Laporkan Masalah

Bentuk tokoh Semar wayang kulit purwa :: Suatu kajian terhadap aspek kontinuitas dan perubahannya

PRACOYO, Prof.Drs. SP. Gustami, SU

2001 | Tesis | S2 Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa

Studi tentang aspek kontinuitas dan perubahan bentuk tokoh punakawan Semar wayang kulit purwa bukanlah sebuah substansi yang sederhana, mudah disentuh, diangkat, dan ditimbang, sebab eksistensi Semar ternyata sangat terkait erat dan dipengaruhi oleh faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal yakni faktor-faktor yang terkait dengan sikap pemahaman/pandangan yang berhubungan dengan kepentingan religi/kepercayaan, politik/kekuasaan, sosial/tradisi/adat istiadat, sebagai bagian dan dinamika budaya tradisional Jawa. Faktor eksternal sebagai akibat terjadinya perkembangan fungsi seni pertunjukan tradisional wayang kulit purwa yang semula lebih mengutamakan pada aspek tuntunan (pendidikan) moral dan etika, menjadi seni tontonan yang lebih menonjolkan aspek hiburan, sehingga tidak dapat terhindarkan lagi masuknya berbagai kepentingan dalam seni pertunjukan tradisional wayang kulit purwa. Sangat disayangkan, bahwa bentuk wayang Semar yang dibuat pada masa pemerintahan raja-raja Kasultanan Demak, Kasultanan Pajang, Mataram masa pemerintahan Panembahan Senopati, Mataram masa pemerintahan Sultan Agung tidak dapat dijumpai, oleh karena pada masa kekuasaan kerajaan-kerajaan tersebut selalu terjadi goncangan-goncangan perebutan kekuasaan yang mengakibatkan pemerintahan tidak dapat berlangsung lama. Namun berdasarkan data visual (artefact) yang dapat dijumpai yakni berupa wayang Semar gaya Cirebon yang dibuat pada masa agama Islam berkembang pesat dan mendominasi dalam segala aspek kehidupan masyarakat Jawa (bersamaan dengan masa pemerintahan raja-raja Demak abad +XV), memperlihatkan adanya pengaruh kuat kaum ulama (para Wali) yang menyadari bahwa di satu sisi wayang merupakan sarana ampuh bagi usaha penyebaran ajaran agama Islam di Jawa, namun di sisi lain diperlukan usaha keras untuk merubah kepercayaan orang-orang Jawa terhadap roh-roh leluhur dan dewa-dewa (pantheisme) menjadi percaya hanya pada satu Tuhan (monotheisme). Diduga ada keterkaitannya dengan pemikiran itu, maka meskipun bentuk perwujudan wayang Semar gaya Cirebon sebagai simbol personifikasi pamong (pengasuh)dibuat mirip dengan bentuk realistik manusia, tetapi bentuk kaki hanya dibuat secara global, jari-jari kaki tidak digambarkan secara detail seperti bentuk arca yang belum sempurna. Hal itu kemungkinan dimaksudkan untuk memberi pengertian bahwa penciptaan wayang Semar tersebut tidak dimaksudkan untuk menggambarkan makhluk hidup, sehingga tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah yang terdapat dalam ajaran agama Islam. Namun penerapan perhiasan sumping waderan dengan penerapan jenis tatahan mas-masan dan inten-intenan, masih memperlihatkan penggambaran tanda-tanda kebesaran seorang dewa. Perubahan bentuk wayang Semar yang cukup significant terjadi pada masa pemerintahan raja-raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan raja-raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono V dan Sunan Paku Buwono X di Surakarta maupun masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VII di Yogyakarta, wayang Semar dibuat dalam tiga macam wanda untuk membedakan adanya perbedaan kondisi mental maupun aspek emosional tokoh Semar. Hal itu dimaksudkan untuk lebih memperhidup suasana pakeliran (pentas). Bahkan di samping itu diciptakan pula bentuk wayang Semar mengenakan busana perempuan dan wayang Semar mengenakan baju rompi dan selendang yang ditujukan untuk menyesuaikan terhadap kebutuhan lakon (cerita). Penyusunan silsilah raja-raja Jawa yang menunjukkan bahwa raja-raja Jawa adalah keturunan raja-raja dan dewa-dewa (Semar atau Sang Hyang Ismaya sebagai salah satu dewa yang sangat dihormati) dalam pewayangan, bahkan lebih jauh lagi keturunan Nabi Adam, secara tidak langsung menunjukkan adanya usaha pemanfaatan tokoh Semar sebagai salah satu unsur untuk memperkuat legitimasi kekuasaan raja. Seiring dengan perkembangan fungsi wayang yang semakin kompleks yakni sebagai media pendidikan moral dan etika, media informasi pembangunan, dan bahkan ada kecenderungan kuat fungsi wayang sebagai media hiburan semakin menonjol, maka sekitar awal dasa warsa ke sembilan abad XX para dalang dan kreator-kreator wayang menciptakan berbagai bentuk wayang Semar kreasi baru. Bertolak dari hasil pengamatan, latar belakang penciptaan wayang Semar kreasi baru lebih didominasi oleh tujuan komunikatif yang menonjolkan aspek geculan (kelucuan) melalui keanehan bentuk wayang maupun peragaan suara dan peragaan tingkah laku wayang dalam pakeliran wayang kulit purwa (pertunjukan wayang kulit). Sebagai akibatnya, bentuk-bentuk wayang Semar kreasi baru tersebut seringkali menanggalkan simbolisasi konsep-konsep perwatakan Semar. Dengan demikian, eksistensi wayang Semar kreasi baru dalam seni pertunjukan wayang kulit purwa memperlihatkan terjadinya pergeseran nilai yang merupakan bagian dari suatu transformasi budaya. Permasalahan di atas, patut menjadi perhatian bersama agar kelangsungan warisan budaya adiluhung tersebut tidak semakin terjebak dalam bentuk-bentuk seni sekuler semata yang berkecenderungan untuk sekadar memenuhi kebutuhan-kebutuhan praktis. Oleh sebab itu, diperlukan langkah-langkah konkrit agar di satu sisi nilai-nilai filsafati wayang sebagai sarana penyadaran dan peningkatan moral dan etika dapat dipertahankan, dan di sisi lain kreativitas-kreativitas baru dalam rangka mengembangkan seni pertunjukan tradisional wayang kulit purwa dapat terus dilakukan.

A study of continuity and the alteration of Semar character as a servant of royalty in classical shadow play is not a simple subtantion which is easily be touched, be taken, and be considered, because the existance of Semar is related and influenced by both internal and external factors. Internal factors is the factors associated with understanding/vision attitude in relation with religious/belief, politics/authority, social/tradition/customs value as the parts of Javanese traditional culture harmony. External factors is result of the function development of classical shadow play that previously was focused in moral and ethics guidance (education) to be an art show that focuses more on entertaiment factor so that admittance of various intents in a classical shadow play exihibitions can not be avoided. It is very pity that the form of Semar that is created in the .government of Demak sultans, Pajang, Mataram under Panembahan Senopati government, Mataram under Sultan Agung government cannot be found because in the time of those government, there were fight to again the authority which made those government could not endure. However, from the visual data (artefact) discovery which formed of Semar in Cirebon style which was made in the time of Islamic development that dominated all of Javanese life aspect (in the same time with the governance Demak's kings in ± XV century), shows that it was influenced with the wise men (Wali) who realized that in one hand puppet plays were good facilities for the effort to spread Islamic belief in Java but on the other hand, it would need a struggle to change Javanese "belief from the spirits and gods (pantheism) to only one God (monotheism). Suspeciously, it is related with such thinking so that the form of Semar as the personification symbol of a helmsmen (guardiance) in Cirebon style is shaped similarly to human forms eventhough the legs were made unnaturally, the fingers were not clearly described just like uncomplete statue. Probably it was not meant to illustrate a human being so that it was not confront with the rules in Islamic teaching. Howefer, the description of jewelry sumping waderan with gold and diamond shows a portrayal of the greatness of a God. The significant transformation of Semar form was accured in the time of the government of Ngayogyakarta Hadiningrat's king's. In the government of Sunan Paku Buwono V and Sunan Paku Buwono X in Surakarta or Sultan Hamengku Buwono VII in Yogyakarta, Semar was made in three kind of wanda to differ his mental and emotional condition. It was meant to arouse the pakeliran (performance atmosphere). Beside, Semar was also created wearing a lady dress, vest and shawl which were aimed to accelerate with lakon necessities (the story). The genealogy of Javanese king's shows that they were kings and Gods descends (Semar or the Great Ismaya was one of the respected Gods) even more as the descendant of Adam prophet, it indirectly shows that there was an effort to use Semar as one of the component to support the kings authority. Along with the development of more complex functions of shadow puppet plays namely for the medium of moral and ethics education, development information even there is strong inclination to be a form of entertaiment. Therefore, in the early ninth decade in XX century puppeteers and puppet creators created various new creation forms of Semar. Based on study, the background to create Semar in new creations is dominated with a communicative purpose which protrude geculan (humor) through the strange form or the sounds and the attitudes of the puppets in pakeliran (a shadow puppet play) performances. In result, the new creation form of Semar in a classical shadow play often dismisses the symbolism concepts of Semar character. Therefore, the existance of the new creation Semar puppet in classical shadow play shows value friction that is one part of a cultural transformation. The problem above should become our attention so that this noble cultural inheritance is not stucked in secular forms only which incline just to fulfill paractical necessities. Therefore, concrete steps are very necessary to be taken so that in one hand the puppet plays philosophy as a medium to realize and to improve moral and ethics can be maintained and on the other hand the new creativities to develop traditional performance of shadow puppet plays can always be implemented.

Kata Kunci : Wayang Kulit Purwo, Tokoh Semar, Kontinuitas dan Perubahan


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.