KATONG SAMUA BASUDARA†KAJIAN TENTANG KEARIFAN DAN KEPEMIMPINAN LOKAL DESA WAYAME, AMBON PADA PERIODE KONFLIK DAN PASCA KONFLIK
Tony Setia Boedi Hoesodo, Prof. Dr. Djoko Soerjo, MA
2014 | Disertasi | S3 Agama dan Lintas BudayaKonflik di Pulau Ambon yang diawali pada tgl 19 Januari 1999 berkembang secara cepat menjadi kerusuhan sosial yang tidak terkendali sehingga berkembang menjadi konflik agama. Masyarakat yang mempunyai kearifan local Katong Samua Basudara dan mempunyai ikatan pela (Pela Gandong, Pela Sirih, Pela Keras) antar negeri (Desa/Kelurahan) tidak mampu lagi mempertahankan kerukunan hidup yang selama ini dijalin. Dalam situasi konflik yang menewaskan ribuan jiwa dan kerugian harta benda yang banyak masih ada satu Desa Wayame yang masyarakatnya heterogin dan merupakan desa pemekaran baru yang tidak punya pela dengan negeri yang lain tetapi mampu memelihara keharmonisan hidup antara kaum Muslim dan Nasrani. Mengapa dan bagaimana hal tersebut dapat terjadi ? Beberapa pertanyaan yang harus dijawab melalui disertasi ini adalah : Bagaimana pandangan masyarakat Desa Wayame terhadap kearifan local Katong Samua Basudara ? Bagaimana kompetensi kearifan local Katong Samua Basudara di Desa Wayame ? Bagaimana pemimpin yang berada di Desa Wayame (Tim 20) merekonstruksi Kearifan Lokal Katong Samua Basudara dalam membangun kerukunan dalam hidup yang harmonis ? Disertasi ini membuktikan bahwa kearifan local Katong Samua Basudara ternyata merupakan nilai yang diyakini oleh masyarakat Desa Wayame sebagai nilai yang dapat mewujudkan dan membangun toleransi. Kebersamaan dan saling menjaga merupakan kebutuhan untuk mempertahankan hidup rukun dan damai. Kompetensi Katong Samua Basudara merupakan perekat sosial (Social Glue). Tim 20 memanfaatkan social glue /perekat sosial dengan cara melakukan integrasi nilai dan integrasi teritori sehingga mampu menyadarkan masyarakat Desa Wayame bahwa konflik sangat merugikan dan tidak boleh terjadi di Desa Wayame. Perbedaan yang ada merupakan sesuatu yang alamiah dan harus terjadi serta semua masyarakat telah memilih berdomisili di Desa Wayame sebagai ruang untuk hidup. Pen g emb an g an Katong Samua Basudara N u san tara y an g d id a sari o leh n ilai seman g at k eb e rsama an d en g an men itik b eratk an p ad a m asy arak at y an g tin g g al d alam terito ri N u san tara. Katong Samua Basudara N u san tara d an mamp u d im an faatk an u n tu k men y elesaik an k o n flik d i w ilay ah n u san tara d en g an p en d ek atan k esam aan p e rsep s i d ari masy ara k at k o lek tifitas y an g me - ru p ak an b u d ay a M asy arak at T imu r.
Conflict in Ambon island began at 19th January 1999 expanding rapidly into uncontrolled social unrest so that It developed into religious conflict. The community possessing local wisdom Katong Samua Basudara and that of intern-country binding called Pela (Pela Gandong, Pela Sirih, Pela Keras). (Village/kelurahan) was no longer able to maintain the harmony of life which had been maintained so far. In situation full of conflicts victimizing thousands of people and losing a lot af properties there was still one village i.e Wayame village. A heterogeneous village and a new enlarging village possessing no pela with other country but was able to maintain the harmony among the life of their Muslim and Christian communities. Several questions that should be responded through this dissertation is : How is the view of Wayame village community on the local wisdom of Katong Samua Basudara ? How is the competency of Katong Samua Basudara local wisdom in Wayame village? How do the leaders in Wayame village (Tim 20) reconstruct the local wisdom of Katong Samua Basudara in building the harmonious life of their communities ? This dissertation aim to prove that the local wisdom of Katong Samua Basudara is values believed by the community of Wayame village as values which are able to materialize and build tolerance between them. Togetherness and keeping each other is a requirement needed to maintain the peaceful harmony of their life. The competency of Katong Samua Basudara is a social adhesive. Tim 20 utilized the social adhesive by means of integrating values and territories so that it is able to trigger the awareness of the villagers that conflict is extremely harmful and therefore it should not occur in their village. The differences existing are something natural and unavoidable but all community members had chosen Wayame village as a place or space to their togetherness of life. The development of nusantara level of Katong Samua Basudara based on the values and spirit of togetherness ang focused on communities living in the territory of nusantara. The Nusantara level of Katong Samua Basudara can be applied and utilized to solve the conflict in all region of Nusantara with common perception approach on the part of community as a whole collectivity assumed as the culture of the East.
Kata Kunci : Katong Samua Basudara, Kearifan Lokal dan Katong Samua Basudara Nusantara