MAKNA HIDUP SETELAH MENJALANI SANKSI ADAT KASEPEKANG: STUDI KASUS DI BALI
NYOMAN TRISNA ARYANATA, Drs. Subandi, M.A., Ph.D
2014 | Tesis | S2 PsikologiSanksi adat kasepekangadalah sanksi adat yang berat bagi orang Bali. Sanksi ini menyebabkan mereka tidak diajak berbicara dan berbagai fasilitas banjar maupun desa untuk kehidupan sosiospiritualnya tercabut, sepertitidak diikutsertakan dalam kegiatan adat, tidak dibantu dalam kegiatan adatnya sendiri, tidak boleh mengakses pura hingga tak boleh menggunakan tanah kuburan desa. Membentuk makna hidup menjadi jalan untuk dapat memahami situasi yang ada dan menentukan tindakan yang harus dilakukan dalam hidupnya. Penelitian ini hendak mengeksplorasi makna hidup orang Bali yang telah menjalani sanksi kasepekang. Data dalam studi kasus tunggal ini dikumpulkan melalui wawancara mendalam semi-terstruktur terhadap satu subjek berusia 30an ketika mengalami sanksi, seorang informan tahu (significant other), dan seorang informan ahli. Hasilnya adalah terjadi perubahanpemaknaan hidup dari yang semula memaknai sanksi sebagai bentuk diskriminasi yang ditanggapi dengan penolakan dan perlawanan, menjadi penerimaan sanksi yang terwujud dalam internalisasi ikatan diri dengan desa adat dan tindakan konformitas pada peraturan desa yang direpresentasikan dalam konsep kerukunan. Usaha untuk reintegrasi diri dalam desa juga didukung lewat partisipasi aktif dalam aktivitas sosiokultural dan kesabaran (pengelolaan diri agar tidak muncul konflik terbuka). Perubahan ini didorong oleh pemenuhan kewajiban peran sosial sebagai kepala keluarga dan kebutuhan untuk melakukan upacara keluarga.
Kasepekangis one of the heaviest sanctions in Balinese traditional law (awig-awig). This customary sanction put them away from their peoplein the forms of being banned from being greeted by other people in his village and banned from accessing village's facilities, such as seclucion from village's activites, not getting helps for their customary activities, restriction from accessing village's temples, and even being disallowed from using village's cemetery for family's cremation ceremony. Constructing meanings in life could facilitate them to comprehend the difficult situations and therefore making decision of actions regarding to the situations. This single case study was aimed for exploring Balinese meanings in life after kasepekang sanction. Data were gathered through semi-structured indepth interview to a Balinese man who was around his 30's when the sanction was effective. The results showed changes in his meanings in life, from referring the sanction as a discrimination and responding it with denial and competition to accepting it. The Subject even internalized self's bonds with village as fundamental and absolute and therefore, he became conformed to village's norms and used the concept of "Kerukunan" (harmony) to represent it. The effort for reintegration with the community was also supported by active participation in sociocultural activities and patience (self-management to avoid open conflicts). These changes were driven by fulfillment of social role as the head of family and the need for carrying family's ceremonies.
Kata Kunci : meanings in life, Balinese, customary law, rukun, kasepekang, makna hidup, orang bali, hukum adat, rukun