SENTILAN SENTILUN: RESEPSI KHALAYAK DAN IDENTITAS KEINDONESIAAN (Sebuah kajian khalayak atas program televisi Sentilan Sentilun di Metro TV)

R. Prastowo Ragawi, Dr. Ratna Noviani, SIP., M.Si.

2014 | Tesis | S2 Kajian Budaya dan Media

Dahulu segala bentuk kritik kepada negara-pemerintah sangat dilarang. Orde Baru adalah contoh konkret bagaimana kritik dilarang dan demokrasi belum menemui wujud yang sebenarnya. Setelah Orde Baru tumbang Indonesia memasuki periode Reformasi di mana segalanya berubah. Negara Indonesia menuju kebebasan berdemokrasi. Perkembangan industri media dan budaya turut mendukung proses demokrasi semasa periode Reformasi. Akhirnya siapapun dapat melakukan kritik. Sentilan Sentilun (SS) merupakan program hiburan di Metro TV yang paling rajin melancarkan kritik terhadap negara-pemerintah Indonesia pada periode kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sebagai program televisi yang memadukan unsur teater dan parodi, SS tidak hanya mengajak khalayak tertawa tetapi juga mengkonstruksi wajah Indonesia. Wacana tentang negara dan korupsi dominan di dalamnya. Wajah Indonesia dalam SS semakin menarik dilihat melalui sudut pandang khalayak yang membawa identitas keindonesiaan. Oleh sebab itu, tujuan penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana enkoding/dekoding yang terjadi antara media dan khalayak melalui program SS di Metro TV. Sementara itu, penelitian ini sedari awal berorientasi kepada sebuah kajian khalayak dengan metode penelitian kualitatif. Untuk pengumpulan data, penulis melibatkan enam orang khalayak mahasiswa dalam sebuah FGD. Data-data kemudian dianalisa memakai pendekatan enkoding/dekoding Stuart Hall, kemudian dianalisa lebih mendalam dengan pendekatan kajian budaya. Simpulan berdasarkan analisis resepsi adalah bahwa khalayak dalam penelitian ini dikategorikan dalam posisi bernegosiasi terhadap kode-pesan dalam SS. Pada akhirnya, SS hanyalah sebuah program hiburan televisi yang tidak hanya membuat khalayak terhibur akan tetapi juga berpeluang menyampaikan kritik terhadap negara-pemerintah. Namun demikian hal tersebut justru yang membuat SS dan media itu sendiri dianggap bermasalah karena sangat syarat kepentingan dan lain-lain. Hal ini juga yang membuat khalayak tidak percaya terhadap media dan juga negara-pemerintah.

In the past, criticism to the state in any kind of forms was highly prohibited. Criticsm occurred in the New Order Era was a concrete example of how criticism was forbidden and democracy had not met its actual form. After the collapse of the New Order, Indonesia entered the Reform period which has changed everything. Indonesia then goes to the freedom of democracy. The development of the media and cultural industries have also supported democracy. Sentilan Sentilun (SS) as the main entertainment program on Metro TV which always gives most ardent critiques to the state during the leadership of President Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). As a television program that combines elements of theater and parody, SS does not only invite the audience to laugh, but also constructs the face of Indonesia. Discourse about the state and corruption has been so dominant in itself. Indonesia faces are more interesting to be seen through from the point of view of audiences who brought the concept about identity of Indonesia. Therefore, the purpose of this study is to see how the encoding/decoding occured between the media and the audiences through the SS program on Metro TV. Thus, this study is an audience research study with qualitative research methods. For data collection, I involved six audiences into a FGD. The data have been analyzed with approaches of Stuart Hall‟s encoding/decoding and other approaches of the cultural studies. The conclusion based on the analysis of audience reception is that most audiences in this research can be categorized in a negotiated position. At the end, the SS is just a television entertainment program that does not only make the audience entertained, but also has the opportunity to send critiques to the state. However, it makes the SS and the media itself full of problems. It also makes the audiences do not believe the media and the state.

Kata Kunci : demokrasi, kajian khalayak, enkoding/dekoding, wajah Indonesia, identitas keindonesiaan.