MAKNA DEMOKRASI DALAM KUMPULAN SAJAK TIRANI, BENTENG, DAN MALU (AKU) JADI ORANG INDONESIA KARYA TAUFIQ ISMAIL: ANALISIS DEKONSTRUKSI DERRIDA

HASANUL RIZQA, Prof. Dr. Faruk, S.U.

2014 | Skripsi | SASTRA INDONESIA

Dewasa ini, ada kecenderungan untuk menghubungkan penciptaan karya sastra dengan situasi politik yang melingkupinya. Sehubungan dengan itu, pengelompokan angkatan-angkatan juga dikenal di dalam sejarah sastra Indonesia. Dibandingkan dengan angkatan-angkatan yang muncul sebelum atau setelahnya, posisi Angkatan 66 terbukti unik. Kemudian, posisi politis Angkatan 66 dapat digambarkan secara lebih jelas oleh teks puisi, bukan oleh teks sastra lainnya. Di antara puisi karya penyair-penyair Angkatan 66, puisi karya Taufiq Ismail adalah yang paling representatif. Oleh karena itu, penciptaan teks puisi karya Taufiq Ismail dapat dihubungkan dengan situasi kekacauan politik (chaos) pada 1966. Adapun chaos tersebut disebabkan oleh tindakan Orde Lama dalam menyelewengkan demokrasi, sehingga rezim ini runtuh dan digantikan oleh Orde Baru. Namun, berpuluh tahun kemudian, yaitu pada 1998, Taufiq Ismail juga merasakan chaos akibat tindakan rezim Orde Baru dalam menyelewengkan demokrasi. Maka, penciptaan karya-karya Taufiq Ismail dapat dihubungkan dengan keruntuhan dua rezim tersebut dan berdirinya rezim Orde Baru. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan makna demokrasi di dalam teks kumpulan sajak Tirani, Benteng, dan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Dua teks yang disebutkan terawal bertahun cipta 1966, sedangkan teks yang disebutkan terakhir bertahun cipta 1998. Metode yang digunakan di dalam penelitian ini adalah dekonstruksi Derrida, yang mengemukakan bahwa setiap teks logosentris selalu mengandung struktur oposisional. Penelitian ini juga menggunakan gagasan-gagasan Derrida tentang demokrasi sebagai landasan teori, yang mengemukakan bahwa demokrasi di dalam dirinya mengandung kontradiksi-internal. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa makna demokrasi di dalam ketiga teks ini terbentuk sebagai sebuah keutuhan (closure). Closure demokrasi itu juga terbentuk melalui pengukuhan struktur hierarki vertikal dan struktur formasi horizontal. Akan tetapi, dekonstruksi berhasil menunjukkan bahwa logos-logos yang di atasnya semua struktur itu berdiri ternyata tidak stabil, sehingga closure demokrasi dari penyair pun mengalami retak. Keretakan ini terjadi pula karena adanya tindakan eksklusi di dalam relasi horizontal demokrasi dan pengukuhan hierarki di dalam relasi vertikal demokrasi. Akhirnya, ketiga teks sajak ini menyuarakan ajakan untuk menghindari pemaknaan demokrasi secara closure, agar batas-batas antara yang-eksklusif dan yang-inklusif serta antara yang-superior dan yang-inferior dapat cair. Maka, pemulihan chaos pun dapat terjadi. Selain itu, hasil dekonstruksi atas ketiga teks sajak ini juga menyuarakan fokus pada keadilan dan pengampunan nonkalkulatif bagi semua orang di dalam demokrasi. Kata kunci : hubungan sastra-politik, Angkatan 66, puisi, demokrasi, dekonstruksi

Presently, there is a tendency for linking some literary works to a political situation. In the meantime, classification of generations in the history of Indonesian literature itself is wellacknowledged. Compared to any other generations emerged before or afterwards, Generation of ’66 holds a unique position. Then, the political position of Generation of ’66 can be described clearly by considering its poems, not its other literary texts. Among other poems created by poets of Generation of ’66, poems written by Taufiq Ismail are the most representative ones. Therefore, the creation of poems by Taufiq Ismail can be related to the political chaos happened in 1966. That political chaos was caused by The Old Order acts in abuse of democracy, which led to its own collapse and the emerging of The New Order. However, years afterwards in 1998 Taufiq Ismail also found another chaos due to The New Order’s corruption on democracy. Obviously, the creation of Taufiq Ismail’s poems can be related to the collapses of those regimes and the emerging regime of The New Order as well. This study is aimed for finding the meaning of democracy in the anthologies of poems Tirani, Benteng, and Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. The first two were created in 1966, whereas the last one was created in 1998. This study uses Derrida’s deconstruction as the method. Derrida’s deconstruction, however, claims that every logocentric text always contains oppositional structures. This study also uses Derrida’s ideas on democracy as the theoretical basis. Those ideas affirm that democracy has internal contradictions within itself. This study got results that the meaning of democracy in Tirani, Benteng, and Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia was constructed as a closure. In the same way, that closure of democracy was built through the stabilization of vertical hierarchies, and of horizontal formations as well. Yet, deconstruction method showed that the logos’ on which all those hierarchies and formations existed were unstable, therefore the closure of democracy was finally broken. The deformity on the closure of democracy was also caused by the exclusion in the horizontal, democratic relationship, and by the stabilization of hierarchies in the vertical, democratic relationship. In conclusion, those anthologies of poems express a call to avoid any closure about the meaning of democracy. This call aims that all borderlines between the exclusive ones and the inclusive ones, or between the superior and the inferior, could always be diluted. Therefore, an effort could be soon made in order to end any destructive, political chaos. This study also found that those anthologies of poems called—and have been calling—anyone to pay attention to the incalculable justice and mercy for all people in democracy. Key Words: the literature-politics relationship, Generation of ’66, poems, democracy, deconstruction

Kata Kunci : hubungan sastra-politik, Angkatan 66, puisi, demokrasi, dekonstruksi