HIKIKOMORI SEBAGAI SEBUAH PERMASALAHAN GENDER DI JEPANG
GANCAR STYAWAN, Sri Pangastoeti S.S., M.Hum.
2015 | Skripsi | S1 SASTRA JEPANGSkripsi ini meneliti tentang masalah hikikomori yang ada di Jepang dilihat dari permasalahan gender. Hikikomori adalah suatu keadaan di mana seseorang secara terus menerus selama enam bulan atau lebih, mengurung diri di kamarnya tanpa melakukan partisipasi sosial, bukan disebabkan oleh gangguan mental yang lain, biasanya pelaku berusia hingga akhir dua puluhan tahun dan kebanyakan pelakunya adalah laki-laki. Hikikomori muncul dan mulai menjadi perhatian publik sebagai sebuah masalah sosial di Jepang antara tahun 1999 dan 2000. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan keterkaitan antara hikikomori dengan permasalahan gender di Jepang. Metode yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari buku, jurnal, skripsi, tesis, artikel dan penelusuran data melalui internet yang berkaitan dengan permasalahan hikikomori. Pelaku hikikomori mempunyai ciri khas yaitu mengunci diri di dalam kamar dan menolak segala macam kontak dengan dunia luar. Mereka tidur sepanjang pagi dan siang hari, kemudian bangun di saat sore dan tetap terjaga hingga larut malam. Beberapa penelitian yang dilakukan pemerintah maupun swasta di Jepang menyebutkan bahwa 70 sampai 80 % pelaku hikikomori adalah laki-laki. Terdapat tiga faktor utama penyebab hikikomori yaitu faktor keluarga, pendidikan, dan masyarakat. Selain itu faktor gender berupa perbedaan ekspektasi dan amae (hubungan saling ketergantungan antara ibu dan anak) juga berpengaruh dalam fenomena hikikomori ini. Anak laki-laki dalam masyarakat Jepang diharapkan untuk menjadi pribadi yang lebih sukses dalam pendidikan dan karir dibandingkan dengan anak perempuan. Sebaliknya, perempuan diharapkan untuk secepatnya menikah, berpindah menuju rumah suaminya dan kemudian menjadi ibu yang sempurna untuk merawat dan membesarkan anak-anaknya. Hal tersebut dapat menyebabkan tekanan lebih besar yang dirasakan anak laki-laki sehingga memilih hikikomori sebagai jalan keluar. Dari hasil analisis dapat dilihat bahwa pelaku hikikomori laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan pelaku perempuan. Keadaan tersebut disebabkan adanya ketidakadilan gender dalam masyarakat Jepang. Ketidakadilan gender yang dimaksud adalah adanya perbedaan ekspektasi antara anak laki-laki dan perempuan, serta masalah amae. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa permasalahan gender dapat mempengaruhi hikikomori di Jepang.
This research studies hikikomori problem in Japan. Hikikomori is a condition of seclusion where there is no social participation that lasts at least six months, a mental disease is not the major reason of the problem, generally the age ranged up to late 20s and most of them are male. Hikikomori began to public attention as a social problem in Japan between 1999 and 2000. The main purpose of this research is to explain the relation between hikikomori and gender issues in Japan. The method used in conducting this research is the inferential statistic. The data collection used in this method consist of literature study, journal, and thesis. The internet is also an important source on matters relating with hikikomori issues. Hikikomori has a characteristic that locked themselves in their room and refuse all kinds of contact with the outside world. They sleep all day, then wake up at the evening and stay awake until late at night. According to some research, 70 until 80 % hikikomori were male. Three primary factors that cause hikikomori are family, education, and society. In addition, many factors such as differences in gender expectations and amae (the symbiotic relationship between mother and child) was also having an influence in this hikikomori phenomenon. Boys in Japanese society are expected to be more success in education and career than girls. Otherwise, women are expected to eventually get married, and then become a perfect mother to raise their children.This condition can lead greater stress to the boys so they choose hikikomori as a way out. As a conclusion of this research, the number of male hikikomori is larger than the female ones. This case is caused by gender inequality which still occurred in Japanese society, shown by the different expectations between both genders, and the symbiotic co-dependence relationship between mother and child that was called amae. So it can be concluded that gender issues can affect the hikikomori problem in Japan.
Kata Kunci : hikikomori, gender, masalah sosial