Bedhaya Suryasumirat di Pura Mangkunagaran Surakarta
SUHARJI, Prof.Dr. R.M. Soedarsono
2001 | Tesis | S2 Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni RupaTesis ini bertujuan mengkaji tan Bedhaya Swyasumirat yang telah menjadi kekayaan kesenian di Istana Mangkunagaran Suralcarta. Kehadiran tad ini menarik karena menggunakan nama bedhaya serta memiliki ciri-ciri tan Maya seperti dapat dijumpai di keraton Kasunanan Suralcarta dan Yogyakarta. Scbagaimana telah berlaku selama ratusan tahun, bedhaya dengan ciri seperti terdapat dalam Bedhaya Suryasumbut hanya boleh dunilila oleh keraton. Dengan Tatar belalcang seperti itulah tesis ini berusaha mengungkapkan peristiwa apa yang sesunggubnya sedang terjadi hingga istana setinglcat kadipaten seperti Manglamagaran tersebut dapat memiliki bedhaya dengan karakteristikbedhaya keraton. Permaasalahan yang berkaitan dengan bedhaya adalah sangat kompleks karena sebagai atribut politic (kelcuasaan), bedhaya berIcaitan dengan banyak aspek Guna mencapai tujuan tersebut digunakan pendekatan sosio-ladtund sosial seperti sosiologi, antropologi ilmu politik, dan tidak kalah pentingnya ilmu sejarah sebagai metode untuk mendapatkan data yang terpercaya. Ide penyusunan bedhaya datang dad dua pihak pertama, pihak Sri Mangkunagara DC yang ingn melestarikan semangat Pangeran Sambemyawa dalam mengemban amanat sebagai kepala kerabat Mangkunagaran. Kedua, pihak penyusun tari yakni Sulistyo Sukrnadi Tirtokusumo yang ingin mengabdikan karyanya bagi Manglcunagaran karena is adalah salah seorang kerabatnya. Keputusan penggunaan atribut seperti penari berjumlah sembilan didasarkan atas tidak berlalamya kelcuasaan politik tradisional sejak Proklamasi Kemerdelcaan Republik Indonesia. Gejala ingin melepaslcan did dari kekuasaan pemerintah keraton telah tampak sejak lama dan mendapatkan bentukrtya yang nyata pada pasca-molusi kemerdekaan Republik Indonesia sampai sekarang. Pada saat ini momentum ketezbukaan dimanfaatkan oleh Manglamagaran untuk menerima interaksi dan pihak luar khususnya dalam kehidupan partwisata. Penistiwa ritual Hajad Dalent Boyong Temanten perkawinan Mangkunagara IX dipandang tidak scznata-mata sebagai ritual pemikahan tetapi berdimensi ganda. Dalam peristiwa tersebut terjalin selcaligus: (1) pengulcuhan tekad Sri Manglamagara IX sebagai kepala kerabat Mangkunagaran yang hendak melestarikan semangat Pangeran Sambemyawa; (2) upacara pemikahan, 3) sapan wisata. Akhimya disimpulkan bahwa Bedhaya Swyasuminit dalam acara upacara adat Boyong Diem Perkavvinan Manglamagara IX bersifat sebagai ritual semu (pseudo-ritual) berfungsi sebagai sarana upacara, hiburan pribadi, sekaligus sebagai tontonan. Dengan dernilcian lahimya Bedhaya Suryasumurat merupakan peristiwa budaya biasa dan bukan peristiwa politik sebagaimana melekat dalam bedhaya itu sendiri.
This thesis aims to investigate the Bedhaya Suryasumirat dance, which has become part of the wealth of arts in the Mangkunagaran Palace in Surakarta. The presence of this dance is of interest as it uses the name from the Kasunanan Surakarta and Yogyakarta Keraton or Palaces. It has been the case for hundreds of years that the bedhaya dance, with the characteristics found in Bedhaya Suryasumirat, belongs exclusively to the keraton. With this background, this thesis attempts to discover what has really taken place in order that a palace on the level of a regency may own a bedhaya dance with the characteristics of a bedhaya dance from the keraton. The problems related to the bedhaya are extremely complex, since as a political attribut (of power), the bedhaya is associated with varios aspects. In order to attain the above goal, a socio-cultural aprroach was used through the social sciences such as sociology, anthropology and political studies. Of equal importance was the use of historical studies as a method for obtaining reliable data. The idea to compose a bedhaya came from two figures: firstly Sri Mangkunagara IX, who wished to preserve the spirit of Pangeran Sambernyawa in carrying out his mandate as head of the Mangkunagaran; and secondly, the choreographer Sulistyo Sukmadi Tirtolcusumo, who wished to devote his work to the Mangkunagaran, as he was also a relative. The decision to use attributes such as nine dancers was based on the absence of traditional political power since the Proclamation of Independence of the Republic of Indonesia. The desire to break free from the power of the keraton government had emerged long before, and was realized in the post revolution era of Indonesian Independence until the present day. At present, the momentum for openness is being taken advantage of by the Mangkunagaran by accepting interaction with outside parties, especially in the field of tourism. The ritual event Hajad Dalem Boyong Mangkunagara IX was regarded not merely a marriage ritual but also had multiple dimensions. This event also included: (1) the affirmation of Sri Mangkunagara's determination as the head of the Mangkunagaran to preserve the spirit of Pangeran Sambernyawa; (2) the marriage ceremony; (3) a tourist performance. Finally, it can be concluded that the Bedhaya Suryasumirat dance in the Boyong Dalem ceremony for Mangkunagara DC's, marriage is a pseudo ritual, functioning as a part the ceremony, as private entertainment, and also as a show. As such, the birth of Bedhaya Suryasumirat is a normal cultural event and not a political event, such as is associated within the bedhaya it self.
Kata Kunci : Seni Tari, Bedhaya Suryasumirat