Laporkan Masalah

RUNTUHNYA HUBUNGAN PATRONASE KIAI-SANTRI DALAM RUANG POLITIK LOKAL (STUDI PADA PEMILUKADA KABUPATEN PAMEKASAN TAHUN 2013)

Nurfaizin, Prof. Dr. Susetiawan, SU.

2014 | Tesis | S2 Sosiologi

Bagi kebanyakan masyarakat Madura kedudukan kiai sangat tinggi dibanding masyarakat biasa. Hal ini terlihat dari adagium lokal; Bhuppa’, Bhabbu’, Ghuru, Rato (Bapak-Ibu, Guru, dan Pemerintah). Adagium tersebut tidak hanya termanifestasi dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan, dalam kehidupan politik pun tidak sedikit masyarakat Madura yang mengkiblatkan pilihannya kepada kiai atau pilihan kiai. Beberapa kali Pemilukada (Pemilihan Umum Kepala Daerah) di empat kabupaten di Madura mengantarkan kiai di posisi puncak pemerintahan. Tiga dari empat kepala daerah masing-masing berangkat dari trah kiai atau memiliki hubungan kekerabatan dengan sosok kiai. Namun demikian, realitas kepemimpinan daerah yang mayoritas dipimpin oleh kiai atau trah kiai terbantahkan pada Pemilukada di Kabupaten Pamekasan. Pada pelaksanaan Pemilukada di Kabupaten Pamekasan periode 2013-2018 dimenangkan oleh Achmad Syafi’i. Pemilukada yang dilaksanakan pada 9 Januari 2013 lalu ini menjadi semacam momentum pudarnya kharisma kiai yang selama ini dikenal mempunyai pengaruh kuat dalam masyarakat (khususnya di Madura). Dalam penelitian ini diuraikan prihal makna dan pertarungan elemen kiai yang terwakili oleh KH. Kholilurrahman dan elemen santri yang terwakili oleh Achmad Syafi’i. Keduanya secara berkesinambungan menjadi elit lokal baru di kabupaten Pamekasan. Keduanya bertarung memperebutkan simpati masyarakat Pamekasan untuk menduduki posisi kepala daerah periode 2013-2018. Melalui teori patron klien, tindakan sosial, dan konflik ala Coser penelitian ini diulas secara analisis-deskriptif bagaimana pergeseran tersebut terjadi. Lebih khusus juga diuraikan adanya pribahasa Madura yang menjadi pijakan analisis dan tindakan rasional pemilih. Sedangkan untuk pengambilan data penelitian ini menggunakan kualitatif-fenomenologis.

Kyai for most of the Madurese has very high position to ordinary people. It is seen from the local adage; Bhuppak Bhabbuk, Ghuru, Rato (Father-Mother, Teacher, and Government). The adage is not only manifested in social life, but also in political life. Some of the general election (regional election) in four districts of Madura, for example, set up the position of kyai as important person and very considered. Chief of local government in Madura most of them are kyai. The elected local post-reform kyai (scholars) put in an important position. The four heads of each area in Madura were from dynasty scholars or had an alliance with the figure of scholars. However, the reality that the majority of the local leadership led by kyai or scholars refuted breeds in the General Election in Pamekasan district. The implementation of General Election in the district Pamekasan period 2013-2018 won by Achmad Syafi’i. Election held on January 9, 2013 has become momentum fading charisma kyai who is known to have a strong influence in society (especially in Madura). The study would be described about meaning and kyai battle represented by KH. Kholilurrahman and elements students (santri) that is represented by Achmad Syafi’i. Both continuously into new local elite Pamekasan district. Both are fighting for Pamekasan public sympathy into position of head of the period 2013-2018. This research analyze descriptive-analysis through patron-client theory and conflict Coser style that how the shift occured. It also described the presence of Madura proverb which became the foundation of analysis and rational action selector. While collecting data for this study use a qualitative-phenomenological.

Kata Kunci : Kiai, santri, pemilukada, patron klien, pertarungan, tindakan sosial, Pamekasan


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.