Resistensi Kaum Papara (Kelas Jelata) Di Kesultanan Buton Dalam Masa Demokratisasi
MAS'UD, La Ode Masrizal, Dr. Haryanto, MA
2015 | Tesis | S2 Politik dan PemerintahanTesis ini berusaha menjelaskan bagaimana ruang demokratisasi dimanfaatkan sebagai arena konflik wacana perlawanan terbuka oleh kaum marginal, sekaligus mengkaji bagaimana stereotipe direproduksi menjadi wacana simbolik kekuasaan, seterusnya ini mengungkap kelangsungan proses menegosiasi dominasi kelas melalui pembongkaran stereotipe yang disematkan pada kelas jelata. Proses demokratisasi yang berpapasan dengan perjalanan sejarah lokal tentu akan berimplikasi pada potensi pergeseran nilai tertentu. Di era demokrasi saat ini, Kesultanan Buton di Sulawesi Tenggara, misalnya, masyarakat menentukan status sosial atau kelompok-kelompok berbasis sistem kasta. Penjaminan hak-hak politik yang digalakkan atas nama demokratisasi tetap saja membiarkan adanya ‘Katobengke’, atau kelompok kelas/kasta rendah (papara). Penelitian ini mengungkap nuansa politis bagaimana stereotipe direproduksi oleh kelompok kaomu-walaka terhadap orang Katobengke sebagai kelompok papara dalam berbagai kesempatan. Dalam masa itu, kelompok kaomu dan walaka sebagai kelas dominan melakukan distinction terhadap orang Katobengke sebagai kelompok lapis bawah atau didominasi, distinction ini mengacu pada ciri-ciri fisik yang membedakan kelompok kaomu-walaka dengan orang Katobengke. Reproduksi stereotipe tersebut secara empirik terinternalisasi dalam wacana simbolik politisasi kekuasaan kelompok tertentu sebagai upaya mempertahankan kekuasaan, privilese dan prestise melalui wacana “stereotipe” orang Katobengke yang kotor dan bau, bodoh, kuat makan, lebar kaki, serta budak (batua). Bahkan sampai pada masa demokratisasi saat ini, kelompok kaomuwalaka tetap saja mereproduksi wacana tersebut. Sisi lain, sebagai kelompok yang didominasi atau disematkan stereotipe, orang Katobengke terus saja berusaha menegosiasi dengan perlawanan terhadap definisi yang diberikan kelompok kaomu-walaka pada mereka. Bentuk perlawanan kelompok marginal ini berupa maksimalisasi ruang demokratis bernegara dalam sistem pemerintahan nasional yang berimplikasi sampai ke daerah, resistensi lewat jalur pendidikan, resistensi dengan menggunakan simbol negara/militer, dan resistensi lewat jalur politik sebagai ruang-ruang negosiasi status orang Katobengke dalam struktur masyarakat Buton. Kesimpulan secara umum, saat ini perubahan struktur sosial masyarakat Buton masih mencari pola baru dalam ranah penguasaan simbolik dan perlawanan, yang mana kelompok kaomu-walaka terus mempertahankan wacana kekuasaan, privilese, dan prestise dengan memahami dunia sosial melalui status tradisional (kamia) masa kesultanan, sedangkan orang Katobengke tetap saja berupaya memahami dunia sosial dengan status baru berdasarkan pendidikan, agama, dan politik. Kata kunci : Demokrasi, Stereotipe, Stratifikasi kelas, Resistensi/Konflik.
This thesis tries to explain how democratization is used as an arena of conflict of opened resistance discourse by marginal groups, as well as examines how stereotypes are reproduced to become symbolic discourse of power, so it reveals the continuity of negotiating processof class domination through dismantling stereotypes embedded in ordinary (periphery) classes. Democratization which meetshand in hand with local history will certainly have implications for the potential shift of a certain value. In the current democratic era, the Sultanate of Buton in Southeast Sulawesi, for example, determines social status or community (groups) based caste system. Guarantee of political rights is promoted on behalf of democratization but it still lets their “Katobengke”, or group of class/lower caste (Papara). This research reveals the political nuance of how stereotypes are reproduced bykaomu-walakagroup towards Katobengke people as Papara groups in various opportunities. In that time, kaomugroup and walaka as the dominant classes did distinction toKatobengke as lower class or dominated group, this distinction refers to the physical characteristics that differentiate kaomuwalaka group with Katobengke people. Stereotype reproduction is empirically internalized in politization of symbolic discourse of power of a certain group in an attempt to retain power, privilege and prestige through the discourse of “stereotype”of Katobengke people who are dirty and smelly, stupid, foody, wide leg, and slaves (Batua). Even in current democratization, kaomu-walakagroup still keep reproducing the discourse. On the other side, as a dominated group or stereotype sembedded-in, the Katobengke people keep trying to negotiate with resistance to the definition given by kaomu-walakagroup on them (Kotabengke people). The form of resistance of this marginalized group can be such as maximizing democratic space in term of state in the national government system that have implications to the local authority, resistance through education, resistance by using the symbol of state / military, and resistance by political means as negotiation spaces of the Katobengke people status in Buton social structure. General conclusion, the current changes in the social structure of Buton’s society still look for a new pattern in the realm of symbolic domination and resistance, in which kaomu-walaka groups continue to maintain power discourse, privilege, and prestige to understanding the social world through the traditional status (Kamia) of the imperial period, while the Katobengkepeople still try to understand the social world with a new status based on education, religion, and politics. Keywords: Democracy, Stereotypes, Class Stratification, Resistance/Conflict.
Kata Kunci : Demokrasi, Stereotipe, Stratifikasi kelas, Resistensi/Konflik.