PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG HAK ATAS TANAH DI ZONA KAWASAN RAWAN BENCANA III GUNUNG MERAPI DI KECAMATAN CANGKRINGAN, KABUPATEN SLEMAN

ALI AKBAR SURYONAGORO, Dyah Ayu Widowati, S.H., M.Kn.

2014 | Skripsi | ILMU HUKUM

INTISARI Kepemilikan atas sebidang tanah oleh perseorangan individu diakui oleh negara dalam hukum tanah nasional. Oleh karena itu, sudah sepantasnya pemegang hak atas tanah mendapatkan perlindungan hukum terhadap tanah miliknya. Tidak terkecuali terhadap tanah-tanah yang berada di lereng Gunung Merapi. Erupsi dahsyat Gunung Merapi terjadi pada tahun 2010 yang menyebabkan hilangnya batas-batas tanah, hilangnya beberapa bidang tanah, dan hilang maupun terbakarnya bukti kepemilikan atas tanah milik perseorangan individu. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis empiris dengan sifat penelitian yang deskriptif. Metode penelitian menggunakan penelitian kepustakaan dan lapangan. Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data relevan yang berasal dari peraturan perundang-undangan dan literatur. Kemudian penelitian lapangan dilakukan untuk memperoleh fakta yang terjadi di lapangan berkaitan dengan masalah yang diteliti dengan metode wawancana dan penyebaran kuisoner. Penelitian ini menemukan bahwa terdapat dua bentuk perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas tanah di zona Kawasan Rawan Bencana III Gunung Merapi antara lain dengan adanya penerbitan pengaturan tata ruang Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi yang secara khusus mengatur bahwa terdapat sembilan padukuhan dari tiga desa di Kecamatan Cangkringan yang berada di zona Kawasan Rawan Bencana III Gunung Merapi, terlarang untuk dihuni. Serta adanya pelaksanaan program-program pertanahan berupa program IP4T, program Sertipikasi PRONA, dan program konsolidasi tanah. Terdapat hambatan yang dihadapi pemerintah maupun masyarakat dalam pelaksanaan perlindungan hukum, antara lain tidak dapat tegaknya pengaturan tata ruang Kawasan Rawan Bencana III Gunung Merapi, pemilik tanah yang domisilinya jauh, kondisi kontur tanah yang tidak rata, kurang proaktifnya masyarakat dan kesulitan masyarakat untuk menggunakan komputer dalam proses pemberkasan dokumen kepemilikan tanah. Terhadap hambatan tersebut, terdapat upaya penyelesaian yaitu pengenalan konsep hidup yaitu living harmony with disaster, perlakuan khusus terhadap pemilik tanah yang domisilinya jauh, ukuran tanah yang disamakan seperti sebelum erupsi, serta masyarakat diperbolehkan dalam pemberkasan dokumen kepemilikan tanah menggunakan tulisan tangan sehingga mempercepat pemberkasan.

ABSTRACT Ownership of a land by private individuals recognized by the state in national law of the land. Therefore, it is appropriate that the land rights holders get legal protection of his property include the lands on the slopes of Mount Merapi. Devastating eruption of Mount Merapi occured in 2010 which led to the lost of land boundaries, the lost of several land, and the proof of land ownership was lost or burned. This research use an empirical juridical approach with descriptive research type. The method of research use library research and field research. The library research conducted to obtain relevant data derived from legislation and literature. Then, the field research to obtain evidence in a field related to the problems examined by interview method and deployment questionnaire method. This research found that there are two form of legal protection towards the land rights holders in the disaster-prone area III of Mount Merapi that is with publishing of the disaster-prone area of Mount Merapi legislation that specifically that there are nine hamlets from three villages at sub district Cangkringan which located in the disaster-prone area III of Mount Merapi, forbidden to live in that area. Then, there are implementation of land programs that is IP4T program, PRONA certificate program, and land consolidation program. But, there is obstacle that faced by government and people in legal protection process, that is the disaster-prone area III of Mount Merapi legislation was not compliance by the people, the land holders who live far from their land, the contour of uneven lands, less proactive from people and the difficulties people to use computers in the process of filling document to certificate their land. Against these obstacles, there are solution that is the introduction of the concept of live that named living harmony with disaster, special treatment for the land holders who live far from their lands, the size comparable land as it was before the eruption, more proactive treatment from the people representative to remind the people and the people who hard to using computers are allowed to use their handwriting to complete the document for land certificate so the process can be continued.

Kata Kunci : perlindungan hukum, hak atas tanah, kawasan rawan bencana, legal protection, land rights, disaster-prone area