PENYELESAIAN SENGKETA BATAS WILAYAH (Studi tentang Upaya Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Menyelesaikan Sengketa Batas Wilayah Gugusan Pulau Tujuh dengan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau)

EM OSYKAR, Prof. Dr. Mohtar Mas'oed, MA

2014 | Tesis | S2 Ketahanan Nasional

Masalah sengketa batas wilayah muncul ketika UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah diberlakukan terutama terkait dengan soal penentuan batas wilayah. Salah kasusnya adalah perebutan kawasan Pulau Tujuh dari perbatasan antara Pemprov Babel dan Kepri. Penelitian ini bertujuan: (a) mendeskripsikan akar, dinamika dan dampak berlarut-larutnya sengketa batas wilayah di kawasan Pulau Tujuh antara Pemprov Babel dan Kepri; (b) menganalisis upaya Pemprov Babel dalam menyelesaikan sengketa batas wilayah di kawasan Pulau Tujuh; dan (c) mengidentifikasi faktor berlarut-larutnya seng-keta batas wilayah di kawasan Pulau Tujuh antara Pemprov Babel dan Kepri. Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif. Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer yang dikumpulkan melalui observasi dan wawancara mendalam, dan data sekunder yang diperoleh dengan teknik dokumentasi. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sengketa batas wilayah kawasan Pulau Tujuh memiliki akar di awal pemekaran Kabupaten Lingga, Provinsi Kepri, pada 2003. Kebijakan pemekaran dari Kemendagri untuk Kabupaten Lingga yang memasukkan kawasan Pulau Tujuh sebagai bagian dari wilayah administratifnya melanggar UU No. 27/2000 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Pemprov Babel melakukan upaya menyelesaikan sengketa batas wilayah di kawasan Pulau Tujuh, tapi lambat, formalistik, dan mengedepankan pendekatan musyawarah. Upaya paling menyolok adalah penganggaran dana APBD Rp900 juta pada 2009, Rp1 milyar pada 2011, dan Rp3 milyar pada 2013, dengan dalih menyelesaikan sengketa batas wilayah kawasan Pulau Tujuh. Namun, upaya ini tidak membuahkan hasil dan muncul kesan sengketa batas wilayah tersebut hanya menjadi alasan menurunkan anggaran APBD demi kepentingan oknum birokrasi. Hal ini mendasari sengketa batas wilayah Pulau Tujuh berlarut-larut sampai lebih dari satu dekade. Selain tidak ada prakarsa penyelesaian sengketa batas wilayah yang jelas dari Pemprov Babel dan Kepri, tidak ada sikap proaktif dan lemahnya peran fasilitasi serta kapasitas negara yang direpresentasi pemerintah pusat, dalam hal ini Kemendagri, dalam memediasi resolusi konflik. Pemerintah pusat tidak mampu menangani konflik unit-unit pemerintahan provinsi di bawahnya seiring kuatnya tuntutan otonomi daerah. Kondisi ini diperburuk pemerintah daerah yang tidak mampu memperkuat kapasitas negara level daerah dalam mengelola politik, sumberdaya dan pelayanan publik tingkat daerah. Sengketa batas wilayah di Pulau Tujuh berlarut-larut karena ada beberapa faktor: (a) Kurangnya koordinasi, yaitu pemerintah pusat (Kemendagri), tidak tegas memberi solusi penyelesaian konflik dengan koordinasi antara Pemprov Babel dan Kepri; (b) Pembiaran konflik tanpa kelola, yaitu pemerintah pusat dan daerah kurang intensif mengelola konflik sengketa batas wilayah Pulau Tujuh; (c) Strategisnya sumberdaya alam di Pulau Tujuh, yaitu Pemprov Kepri dan Babel sama-sama memahami bahwa sumberdaya alam di kawasan Pulau Tujuh sangat strategis

Border dispute issues started to emerge when Law No. 22/1999 on Local Government was applied, particularly related to the determination of boundaries. One case occurred in Indonesia is a struggle for the Seven Islands on the border between the provincial government of Bangka Belitung Islands (Babel) and Riau Islands. The purposes of this study are: (a) to decsribe the roots, dynamics, and impacts of protracted border disputes in the Seven Islands between the Provincial Governments of Babel and Riau Islands; (b) to analyze the efforts of Provincial Government of Babel in the resolution of border disputes in the Seven Islands ; and (c) to identify factors underlying the protracted border disputes in the Seven Islands between the Provincial Government s of Babel and Riau Islands. The study was conducted by using a descriptive qualitative method. The data required in the study were primary data collected through observation and in -depth interview, and secondary data obtained by a documentation technique . The data collected were analyzed by a descriptive qualitative technique . Result of the study show that the border dispute in Seven Island area have its roots in the early regional splitting of Lingga regency, Riau Islands Province, in 2003. The policy of regional splitting by the Ministry of Internal Affairs to enter the Seven Islands as part of the administrative area of Lingga Regency has violated the Law No. 27/2000 on the Establishment of Bangka Belitung Islands Province. The effort for dispute resolution by the Provincial Government of Babel tended to be slow, formalistic, and emphasize on a deliberation for consensus approach. The most notable effort was to budget funds from the Local Budget of IDR 900 million in 2009, IDR 1 billion in 2011, and IDR 3 billion in 2013, on the pretext of resolving the border disputes in the Seven Islands. However, these efforts did not work and there is an impression that the dispute becomes an excuse for allocating the fund from the Local Budget for the sake of bureaucratic oknum. This underlie the border disputes in the Seven Island were protracted for more than a decade. In addition to the lack of clear initiatives for the resolution of the border dispute issues from the Provincial Governments of Babel and Riau Islands, the protracted border dispute in the Seven Islands was caused by the lack of proactive attitude and the weak role and capacity of the State, represented by the Central Goverment, in this case the Ministry of Home Affairs, in mediating the dispute resolus tion. The central government was not able to handle the conflicts involving the provincial government units under it with the growing demands of local autonomy . It was exacerbated by the weak capacity of local government in strengthening the capacity of the State in managing the politics, resources, and public services at local level. The dispute in the Seven Islands was protracted because of several factors: (a) lack of coordination, i.e. the central government (the Ministry of Home Affair), did not expressly provide the conflict resolution by coordination between the Provincial Governments of Babel and Riau Islands; (b) the negligence of conflict without management, i.e. central and local governments are less intensively managing the border dispute in the Seven Islands; (C) strategic natural resources in the Seven Islands, i.e. the Provincial Governments of Babel and Riau Islands equally understood that natural resources in the Seven Island are very strategic.

Kata Kunci : sengketa, batas wilayah, pemerintah provinsi, penyelesaian konflik