Laporkan Masalah

BLANḌONGAN:PRAKTIK EKSKLUSI DALAM MASYARAKAT JAWA DAN MADURA (Studi Kasus di Desa Menampu, Kecamatan Gumukmas, Kabupaten

Yongky Gigih P., Dr. Wisma Nugraha Ch. R., M.Hum

2014 | Tesis | S2 Kajian Budaya dan Media

Perjalanan historis migrasi orang Madura ke pulau Jawa, khususnya ke pesisir utara Jawa Timur, menghasilkan konsekuesi sosial dan kultural atas terjalinnya hubungan antara orang Jawa dan Madura. Secara kultural, orang Madura mendapatkan penamaan dan karakterisasi negatif dari orang Jawa, sedangkan konsekuensi sosialnya adalah perkawinan campur antar orang Jawa dan Madura. Di desa Menampu sebagai tempat di mana orang Jawa dan Madura hidup saling berdampingan, muncul istilah blanḍongan untuk menamai anak hasil perkawinan campur antara Jawa dan Madura. Blanḍongan memiliki unsur Jawa dan Madura dalam dirinya yang eksis sebagai anasir dominan dan subordinat. Spesifikasi blanḍongan ditentukan secara kultural, jika dia hidup di lingkungan Jawa maka unsur Jawanya lebih dominan, begitu juga ketika dia hidup di lingkungan Madura, anasir Maduranya lebih kuat. Kecakapan berbahasa blanḍongan berada dalam taraf kasar, ngoko dalam Jawa, ja’ iya dalam Madura. Dalam arti sempit, blanḍongan merupakan anak hasil perkawinan campur antara Jawa dan Madura, dan dalam arti luas ia adalah produk genetis penikahan antar etnis baik Jawa, Madura, Cina atau Arab. Bukan hanya secara genetis, blanḍongan juga mengalami percampuran kultural, seperti dalam ranah bahasa, contohnya pengucapan bahasa Jawa dengan logat Madura. Dinamika kultural dalam masyarakat Jawa dan Madura, khususnya di desa Menampu, mengandung praktik saling mengeksklusikan. Orang Jawa memandang Madura sebagai subjek anarkis, karepa ḍhibi’, ceplas-ceplos, blak-blakan, suka pamer, mempunyai preferensi warna yang sifatnya mencolok seperti merah, kuning dan selera masakannya asin, secara kolektif masyarakat Madura cenderung paternalistik. Orang Jawa juga mempunyai istilah nomor 32, yang dalam wacana togel merujuk pada ular, yang dialamatkan untuk preman, yang identik dengan orang Madura. Di pihak lain, Madura memandang Jawa sebagai pemalu, pesolek, subjek pasif, pasrah, lemah, congkak dan tidak jantan, secara kolektif kekerabatan masyarakat Jawa kurang erat. Penamaan blanḍongan untuk orang campur Jawa-Madura merupakan praktik eksklusi pihak Jawa, karena dalam konsepsi Jawa, blanḍongan bermakna negatif yakni pencuri kayu dan penṭolan geng kejahatan yang identik dengan orang Madura, artinya blanḍongan telah di-Madura-kan oleh pihak Jawa. Terkuak kepentingan bahwa pihak Jawa masih belum mengamini perkawinan campur, khususnya antara Jawa dengan Madura. Di pihak lain, orang Madura menggunakan identitas blanḍongan untuk melawan otoritas pemaknaan Jawa, dengan tidak menerima makna blanḍongan sebagai maling kayu dan penṭolan geng kejahatan. Dalam konsepsi Madura, blanḍongan hanya bermakna orang campur Jawa-Madura. Blanḍongan dalam konsepsi Jawa dieksklusikan dan ditempatkan pada posisi subordinat setara dengan orang Madura, sedangkan dalam konsepsi Madura, blanḍongan diinklusikan dengan memberinya kualitas tengah-tengah, tidak sepenuhnya Jawa dan bukan seutuhnya Madura, ia adalah Jawa-Madura

Madurese historical migration to Java island, especially north coast of east Java has social and cultural consequences for Javanese and Madurese people relation. Culturally, Madurese people get naming and negative characterization from Javanese, while the social consequence is a cross-marriage between Madurese and Javanese people. In Menampu village as a place where Madurese and Javanese people live side by side, blanḍongan term appears to name the descendant of cross-marriage between Javanese and Madurese people. Blanḍongan has Javanese and Madurese elements which exist as dominant and subordinate. Blanḍongan specification is determined culturally, if blanḍongan lives in Javanese setting, so the Javanese element is more dominat and vice versa. Blanḍongan language proficiency is in low level, ngoko in Jawa, ja’ iya in Madura. In narrow sense, blanḍongan is a mixed person Java-Madura and in broad sense, blanḍongan is the genetic product of cross-marriage from Javanese, Madurese, Chinese or Arabian. Not only genetically, blanḍongan also gets mixture culturally, such as in language sphere, for example speaking Javanese with Madurese dialect. Cultural dynamic in Javanese and Madurese society, especially in Menampu village, contains practice of exclusion each other. Javanese people look Madurese as subjects who are anarchist, selfish, to the point, like to show off, light colour preferred like red, yellow and tend to like salty taste, collectively, Madurese society tend to be paternalistic. Javanese people also have 32 number term, which in togel discourse refers to a snake, which is addressed to a villain who is identical with Madurese. On the other side, Madurese people look Javanese as prude, dude, subjects who are passive, resigned, weak, cocky and not masculine, collectively, Javanese society kinship is less close than Madurese. Naming blanḍongan for mixed person Java-Madura is a practice of exclusion from Javanese side, because in Javanese concept, blanḍongan has negative senses which are timber thief and criminal gang frontman which are identical with Madurese people, it means blanḍongan is Madurized by Javanese side. It reveals political interest that Javanese people still do not bless or agree with cross-marriage, especially between Javanese and Madurese. On the other side, Madurese people use blanḍongan identity to resist Javanese interpretation authority by not accepting negative sense of blanḍongan as timber thief and criminal gang frontman. In Madurese concept, blanḍongan only means mixed person Java-Madura. Blanḍongan, in Javanese concept, is excluded and placed in subordinate position equal with Madurese people, while in Madurese concept, blanḍongan is included by giving the middle quality, not fully Javanese and not completely Madurese, blanḍongan is Java-Madura.

Kata Kunci : Blanḍongan, Jawa, Madura, togel, eksklusi


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.