POTEHI : TEATER BONEKA TIONGHOA PERANAKAN DI JAWA Kajian Bentuk, Struktur, dan Fungsi Pertunjukan
HIRWAN KUARDHANI, Prof. Dr. C. Soebakdi Soemanto, SU
2014 | Disertasi | S3 Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni RupaPotehi merupakan pertunjukan sarung tangan yang dibawa para emigran Cina dari Fujian sekitar abad ke-16. Potehi biasanya dipertunjukkan di jung-jung atau kapal-kapal mereka ketika sedang berlayar. Mereka menggunakan bahasa Hokkian dalam pertunjukannya. Ketika orang-orang Tionghoa menetap di Indonesia, mereka membawa serta kesenian Potehi di Jawa. Pada perkembangannya, pementasan Potehi tidak lagi menggunakan bahasa Hokkian melainkan menggunakan bahasa Melayu Pasar atau Melayu Rendah (sekarang bahasa Indonesia). Bahasa yang sekaligus menjadi bahasa pengantar kaum Tionghoa saat itu. walaupun untuk lagu dan syair masih memakai bahasa Hokkian. Proses akulturasi dengan penduduk setempat membuat pertunjukan Potehi menjadi unik dan berbeda dengan negeri asalnya. Penelitian ini membahas bentuk, struktur, dan fungsi pertunjukan teater boneka Potehi Penelitian ini bersifat multi disiplin dengan menggunakan teori dramaturgi, transformasi, semiotika dan tradisi lisan. Studi, penelitian, data-data tertulis mengenai teater boneka Potehi sangat jarang ditemukan. Oleh karena itu, untuk memperoleh data digunakan life history yang diperoleh melalui sumber primer seperti Thio Tiong Gie, Gunawan, Giok Sam, Sesomo yang merupakan sehu tua. Teknik observasi melalui partisipasi terlibat dan wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Potehi di Cina memiliki acuan opera Cina, sementara Potehi yang berkembang di Jawa telah terputus acuan dari Opera Cina dan justru memperoleh referensi dari wayang kulit Jawa. Bentuk dan struktur pertunjukan masih mengacu pada Potehi Cina. Lakon-lakon yang dipentaskan masih legenda dan mitologi Cina. Panggung Potehi dibuat secara knock down dimaksudkan untuk memudahkan pengepakan ketika usai pertunjukan. Panggung Potehi penuh dengan ukiran dan relief aneka simbol. Menganalisis simbol-simbol pada panggung Potehi sangat menarik karena dapat dipahami bagaimana harapan-harapan sang sehu tanah perantauan. Ketika era pemerintahan Soeharto di masa Orde Baru, aktivitas kebudayaan Tionghoa Peranakan mengalami pemasungan selama 32 tahun. Pelarangan berbagai kegiatan seni termasuk pertunjukan Potehi. Teater boneka Potehi dilarang pentas ditengah masyarakat umum. Potehi hanya boleh dipertunjukkan di dalam kelentheng Tridarma dan dilarang menggunakan pengeras suara. Pada era reformasi, Presiden Abdulrahman Wahid memberikan keleluasaan bagi etnis Tionghoa Peranakan. Pemerintah mengijinkan kembali upacara-upacara ritual adat dan keagamaan Tionghoa secara terbuka. Tahun baru Cina dijadikan libur nasional, kesenian Cina kembali dipertunjukkan. Teater boneka Potehi kembali dipentaskan tanpa halangan.
Potehi is a hand-glove puppetry theatre. When the Chinese came to Indonesia in the sixteenth century. It was performed in their ships (jungjung) when they were docked. The Hokkian dialect was used at that time. As many Chinese migrated and lived in Indonesia, they brought along the Potehi. At development if Potehi performance in Java to use Melayu Pasar or Melayu Rendah (now Indonesian Language) which was indeed the lingua franca at that time, although song and poetry were still in Hokkian. It is very interesting. The process of acculturation with the local society resulted in a very unique Potehi which is different from its original version. This research is multi-disciplinary using theory of dramaturgy, transformation, semiotic, and oral tradition. The study, research, written about the puppet theatre of Potehi is still rarely found as well. Therefore. To collect the primary data, the researcher applies a life history approach, which is obtained through primary sources i.e: Thio Tiong Gie, Gunawan, Giok Sam, Sesomo the type old sehu. The observation technique is through involving participation in deep interviews. The result of the research shows that glove puppet theatre of Potehi in China also refers to the Chinese opera. In Java, puppet theatre of Potehi has been disconnected from its original Chinese opera and now has unique style due to its adoption of Javanese shadow puppetry, but form, structure,andstage is still Chinese opera. Stage of Potehi was make as knock down in order to easy pack. Stage of Potehi full carving an relief about symbol. Analyzing symbols stage of Potehi is interesting because we know hopes of sehu Potehi in foreign country. When Soeharto regime in New Era (Orde Baru) the Tionghoa Peranakan cultural activities were suppressed for 32 years. Potehi could only be staged inside the Chinese Tridarma temple at isolated yard, without any loudspeaker. Not to mention the difficulty to obtain permission from the government. The various restrictions had paralyzed the appreciation of Chinese culture. When President Abdurrahman Wahid governed the country (known as the Reformation Era), he lifted the entire ban and gave more freedom to Chinese ethnic. Chinese can celebrate their customary and religious ritual openly. Chinese New Year is set as one of the national holiday. The art of Tionghoa-Peranakan shows began to revive. The Potehi puppetry theatre shows can be performed without barrier.
Kata Kunci : bentuk, struktur, panggung Potehi, legenda dan mitologi Cina.