Pendidikan Seni di Yogyakarta: Membebaskan atau Membelenggu (Studi di Sekolah Menengah Musik Yogyakarta)
DORKAS ALFIANNE JISA, Drs. Purwanto, M. Phil
2014 | Skripsi | S1 SOSIOLOGIABSTRAKSI Pendidikan saat ini seolah mati suri karena dibunuh oleh kurikulum yang kaku. Keberadaan pendidikan seni menjadi salah satu alternatif cara yang diyakini Freire (1970) mampu mempraktikkan konsepnya, yaitu pendidikan yang membebaskan melalui konsientisasi atau penyadaran. Namun, di tengah praktik pembebasan melalui pendidikan seni yang bertujuan mendorong siswa untuk meningkatkan kemampuan apresiasi, ekspresi, dan kreativitas siswa ternyata ditemukan anomi dalam pendidikan seni itu sendiri. Rumusan masalah dari penelitian ini adalah mengetahui penyebab reproduksi anomi dari praktik pembebasan dalam pendidikan seni. Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan mendeskripsikan secara komprehensif bagaimana siswa memaknai pembebasan dalam pendidikan seni. Kemudian melihat adanya reproduksi anomi, penelitian ini pun bertujuan untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya anomi serta langkah-langkah yang ditempuh pihak sekolah untuk mereduksi anomi. Dalam proses penyusunan dan pelaksanaan, penelitian dilakukan secara kualitatif dengan metodologi analisis deskriptif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi dan wawancara secara snowball. Lokasi penelitian ini di Sekolah Menengah Musik (SMM) Yogyakarta dengan alamat Jalan PG Madukismo, Bugisan Selatan, Yogyakarta. Penelitian ini melibatkan 9 informan yang terdiri dari 4 orang siswa dan 5 orang guru. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat anomi dengan faktor penyebabnya dilihat dari analisis pada siswa meliputi: motivasi masuk SMM Yogyakarta dimana siswa memiliki motivasi yang tidak sesuai dengan yang diharapkan saat ingin masuk SMM Yogyakarta, interpretasi mengenai seni, dan aktivitas siswa di lingkungan sekolah. Faktor lain juga dilihat dari peran guru di sekolah dengan menyoroti metode mengajar guru yang menggunakan metode mengajar banking system. Kebebasan dalam pendidikan seni sendiri membutuhkan proses, yaitu dengan dilakukannya konsientisasi atau penyadaran diri siswa. Penyadaran dilakukan untuk membuat siswa mampu mengungkapkan apresiasi, ekspresi, serta kreativitasnya. Contoh faktor tersebut tidak mendukung proses pembebasan dalam pendidikan seni dan malah menjadi belenggu kreativitas siswa. Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah ditemukan belenggu dalam pendidikan seni. Meski apresiasi, ekspresi, dan kreativitas siswa benar-benar tertuang saat berkarya seni, namun siswa terbelenggu oleh kurikulum berupa pelajaran pengetahuan umum serta metode mengajar guru. Keadaan tersebut bertambah rumit dengan adanya pemberontakan dari diri siswa yang tidak mau menerima pelajaran pengetahuan umum sehingga berujung pada reproduksi anomi dalam pendidikan seni. Hal ini sangat disayangkan karena bisa menjadi penghambat siswa untuk berprestasi dalam bidang seni maupun pendidikan, serta mempengaruhi perkembangan siswa dalam kehidupan sosial masyarakat.
ABSTRACT Nowadays, education seems to be in a coma due to the strict curriculum. The existence of arts education is an alternative which were believed by Freire to model his concept, the concept of education which was liberating through conscientization or realization. However, in the practice of liberating through arts education which aims to encourage students in improving appreciation, expression, and creativity skills, there was found an anomie in arts education itself. The problem formulation of this research was to find out the cause of an anomie reproduction from the practice of liberating in arts education. This research aimed to understand and describe comprehensively on how students understood the liberation in arts education. Seeing the occurence of anomie reproduction, this research also aimed to know the cause of the occurence of anomie factor and the steps which the school went through to reduce anomie. In the process of planning and implementing, the research was applied qualitatively with descriptive analysis methodology. Gathering data technique were done by observing and interviewing using snowball. The research setting was in Sekolah Menengah Musik (SMM) Yogyakarta on Jalan PG Madukismo, Bugisan Selatan, Yogyakarta. This research involved nine informants consisting of four students and five teachers. Based on the results of the research, there was an anomie with the occurence factors seen from the students analysis which covered as follows: enrolling SMM Yogyakarta motivation where students have no corresponding motivation upon what expected when they wanted to enroll in SMM Yogyakarta, arts interpretation, and students activities at school. Moreover, the other factor was seen from teacher's roles at school by underlining teacher's teaching method which were applying banking system teaching method. Liberation in arts education underwent a process; by applying conscientization or students realization. Realization was undergone to make students be able to express their appreciation, expression, and creativity. The factors mentioned were not supporting realization process in arts education, albeit they were restraining student's creativity. The conclusion of the research was there was found a restraining act in arts education. Although student's appreciation, expression, and creativity were significantly shown when working on arts, students were restrained by the curriculum; in forms of general knowledge subjects and teacher's teaching methods. This condition were becoming complicated with the occurence of student's act of self-rebellion in which they didn't want to study general knowledge subjects resulting on anomie reproduction in arts education. This was unfavorable since it might result as student's obstacle in accomplishing some achievements either in arts or in education. Furthermore, it affected student's social life development.
Kata Kunci : pendidikan seni, konsientisasi, anomi