DAENG SOETIGNA DAN PERKEMBANGAN ANGKLUNG
Wahyudi, Prof. Drs. Triyono Bramantyo
2014 | Tesis | S2 Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni RupaFokus dalam penelitian ini adalah untuk melihat Daeng Soetigna dan perkembangan angklung, yang diungkap melalui metode penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan multi-disiplin yaitu pendekatan musikologi. Perubahan angklung pentatonis menjadi diatonis yang dilakukan oleh Daeng Soetigna pada tahun 1938. Angklung pada perkembangannya memberi pengaruh terhadap perkembangan pariwisata dan pertunjukan baik di dalam negeri maupun luar negeri serta pendidikan. Angklung sebelum diubah menjadi diatonis, berfungsi sebagai sarana ritual terutama berkaitan dengan padi, ritual keagamaan, dan korp musik Tentara kerajaan Pajajaran hingga awal abad 20. Pada permulaan abad ke 20 pengaruh budaya Barat telah banyak memasuki kehidupan beberapa golongan masyarakat. Masuknya pengaruh itu terutama melalui pemuda, pelajar, dan sekolah-sekolah yang didirikan pada masa penjajahan. Salah satu aspek pengaruh itu ialah mengenal alat-alat musik yang mempunyai nada internasional. Faktor yang mempengaruhi perubahan angklung pentatonis ke diatonis adalah pada permulaan abad ke 20 pengaruh budaya Barat telah banyak memasuki pemuda dan pelajar, yaitu salah satunya mengenal alat-alat musik diatonis. Kemudian timbul gerakan untuk menciptakan kebudayaan nasional, yaitu para pemuda yang ingin menghadirkan musik nasional Indonesia. Ketika Daeng Soetigna Sekolah di Hollandsch Inlandsche School tahun 1922 sampai 1928 yaitu mendapat ilmu bahasa Belanda, berhitung, ilmu bumi, sejarah, dan seni suara dari penjajah Belanda. Selanjutnya Daeng menjadi guru seni suara yang bisa memainkan gitar, piano, dan biola. Kemudian timbul gagasan merubah angklung dari pentatonis ke diatonis pada tahun 1938. Kata kunci: Angklung, Daeng Soetigna
This research focused on profiling Daeng Soetigna and the improvement of angklung. Technical playing methods. The research method itself is qualitative one with a multi-disciplined approach namely musicology. The shift from pentatonic to diatonic musical scale of anklung playing had been initiated by Daeng Soetigna in 1938. In its own part, besides of its rules in musical performances home and abroad, angklung develops into a kind of cultural tourism, even it takes part in the curriculum of our national education. Previously, before its turning into diatonic scale Angklung functioned at rituals in West Java society, specifically when harvesting paddy, on religious occasions, and even it played an important role as one of the instruments in musical corps of Pajajaran Kingdom which exist to early twentieth century. In early twetieth century, western influences began to penetrate Indonesian society thanks to the schools organized by the colonial government. One of the influence was on musical instruments which bore international musical scale. The shift from pentatonic to diatonic scale of angklung playing in early twentieth century was provoked by influences of western culture, or more specifically by the youth and students who got the influences of western music from the colonial schools. In later phase, there was some consciousness of creating national culture, and national music was one of its concern. From 1922 to 1928, Daeng Soetigna studied at Hollandsch Inlandsche School where he got Dutch, arithmetic, geography, history, and music. Next years he became a vocal teacher who was good at playing guitar, piano, and violin. The idea to change from pentatonic to diatonic musical scale of angklung playing came in 1938. Keywords: Angklung, Daeng Soetigna
Kata Kunci : Angklung, Daeng Soetigna