Laporkan Masalah

MODEL KERUANGAN KONSERVASI AIRTANAH TIDAK TERTEKAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN BENTUKLAHAN DI LERENG SELATAN GUNUNGAPI MERAPI

BAMBANG HARGONO, Prof. Dr. rer.nat Junun Sartohadi, M.Sc.; Dr. M. Pramono Hadi, M.Sc.; Prof. Ir. Bakti Setiawan, M.A., Ph.D.

2015 | Disertasi | S3 Ilmu Lingkungan

Model pewilayahan hidrologis berdasarkan bentuklahan diperlukan untuk mengetahui neraca air, mengetahui wilayah mana dan kapan terjadinya kekurangan air, serta upaya konservasi yang diperlukan untuk mengatasi kekurangan airnya. Sistem aquifer Merapi mempunyai permeabilitas dan daya tampung yang produktif, data hujan tahunan menunjukkan kecukupan airnya untuk memenuhi kebutuhan penduduk di Perkotaan Yogyakarta. Tetapi, muka airtanah menunjukkan penurunan sebesar 1,75 m pada perioda 2002 – 2008. Penduduk Perkotaan Yogyakarta yang 80% diantaranya menggunakan sumur gali, mengatasi masalahnya dengan memperdalam sumur. Upaya konservasi airtanah tidak tertekan diperlukan untuk mempertahankan kestabilan muka airtanah. Penelitian yang dipusatkan di Perkotaan Yogyakarta ditujukan untuk menyusun model keruangan konservasi airtanah tidak tertekan yang dapat diaplikasikan di seluruh lereng Gunungapi Merapi dan di tempat-tempat lain dengan karakteristik geomorfologi dan bentuklahan serupa. Perkotaan Yogyakarta berdiri pada bentuklahan-bentuklahan lereng kaki gunungapi, dataran kaki gunungapi, dan dataran fluvial gunungapi. Sungai-sungai Bedog, Winongo, Code, Gajahwong, dan Tambakboyo membentuk daerah interfluve yang setelah ditumpangsusunkan dengan bentuklahan-bentuklahan, membentuk 12 satuan wilayah penelitian yang digunakan sebagai satuan hidrologi untuk melakukan analisis kesetimbangan air. Analisis hidrologi sederhana dilakukan untuk menghitung ketersediaan air dengan mengasumsikan tidak adanya tampungan airtanah, dan dengan model NRECA yang mempertimbangkan adanya perubahan tampungan airtanah. Perbandingan antara kebutuhan air dan ketersediaan air dinyatakan dalam berbagai tingkat kekritisan dan kekurangan air. Seluruh satuan wilayah penelitian mengalami kekritisan dalam berbagai tingkatan. Ketidakseimbangan antara pengambilan airtanah oleh penduduk dengan kecepatan pengisian airtanah kembali secara alamiah menjadi penyebab utama terjadinya kekritisan sampai kekurangan air. Setiap satuan wilayah penelitian dibagi menjadi microcatchmentmicrocatchment, yakni cekungan-cekungan lokal yang system drainasenya bisa dianalisis secara mandiri. Microcatchment menjadi kerangka dasar keruangan sebagai satuan konservasi airtanah. Konservasi airtanah tidak tertekan dilakukan dengan manajemen air hujan, yakni mencegah air hujan agar tidak melimpas dengan menyimpannya di tempat hujan jatuh atau meresapkannya ke dalam tanah dan mempertahankan fungsi hidrologis pada microcatchment agar tidak berubah antara sebelum dan sesudah pembangunan. Hasil akhir dari model keruangan konservasi airtanah tidak tertekan dengan menggunakan pendekatan bentuklahan ini adalah jumlah dan sebaran sumur resapan atau kolam resapan yang menyesuaikan dengan tata ruang dan penggunaan lahan pada setiap microcatchment.

A spatial model based on landforms is required to understand the water balance and to find areas suffer from water scarcity and time when the scarcity occurs, in order to consider method of unconfined groundwater conservation. The Merapi aquifer system is very productive with its high permeability and large storage capacity. The annual rainfall data shows its adequacy to provide water requirement for the population of the urban area of Yogyakarta; however, groundwater table has been declining as much as 1.75 m, within the period of 2002 - 2008. Eighty per cent of the population utilizes dug wells. They overcome this problem by deepening the wells. Unconfined groundwater conservation effort is required to keep the stability of the groundwater table. The research, focused on the urban area of Yogyakarta is aimed at providing spatial model for unconfined groundwater conservation to be applied in the overall southern slope area of the Merapi Volcano and elsewhere having similar geomorphology characteristics. The Yogyakarta urban area lies on foot slope, foot plain and fluvial volcanic landforms. The rivers; Bedog, Winongo, Code, Gajahwong, and Tambakboyo, form interfluves; and when superimposed with the landforms, create 12 units of research area where water balance are analyzed. Simple hydrology analysis is applied assuming no change in groundwater storage. The other analysis is conducted using rainfall-runoff model, NRECA, considering the change in groundwater storage. The ratio of water requirement to water availability is expressed in various levels of water criticality and scarcity. All units of the research area suffer from water crisis in various levels. Unbalances between groundwater abstraction rate and its natural recharge into the ground is the main cause of the criticality and even the water scarcity. Each unit of research area is divided into microcatchments, which are local small basins having their own independent drainage system. This microcatchment is the basic spatial framework for unconfined groundwater conservation works. The unconfined groundwater conservation works is applied using the principles of rainstorm management by preventing runoff to keep the rain water at the place where it falls and/or infiltrate them into the ground; and keep the hydrologic function of the microcatchment remain unchanged after development. The final result is the spatial model comprising number and distribution of the unconfined groundwater conservation facilities, which are infiltration wells and/or infiltration ponds in various landuse of the microcatchment.

Kata Kunci : model keruangan, bentuklahan, konservasi, airtanah tidak tertekan, microcatchment.


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.