Laporkan Masalah

PERBEDAAN METODE PENUNJUKKAN LANGSUNG DALAM PENGADAAN BARANG/JASA D! LINGKUNGAN INDUSTRI HULU MIGAS

OKI PANCORO, S.SI, Prof. Dr. Nurhasan Ismail, SH., M.Si.

2015 | Tesis | S2 Magister Hukum

Industri hulu Migas adalah industri yang membutuhkan investasi yang sangat besar karena tingkat resiko keselamatan kerja tinggi, kompetensi sumber daya manusia yang dibutuhkan juga tinggi, dan ketidakpastian akan bisnisnya juga besar karena bergantung kepada harga jual minyak dunia yang kerap berubah. Oleh karena itu, pemerintah Republik Indonesia, sebagai penguasa Migas di Indonesia, dan pelaku bisnis di industri hulu Migas tidak ingin kehilangan momentum tersebut, sehingga tahap perencanaan sampai dengan pelaksanaan operasi hulu Migas harus dikawal secara ketat supaya tidak terlambat. Salah satu variabel yang mempengaruhi tahapan perencanaan adalah kegiatan pengadaan barang & jasa. Peraturanperaturan yang melingkupi kegiatan pengadaan barang & jasa di lingkungan industri hulu Migas seharusnya dilindungi. Peraturan yang saat ini dipergunakan untuk kegiatan pengadaan barang & jasa di lingkungan industri hulu Migas adalah Pedoman Tata Kerja BPMIGAS No.007 Revisi- II/PTK/I/2011 (“PTK No.007 SKKMIGAS”). Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan antara PTK No.007 SKKMIGAS yang tumpang tindih dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.79 tahun 2010 (“PP No.79/2010”), khususnya untuk kegiatan pengadaan barang/jasa yang menggunakan metode penunjukkan langsung di industri hulu Migas di Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif berdasarkan aspek hierarki perundang-undangan, aspek sosiologi hukum, dan aspek kepastian hukum. Berbeda dengan PTK No.007 SKKMIGAS, aturan dalam PP No.79/2010 tidak memperbolehkan pengadaan barang & jasa dengan metode penunjukkan langsung kecuali kondisi darurat (emergency). Hal ini tidak sesuai dengan kondisi sosiologis industri hulu Migas yang memiliki tingkat kompleksitas tinggi. Pada kenyataannya, Kontraktor Kontrak Kerja Sama sampai saat ini masih mengacu kepada PTK No.007 SKKMIGAS sebagai landasan kegiatan pengadaan barang & jasa tanpa terkecuali. Padahal perihal ini mempunyai akibat hukum dimana kontrak-kontrak barang & jasa yang melalui pengadaan dengan metode penunjukkan langsung dapat dinyatakan batal demi hukum dan mempunyai dampak biaya operasinya menjadi uncost recovery. Ketidakpastian hukum ini juga dapat mempengaruhi tingkat investasi di industri hulu Migas di Indonesia menjadi turun. Pemerintah seharusnya melihat kondisi ini secara cepat, sehingga pengkajian kembali PP No.79/2010, khususnya yang berhubungan dengan kegiatan pengadaan barang & jasa, untuk disesuaikan dengan kondisi sosiologis industri hulu Migas adalah sangat diperlukan.

Upstream oil & gas industry is one industry who needs a large amount of investment value due to high risk on safety, high skill qualified-personnel, and uncertainty of its business related to the volatile of crude oil price. Thus, government of Republic of Indonesia, as a state owner of oil & gas asset in Indonesia, and upstream oil & gas companies do not have an intention to miss the opportunity to get a momentum of a good crude oil selling price, so that from the planning phase until operation performance must be prevented in an appropriate manner. One of the variables that could effect in the planning phase is the procurement activity. Regulations that covering procurement activity in the upstream oil & gas industry shall be well protected. Regulation that we use as per today for procurement activity in the upstream oil & gas industry is Working Guideline of BPMIGAS No.007 Revisi-II/PTK/I/2011 (“PTK No.007 SKKMIGAS”). This research is intended to see the conflicting regulation between PTK No.007 SKKMIGAS and Government Regulation of Republic of Indonesia No.79 year 2010 (“PP No.79/2010”), especially about procurement activity using direct appointment in the upstream oil & gas in Indonesia. This research used normative approachment based on hierarchy of law, sociology of the law, and legal certainty. Contradicting with PTK No.007 SKKMIGAS, regulation that stipulated in PP No.79/2010 doesn’t allow any procurement activities using direct appointment unless for emergency cases. This regulation can not be applied from the sociology point of view in upstream oil & gas industry that has very high complexity problem. In fact, Contractor of Production Sharing Contract are still using PTK No.007 SKKMIGAS as a guidance of procurement activity until now. Whereas, this law contradiction has legal consequences in which good & service contracts through direct appointment process could be potentially stated as null & void, and have an uncost recovery consequences. This legal uncertainty could effect investment ratio in upstream oil & gas industry in Indonesia getting lower. Government should see this condition in an appropriate way, thus PP No.79/2010 in parts related to the procurement activity matter, shall be reviewed on its implementation based on sociology condition in upstream oil & gas industry.

Kata Kunci : -


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.