PENGARUH FREKUENSI SUBKULTUR KALUS TEBU (Saccharum officinarum L.) TERHADAP KEMAMPUAN BERTUNAS DAN KERAGAMAN GENETIK BIBIT BERDASARKAN PENANDA RAPD
Rulita Puspitasari, Dr. Ir. Taryono, M.Sc
2014 | Tesis | S2 Ilmu Pemuliaan TanamanTeknik budidaya jaringan dapat digunakan untuk meningkatkan keragaman genetik yang disebut keragaman somaklonal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh frekuensi subkultur kalus terhadap kemampuan bertunas, mengetahui pengaruh frekuensi subkultur kalus terhadap keragaman genetik bibit tebu hasil budidaya jaringan, dan mengetahui kestabilan genetik klon tebu yang digunakan. Pengaruh frekuensi subkultur terhadap kemampuan regenerasi kalus diujikan pada klon BZ 121, Q 81, Q 83, dan Kentung dengan perlakuan frekuensi subkultur kalus terdiri dari enam taraf yaitu 0 kali (S0), 1 kali (S1), 2 kali (S2), 3 kali (S3), 4 kali (S4), dan 5 kali (S5). Eksplan yang digunakan pada penelitian ini berupa potongan daun muda tebu dengan ukuran 5 mm. Media induksi kalus berupa media MS dengan tambahan 3 mg/l 2,4 D, kalus yang terbentuk disubkultur setiap 4 minggu sekali ke media yang sama. Media regenerasi tunas berupa media MS dengan tambahan 2 mg/l IAA + 2 mg/l IBA + 2 mg/l Kinetin. Setelah 8 minggu ditanam pada media regenerasi, planlet tebu disubkultur ke media perakaran MS dengan tambahan 2 mg/l NAA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kalus yang disubkultur tiga kali masih mampu beregenerasi dengan baik, akan tetapi kalus yang disubkultur empat kali sudah kehilangan kemampuan untuk beregenerasi membentuk tunas. Penanda RAPD menunjukkan bahwa semakin banyak frekuensi subkultur kalus akan menghasilkan tanaman yang mempunyai tingkat kemiripan dengan induk yang semakin rendah. Keragaman genetik pada klon tebu berbeda-beda tergantung interaksinya dengan perlakuan frekuensi subkultur. Persentase polimorfik berdasarkan klon yang digunakan menunjukkan bahwa klon BZ 121 paling rendah, sedangkan klon Q 81 paling tinggi. Berdasarkan frekuensi subkultur, keragaman genetik paling rendah terdapat pada kalus yang disubkultur satu kali, sedangkan kalus tanpa perlakuan subkultur keragaman genetiknya paling tinggi
In vitro culture technique offers unique opportunity to create the genetic variability which called somaclonal variation. The aims of this study are determine the effect of frequency of callus subculture on plant regeneration and genetic stability of sugarcane clones. The influence of frequency of callus subculture for regeneration ability among sugarcane clones (BZ 121, Q 81, Q 83, and Kentung) were evaluated, with treatment of callus subculture frequency were 0 (S0), 1 (S1), 2 (S2), 3 (S3), 4 (S4), and 5 (S5). The sliced tissue from young leaves roll (5 mm) were used as explants. MS containing 3 mg/l 2,4-D medium was used for callus induction, mass of callus were maintained by subculturing every 4 weeks with MS containing 3 mg/l 2,4-D medium and regenerated in MS containing 2 mg/l IAA + 2 mg/l IBA + 2 mg/l Kinetin medium. After 8 weeks regenerated, sugarcane plantlets subcultured in MS containing 2 mg/l NAA rooting medium. The regeneration of callus among sugarcane clones (BZ 121, Q 81, Q 83, and Kentung) decreased after third subculture and no shoots regenerate on fourth callus subculture. Genetic variation in sugarcane clones were vary depending on interaction with subculture frequency. Based on RAPD markers, there were different increased on genetic variability among clones. The percentage of polimorphic of BZ 121 was the lowest, whereas Q 81 was the higest. Based on subculture frequency, genetic variability of first subculture was the lowest, whereas direct regeneration was the higest.
Kata Kunci : tebu, subkultur, regenerasi, keragaman somaklonal, RAPD