Struktur, Makna dan Fungsi Pidato Adat Dalam Tradisi Malewakan Gala di Minangkabau
SILVIA ROSA, Prof. Dr. Marsono, S.U
2014 | Disertasi | S3 SastraPidato adat merupakan salah satu bentuk sastra lisan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Minangkabau. Salah satu bentuk pidato adat dapat dilihat pada Malewakan Gala, yaitu tradisi yang dilakukan ketika seorang laki-laki diberi gelar adat oleh kerabatnya. Ada dua bentuk tradisi Malewakan Gala yaitu Malewakan Gala Marapulai (MGM) dan Malewakan Gala Panghulu (MGP). Keduanya merupakan bentuk pidato adat yang cukup panjang dan kompleks. Kompleksitasnya terlihat pada struktur kalimat, pantun dan kiasan bahasa. Penelitian ini memahami bagaimana struktur, makna, dan fungsi pidato adat dalam tradisi Malewakan Gala dapat merepresentasikan kemunculan aturan pewarisan gelar adat untuk laki-laki dalam masyarakat Minangkabau. Metode penelitian diawali dengan mendokumentasikan teks pidato adat melalui perekaman dan inventarisasi teks pidato adat yang tertulis. Tindakan ini menghasilkan empat teks pidato adat malewakan gala yang terdiri dari tiga teks pidato adat MGP dan satu teks pidato adat MGM. Keempat teks yang telah ditranskripsi dan ditransliterasi ditetapkan sebagai sumber data utama yang kemudian dianalisis dari segi sastra dengan menggunakan teori strukturalisme, semiology Barthes dan fungsionalisme Hasil penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Pertama, berdasarkan struktur fisik, teks pidato adat terdiri atas bagian pembukaan, sirih pinang, pidato malewakan gala, dan penutup. Berdasakan struktur isi, teks pidato terdiri atas dua bagian, yaitu bagian bungo pidato adat dan batang pidato adat. Pada bagian struktur isi ditemukan dua belas macam pola formula utama, yang kemunculannya bervariasi pada tiap teks, dan bahkan masih dapat diperkaya lagi dengan pola formula tambahan. Keterpakaian pola formula isi sangat dipengaruhi oleh style tukang pidato dan prinsip adat “salingka nagari†yang berlaku di Minangkabau. Kedua, berdasarkan makna pada tataran pertama, secara denotatif, pidato adat adalah keharusan kultural untuk mendukung gagasan pewarisan gelar adat bagi laki-laki dalam pandangan budaya masyarakat Minangkabau. Pada tataran kedua, secara konotatif, makna ini mengusung gagasan penting bahwa laki-laki berhak mendapatkan hak waris pusaka tinggi, terutama dalam pewarisan gelar sako adat. Makna pada tataran kedua ini menunjukkan bahwa telah terjadi subversi budaya patriariki ke dalam budaya matrilineal. Ketiga, berdasarkan fungsi, pidato adat bertugas sebagai pelegitimasi pranata budaya; pemaksa dan pengawas pemberlakuan norma masyarakat; dan media pewarisan budaya Minangkabau. Eksekusi ketiga fungsi itu dilaksanakan oleh juru pidato adat. Ia adalah si ’pembiak tradisi’ yang menyampaikan gagasan pewarisan gelar adat dari satu generasi ke generasi berikutnya, secara terus menerus melalui jalur seni bertutur lisan yang menjadi bagian dari seni sastra Minangkabau. Akhirnya, kehadiran seni sastra lisan dalam pelaksanaan tradisi Malewakan Gala telah berhasil membungkamkan pemikiran kritis masyarakat untuk menyangsikan keabsahan pewarisan gelar adat sebagai bagian integral dari budaya Minangkabau yang bersifat matrilineal itu.
The ceremonial oration or speech (Pidato Adat) is one form of oral literature that proliferated in Minangkabau Society. One form of speech can be found in the traditions of melewakan gala, which is performed when a man is entitled with a cultural title (Gelar Adat) by his relatives. There are two forms of malewakan gala tradition, namely malewakan gala marapulai (MGM) and malewakan gala panghulu (MGP). Both traditions of malewakan gala comprise of a relatively long and complicated oration. The complexity can be found in the structure of the sentences, rhymes, and the sayings. This research attempts to understand the meaning and function of Ceremonial oration or speech in the tradition of Malewakan Gala may represent the emergence of a rule of customary title to the inheritance of men in Minangkabau society. The research was initially carried out by documenting the texts of ceremonial oration or speech by recording them and keeping the written ceremonial oration or speech. This action resulted in four ceremonial speech texts of malewakan gala consisting of three (3) MGP speeches and 1 (one) text of MGM speech. All of them have been transcribed and translated, and designated as the primary data source, subsequently analyzed in the context of literature by using the theory of Structuralism, Barthes’ Semiology and Functionalism. The results of this study can be formulated as follows: Firstly, based on their physical structures, the texts consist of the opening section, sirih pinang, the Malewakan Gala speech, and the closing. Based on the structure of the content, the texts of the speeches consist of two parts, bungo pidato adat and batang pidato adat. The content covers twelve kinds of main formulas, which varied in different texts, and can be further enriched by additional patterns of formula. The use of the patterns of formulas is strongly influenced by the style of the speakers and their traditional principles of salingka nagari prevailing in Minangkabau. Secondly, based on the meanings on the first level, literally, the Minangkabau regard the speeches as a cultural obligation to support the idea of inheriting the honorific traditional titles for the men. While at the second level, metaphorically, the speeches mark the idea that men are entitled to inherit the honorable heritage, especially the traditional honorific title of sako. The later level shows that there has been a cultural subversion from patriarchy to matrilineal system. Thirdly, based on the functions, the traditional speech serves to legitimize indigenous institutions; to enforcem and supervise the implementation of the norms in the society, and to be the tools to preserve Minangkabau’s cultural inheritances. The third execution of the functions carried out by customary speech interpreter. He is â€the breeder†of tradition that conveys the idea of inheritance of customary title from one generation to the next, continuously speak through verbal art that part of the Minangkabau literary arts. Finally, the presence of oral literary arts in the implementation of the Malewakan Gala tradition has managed to silence critical thinking people to question the validity of inheritance of customary title as an integral part of the culture is matrilineal Minangkabau it.
Kata Kunci : Minangkabau, pidato adat, struktur, makna, dan fungsi