensi manusia di dunia antara lain terkait dengan perannya dalam pembentukkan nilai-nilai budaya yang terwujud dalam pelaksanaan tradisi upacara adat. Salah satunya adalah upacara daur hidup manusia yang dimulai sejak dalam kandungan, melahirkan, masa anak-anak dan remaja, dewasa sampai meninggal dunia. Tradisi upacara Tedhak Siten atau turun tanah adalah satu dari sekian upacara daur hidup pada masa anak-anak, tepatnya pada usia pitu lapan (7x35 hari) atau kurang lebih 7 sampai 8 bulan, untuk memperingati pertama kali anak menapakan kaki ke tanah. Tedhak Siten telah dilaksanaan sejak jaman dahulu meski tidak ada yang tahu secara pasti kapan tahunnya dan berasal dari ajaran Hindu atau Islam. Namun saat ini masih ada beberapa masyarakat Yogyakarta yang menyelenggarakan upacara tersebut untuk anaknya. Tedhak Siten mengalami perubahan tidak hanya secara fisik, namun juga tujuan masyarakat dalam menyelenggarakannya. Adanya perkembangan budaya serta perubahan pola pikir masyarakat sedikit banyak telah berpengaruh terhadap tradisi Tedhak Siten. Penelitin ini dilakukan di Yogyakarta dengan melihat proses Tedhak Siten yang dilakukan saat ini oleh keluarga kerabat bangsawan (Kraton) dan keluarga biasa (non bangsawan Kraton). Hal ini dilakukan untuk membandingkan pelaksanaan Tedhak Siten pada dua keluarga tersebut. Meski tidak dapat disamakan, keluarga kerabat bangsawan untuk mewakili pelaksanaan Tedhak Siten di dalam Kraton dengan keluarga biasa di luar lingkungan Kraton. Sehingga dapat diketahui apakah terdapat perbedaan prosesi Tedhak Siten pada kerabat bangsawan dan masyarakat biasa, kemudian mengapa upacara Tedhak Siten masih dilaksanakan saat ini. Jenis penelitian ini bersifat deskriptif, dengan beberapa teknik pengumpulan data secara kualitatif yang ditempuh dengan beberapa metode yaitu metode observasi, wawancara dan dokumentasi pada bulan Juni dan Juli tahun 2014. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tradisi upacara Tedhak Siten yang masih dilakukan oleh beberapa masyarakat di Yogyakarta sampai sekarang telah mengalami pergeseran. Terutama pada kesan yang dulu sederhana sekarang menjadi mewah dan meriah. Selain itu barang-barang yang diletakkan dalam kurungan lebih bervariasi dan menyesuaikan zaman, serta munculnya jasa penyelenggara (event organizer) Tedhak Siten yang seolah-olah menjadikan tradisi upacara adat sebagai sebuah komoditi dan gaya hidup bagi kaum elit saja. Sehingga pelaksanaan Tedhak Siten bergeser menjadi sebuah pertunjukkan kebudayaan, hanya sekedar tontonan bukan tuntunan.

Human existence in the world is relate with his role to make cultural values, it represents in implementation of traditional ceremony. One of traditional ceremony is life cycle ceremony which began in the womb, birth, childhood and teenage, adult until death. Tedhak Siten traditional ceremony or Turun Tanah -in Bahasa- is one of many life cycle ceremony in childhood. When a child reaches the age of seven lapan (7 x 35 days) or approximately 7 or 8 months, it is customary to celebrate with tedhak siten ceremony, which is a ceremony to introduce the child for the first time to stepping foot on earth/ the ground. Tedhak Siten has held in long time ago, although no one knows when the ceremony begin and what the religion brings it, Hinduism or Islam exactly.However, at this time there are still some people in Yogyakarta who organize the ceremony for his son/daughter. Tedhak Siten changed not only physically, but also in the public purpose to organize it. The development of the culture and change the mindset of society has more or less influence on Tedhak Siten traditional ceremony. This research did in Yogyakarta to see the process of Tedhak Siten held in two kind of family today. First Tedhak Siten by royal family relatives (Kraton) and ordinary family. The purpose is compare the implementation of Tedhak Siten between two families. Although never be the same royal family relatives with royal family, but royal family relatives can represent Tedhak Siten ceremony in the palace with ordinary family outside the palace (Kraton). So, it can be known whether there are differences of Tedhak Siten ceremony in royal family relatives and ordinary family, then to know the reason why Tedhak Siten still held today. This research is kind of descriptive study, use some qualitative data collection technics such as observation, interview, and documentation. The results of this research indicate that Tedhak Siten traditional ceremony is still held by some communities in Yogyakarta until now, although the meaning is not same again. The old impression is simple and now it becomes luxurious and festive. In addition, the things are placed in confinement is more varied and adjust the times, and the rise of event organizer to held Tedhak Siten that seems to make traditional ceremony as a commodity and the lifestyle of the rich only. So, the meaning of Tedhak Siten shifted into a cultural show, just a spectacle not a guidance.

Kata Kunci : upacara daur hidup, tedhak siten, turun tanah; Life cycle ceremony, tedhak siten, stepping foot on the earth

  1. S1-2015-305112-abstract.pdf  
  2. S1-2015-305112-bibliography.pdf  
  3. S1-2015-305112-tableofcontent.pdf  
  4. S1-2015-305112-title.pdf