Laporkan Masalah

Ritual di dalam ritual :: Suatu kajian tafsir teks tari sebagai teks kebudayaan pada tokoh Dewa Siwa dalam seni pertunjukan wayang wong di Kraton Yogyakarta

PRAMUTOMO, R.M, Dr. A.M. Hermien Kusmayati

2001 | Tesis | S2 Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa

Ada banyak alasan bagi kedudukan Wayang Wong sebagai state ritual di Kraton Yogyakarta. Dua buah tulisan tentang Wayang Wong mungkin menjadi buku monumental bagi kajian terhadap kedudukannya yang demikian. Buku pertama berjudul Wayang Wong : The State Ritual Dance Drama in the Court of Yogyakarta Kraton, ditulis oleh Soedarsono, sedang buku kedua berjudul Clasic, Kitsch, Contemporary : A Study of Javanese Performing Arts ditulis oleh Jennifer Lindsay. Dari dua tulisan di atas, tampak ada suatu ha1 yang terabaikan dalam kajian khusus tentang kedudukan istimewa peran tokoh Dewa Siwa melalui proses ritual yang diperlakukan kepadanya. Suatu bukti sejarah lengkap, dari kesimpulan yang menuju sebuah peristiwa state ritual, pada akhirnya diasumsikan dari unsur-unsur Wisnuisme, ketika peristiwa Wayang Wong berlangsung. Sementara itu tampak sekali ada persoalan yang belum terselesaikan dalam penggunaan Wayang Wong sebagai jembatan yang menghubungkan antara rakyat dengan Sultan sendiri. Ini suatu tanda dari adanya konsep manunggaling hula-gasti, yang dibaca oleh orang Jawa sebagai teks kebudayaan mereka. Kehadiran Wayang Wong sebagai teks kebudayaan tidak cukup diwakili hanya dari kesimpulan-kesimpulan state ritual yang menekankan pada unsur-unsur Wisnuisme, serta kehadiran rakyat dalam peristiwa pertunjukan Wayang Wong. Untuk alasan tesis ini, ternyata ada tema yang bertumpu pada konsep negara agraris, dalam hubungan Wayang Wong dan sultan. Apalagi jika melihat posisi abhiseka Dewa Siwa dalam Wayang Wong, ha1 ini merupakan evolusi sistem simbol yang panjang, sebagaimana yang terpahat di candi-candi Hindu, hingga dalam seni tatah mnggzng wayang kulit di zaman Islam sampai dengan zaman ditarikan dalam sebuah adegan Jejer Kahyangan lakon Wayang Wong. Dalam pandangan ini, gerakan nilai budaya horizontal yang dicontohkan Clifford Geertz, tidak seimbang dengan gerakan nilai budaya vertikal pada nilai state ritual. Oleh sebab itu, tulisan ini telah berupaya menarik garis keseimbangan lewat sisi-sisi keistimewaan peran tokoh Dewa Siwa dalam Wayang Wong. Ritualitas peran tokoh Dewa Siwa adalah satu-satunya yang terjaga hingga kini, dan proses ritual itu menjadi simbol di dalam simbol pada kerangka state ritual. Kenyataan pula, bahwa ritualitas peran tokoh Dewa Siwa menyangkut hal-ha1 pada; unsur upacara sesaj i, perlakuan non teknis penari, proses penataan rias, busana, atribut, aksesoris, pola ragam gerak, unsur dramatik iringan, syair pada b i n sekar, pandangan tradisi lisan, pandangan Ketuhanan murni, posisi abhiseka, dan harapan-harapan tema kesuburan dan kemakmuran negara agraris. Pada akhirnya disimpulkan, bahwa dengan memahami posisi istimewa Dewa Siwa, maka nilai state ritual secara horizontal menjadi seimbang dengan yang vertikal. Hal ini, di samping mempertajam konsep negara agraris Kraton Yogyakarta, juga sebagai upaya menghormati Dewa Siwa sebagai lambang phallus atau lingga.

There are some reasons to stages the state ritual of Wayang Wong dance drama in the Yogyakarta Kraton. Two books talking about Wayang Wong could be become monumental studies for its role in the state ritual dance drama. The first book is tittled Wayang Wong : me State Ritual Dance drama in the Court of Yogyakurta Kraton, was written by R.M. Soedarsono, and the second book is tittled Classic, Kitsch, Contemporary : A Study of Javanese Performing Arts, was writen by Jennifer Lindsay. In actually, the two books above, just ignored in a few more the one of the special stage of Shiva in the role of Wayang Wong Performing arts. This special status of Shiva it has been placed on the ritual process, including the Shiva’s dancer himself Historical studies make a tendence to Visnuism elements when Wayang Wong has been played. In the other hand, Wayang Wong assumpted by a relationship among the Sultan and the people whose watch it, but it seems not finale yet in term. For this reason, it was look like a spiritual relationship conception of Javanese people which is read as their cultural text. Wayang Wong performed, it was appear as a cultural text represented by Vismism elements appearance, it is not enough based on the state ritual conclusions by stressing it, and so that people participations in this event. The thesis has a reason, in fact it has a fertility themes of lakon and welfare progress, myth value, and the oral tradition that is based on the agricultural concept of state, in particularly the people and Sultan’s spiritual relationship. Futhermore, it was a clearly description to stage the abhiseku position of Shiva in Wayang Wong itmight be so long symbolic system evolutions, through the dance sculpture in the Hinduism candi’s, through the Wayang Kulit crafting, far Islamic periods, then it was made in dance movement in Jejer Khayangan’s scene of a Wayang Wong lakon. Accourding to the view above, so the horizontal of cultural value movement, in particularly, it is happened to the state ritual. Through this study, I’d like to make a balancing of two lines in the stage of state ritual. They were, in vertical and horizontal of culture values movement from Geertz conception. Rituality of the role of Shiva, is the only one remained for a long time, and the ritual process to him look like a symbol into the symbol of state ritual. The empirical fact, a Shiva’s dancer is staged by attribute, accessoris, pattern of dance movement, the name of music, the song kawin sekur, the oral tradition, the native religion, and fertility concept of welfare progress, it was included to the agricultural concept of the state Ngayogyakarta Hadiningrat, At lately, this thesis concluse the understanding about special stage of Shiva in the Wayang Wong, becoming the state ritual value to be balanced in vertical and horizontal. Beside, it has stressing the agricultural concept of the state Yogyakarta, also attempt to explain the Shiva’s privilages as a symbol ofphallus or linga, a tool of fertility and welfare progress in the agricultural concept of the state it self

Kata Kunci : Wayang Wong,Kraton Yogyakarta,Tokoh Dewa Siwa


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.