Laporkan Masalah

POLITIK KULTURAL KH. ABDURRAHMAN WAHID DALAM DEMOKRATISASI

SUBAIDI, Prof. Dr. Mohtar Mas ‘oed, MA

2014 | Tesis | S3 Ilmu Politik

Cultural politicsdapatdijadikanrutealternatifdalampelembagaandemokrasibaginegara yang memilikibangsa yang mejemukseperti Indonesia.Kiprah KH Abudurrahman Wahid (GurDur) dapa tdicerna sebagai bagian dari bentuk cultural politics, dan salah satu tokoh yang mengungkap proses demokratisasi dalam rute alternatif tersebut. Dengan mengambil inspirasi dari konsep teori habitus dan doxa yang ditawarkan Pierre Bourdieu, cultural politics memperlihatkan bahwa demokratisasi sebagai ekspresi perlawanan seorang aktor (agency) yang berada erada dalam struktur kekuasaan melalui tindakan diskursif dan kontroversialnya dalam ruangdemokrasi, dengan ranah kultural (cultural fields) dan ranah politik (political fields) menjadi ajang permainan (tempat berlangsungnya perjuangan dan strategi), dimana di dalamnya terdapat perebutan dan pertarungan berbagai modal (modal kultural, modal politik) dari para tokoh, elit politik di struktur kekuasaan dalam mengubah atau mempertahankan suatu doxa. Modal yang dimiliki menjad ipenentu gaya permainan, keberhasialan atau kegagalan dalam perebutan dan pertukaran modal. Hal ini dapat dilihat dalam reproduksi pewacanaan yang dilakukan oleh Gus Dur dalam merubah doxa. Dengan memperlihatkan bagaimana kiprah Gus Dur dalam menggalang perlawanan terhadap doxa dalam bentuk tindakan-tintakan unik dan kontroversial yang memiliki kapasitas provokasi mau tidak mau menghasilkan kontroversi, sebagai bentuk perlawanan terhadap doxa dan juga sebagai pintu perubahan dalam membangun seperangkat nilai dan wacana dalam melawan dan mengcounter status quo dan dominasi praksis demokrasi yang proseduralistik. Hal ini terlihat bahwa demokratisasi sebagai bentuk perlawanan dan perubahan suatu doxa. Dari telaah terhadap upaya Gus Dur untuk mengembangkan seperangkat sistem nilai dan pewacanaan yang dimaksudkan untuk medekonstruksi dan merekonstruksi wacana yang secara diam-diam telah menjadi perangkap struktural yang baku, terlihat bahwa Kontroversi pewacanaan yang diungkit ini justru memungkinkan sang aktor akan mampu mengungkap dan membongkar persoalan-persoalan yang selama ini tidak disadari. Langkah-langkah kunci tersebut menggulirkan simpul-simpul perwacanaan di seputar hal yang dinilai sebagai pengekang proses demokratisasi secara heboh namun pada saat yang sama menjangkau hal yang lebih mendalam dibandingkan dengan cara-cara konvensional yang bersifat linear. Proses dekonstruksi dan rekonstruksi wacana melalui tindakan kontroversial aktor kunci itu, menjadikan transformasi nilai-nilai demokrasi telah berhasil dilakukan dalam; menginsiminasikan lahirnya oposisi formal, kesetaraan wanita dan pria dalam kepemimpinan politik, perubahan Papua dengan lahirnya undang-undang otonomi khusus, mencairnya hegemoni negara terhadap agama serta diterimanya warga China sebagai bagian dari bangsa ini. Walaupun sebagian kecil tindakan kontroversial aktor kunci ini tidak berhasil, seperti ide pencabutan tap MPRS no XXV/1966 dan tindakan merakyatnya dengan pakaian katok kolor di istana negara baik sebagai bentuk tranformasi kelembagaan maupun sebagai bentuk protes dari arogansi mayoritas elite terhadap minoritas di parlemen. Kepiawaian Gus Dur mereproduksi wacana tandingan yang dikemas sebagai bagian dari tindakan diskursif yang kontroversial dapat diketahui bahwa proses demokratisasi, dengan pewacanaan; (1) wacana humanisme, egalitarianisme dan keadilan sebagai modal kultural. (2) wacana kesadaran kultural: upaya menciptakan masyarakat demokratis, sebagai modal politik dalam sebuah ranah, diharapkan mampu mengubah sistem demokrasi sebagai sebuah doxa, yang tejabak oleh pendekatan agent centered dan structure centerd. Telaah terhadap bekerjanya secara simultan modal kultural dan modal politik dalam melakukan perlawanan dan perubahan doxa yang disajikan di dalam studiini menunjukkan bahwa tindakan diskursif dan kontroversial, yang dilakukan oleh aktor dalam struktur kekuasaannya sebagai presiden, yang terlihat bukan hanya dinamis dan dialektinya tindakan diskursif yang kontrofersial melainkan kemampuannya membangun seperangkat system nilai dan pewacanaan. Dari pemahaman akan kedinamisan inilah Gur Dur memanfaatkan posisi strategis dan juga memerebutkan posisi-posisi strategis. Dengan kesadaran akanposisinya ini bisa difahami adanya kekuatan tersendiri untuk melakukan perubahan namun dapat difahami juga bagaimana aktor strategis dapat medekonstruksi dan merekonstruksi nilai-nilai demokrasi yang sensitive kultur dengan cara; (1) membangun seperangkat nilai dan wacana dalam melawan status quo dan dominasi praksis demokrasi proseduralistik dan institusionalistik yang dominan. (heterodoxy dalam istilah Bourdieu). (2) memaknai kembali demokrasi dengan berpijak pada nilai-nilai budaya masyarakat yang komunalistik dan paternalistik, (2) mem-bergaining-kan tata nilai yang ada(nilai-nilai demokrasi dan nilai-nilai budaya lokal) sebagai pengembangan wacana tandingan yang dapat merebut perhatian publik dalam rangka membentuk sistem nilai-nilai demokrasi yang adaptable dalam kontek Indonesia. Penjelasan tentang proses demokratisasi yang terekam dari analsis politik kultural tersebut di atas, studi ini menunjukkan bahwa teori demokrasi yang sedang menjadi mainstream acuan praktik pemerintahan selama ini memiliki sejumlah kelemahan dalam system demokrasi di Indonesia yang tidak terjelaskan secara proporsional adalah peran tokoh kunci. Teori transisi menuju demokrasi di satu sisi melebih-lebihkan kemampuan tokoh menciptakan perubahan kultural yang disebut demokratisasi (heterodoxa). Sementara itu kalangan strukturalis terlalu skeptik atau understate peranan dan kemampuan tokoh kunci, dalam hal ini Presiden, dalam menciptakan perubahan, karenahanya strukturlah yang mampu membangun demokrasi dalam suatu negara. Memang, para aktor politik yang berada dalam posisi puncak hampir selalu menjadi variabel yang menentukan pola dan arah transisi demokrasi di setiap negara, setelah melalui proses liberalisasi. Tetapi tidak ada demokrasi yang terkonsolidasi tanpa dukungan tradisi atau budaya lokal, disamping nilai-nilai liberal. Teorisasi demokratisasi yang mampu mendialektiskan secara dinamis antaraagent centered dan structure centerd, yaitu teori demokratisasi politik kultural dimana peran seorang aktor (agency) yang berada dalam struktur kekuasaan, seperti presidenmemiliki peran strategis dan signifikan yang tidak hanya dimungkinkan dapat melakukan suatu perubahan terhadap doxa, melaikan juga dapat membangun seperangkat sistem nilai demokrasi yang lebih sensitive terhadap kultur dan kontek lokal bangsa Indonesia yang mejemuk.Dengan demikian demokratisasi cultural politics merupakan demokrasi tawassuthiyah (demokrasi jalan tengah) antara hegemoni-proseduralistik dan demokrasi yang memberikan kebebasan berekspresi yang dapat menimbulkan anarkhisme, antara agent centered dan structure centerd kekuasaannya sebagai presiden, yang terlihat bukan hanya dinamis dan dialektinya tindakan diskursif yang kontrofersial melainkan kemampuannya membangun seperangkat system nilai dan pewacanaan. Dari pemahaman akan kedinamisan inilah Gur Dur memanfaatkan posisi strategis dan juga memerebutkan posisi-posisi strategis. Dengan kesadaran akanposisinya ini bisa difahami adanya kekuatan tersendiri untuk melakukan perubahan namun dapat difahami juga bagaimana aktor strategis dapat medekonstruksi dan merekonstruksi nilai-nilai demokrasi yang sensitive kultur dengan cara; (1) membangun seperangkat nilai dan wacana dalam melawan status quo dan dominasi praksis demokrasi proseduralistik dan institusionalistik yang dominan. (heterodoxy dalam istilah Bourdieu). (2) memaknai kembali demokrasi dengan berpijak pada nilai-nilai budaya masyarakat yang komunalistik dan paternalistik, (2) mem-bergaining-kan tata nilai yang ada(nilai-nilai demokrasi dan nilai-nilai budaya lokal) sebagai pengembangan wacana tandingan yang dapat merebut perhatian publik dalam rangka membentuk sistem nilai-nilai demokrasi yang adaptable dalam kontek Indonesia. Penjelasan tentang proses demokratisasi yang terekam dari analsis politik kultural tersebut di atas, studi ini menunjukkan bahwa teori demokrasi yang sedang menjadi mainstream acuan praktik pemerintahan selama ini memiliki sejumlah kelemahan dalam system demokrasi di Indonesia yang tidak terjelaskan secara proporsional adalah peran tokoh kunci. Teori transisi menuju demokrasi di satu sisi melebih-lebihkan kemampuan tokoh menciptakan perubahan kultural yang disebut demokratisasi (heterodoxa). Sementara itu kalangan strukturalis terlalu skeptik atau understate peranan dan kemampuan tokoh kunci, dalam hal ini Presiden, dalam menciptakan perubahan, karenahanya strukturlah yang mampu membangun demokrasi dalam suatu negara. Memang, para aktor politik yang berada dalam posisi puncak hampir selalu menjadi variabel yang menentukan pola dan arah transisi demokrasi di setiap negara, setelah melalui proses liberalisasi. Tetapi tidak ada demokrasi yang terkonsolidasi tanpa dukungan tradisi atau budaya lokal, disamping nilai-nilai liberal. Teorisasi demokratisasi yang mampu mendialektiskan secara dinamis antaraagent centered dan structure centerd, yaitu teori demokratisasi politik kultural dimana peran seorang aktor (agency) yang berada dalam struktur kekuasaan, seperti presidenmemiliki peran strategis dan signifikan yang tidak hanya dimungkinkan dapat melakukan suatu perubahan terhadap doxa, melaikan juga dapat membangun seperangkat sistem nilai demokrasi yang lebih sensitive terhadap kultur dan kontek lokal bangsa Indonesia yang mejemuk.Dengan demikian demokratisasi cultural politics merupakan demokrasi tawassuthiyah (demokrasi jalan tengah) antara hegemoni-proseduralistik dan demokrasi yang memberikan kebebasan berekspresi yang dapat menimbulkan anarkhisme, antara agent centered dan structure centerd.

Cultural politics can be used as an alternative to the institutionalization of democracy in the country that has a pluralistic nation such as Indonesia . Gait Abudurrahman KH Wahid (Gur Dur) can be recognized as part of a form of cultural politics, and one of the figures that reveal the process of democratization in an alternative route to take inspiration from the concept of habitus and doxa theory offered Pierre Bourdieu. Cultural politics shows that democratization as an expression of resistance an actor (agency) within the structure of power through discursive and controversial actions in the space of democracy, the cultural sphere (cultural fields) and the political sphere (political fields) into the arena game (site of the struggles and strategies), which included a scramble and fight a variety of capital (cultural capital, political capital) of the figure, the political elite in power structures in changing or maintaining a doxa. Owned capital determines the style of the game, the success or failure in the race and capital exchange. This can be seen in the reproduction of discourse conducted by Gus Dur in changing doxa. By showing how the gait Gus Dur in mobilizing resistance to doxa in the form of actions that have a unique and controversial provocation that has the capacity inevitably generate controversy, as a form of resistance against the doxa as well as changes in the door to build a set of values and discourse in the fight and counter the status quo and democratic praxis of domination proceduralistic. It is seen that democracy as a form of resistance and change a doxa. From examination of Gus Dur's efforts to develop a set of values and discourse systems are intended to medekonstruksi and reconstruct discourse secretly structural traps that have become standard , it appears that this tilt Controversy discourse that actually allows the actor will be able to uncover and dismantle problem - issue that has not been realized. The key steps are rolling deskribe nodes around it is considered as a process of democratization restraint excited but at the same time it reaches deeper than the conventional methods which are linear. The process of deconstruction and reconstruction of the discourse through controversial measures that key actors, making the transformation of democratic values has been successfully done in; insimination birth of formal opposition, the equality of women and men in political leadership, change with the birth of Papua special autonomy law, the melting of the hegemony of the state religion and acceptance of Chinese citizens as part of this nation. Although a small portion of this key actor controversial action did not succeed, as the Assembly no idea revocation tap XXV/1966 and puclicity action with drawstring shorts outfit in state court either as a form of institutional transformation as well as a form of protest against the arrogance of the majority of the elite minority in parliament. Expertise Gus Dur reproduce counter-discourse that is packaged as part of a controversial discursive actions can be seen that the process of democratization, with discourse: (1 ) the discourse of humanism, egalitarianism and justice as a cultural capital. ( 2 ) awareness of cultural discourse : an attempt to create a democratic society, as political capital in a sphere, is expected to change the democratic system as a doxa, which domination by agent -centered approach and structure centerd. Simultaneous examination of the workings of cultural capital and political capital in the resistance and changes doxa presented in study shows that discursive and controversial actions, performed by actors in the structure of power as president, which looks not only dynamic and discursive action dialectically controversial but ability to build a set of system values and discourse. From an understanding of these dynamics Gur Dur utilize strategic position and also faith to strategic positions. With this akanposisinya consciousness can be understood the force of its own to make changes, but can be understood also how actors can strategically deconstruction and reconstruct the values of democratic culture in a way that is sensitive; (1) establish a set of values and discourse in the fight against the status quo and democratic praxis of domination proseduralition and institusionalization dominant . (Heterodoxy in Bourdieu's terms). (2) interpret the return of democracy grounded in cultural values comunalistic and paternalistic society, (2) to a right bergaining - existing values (the values of democracy and the values of the local culture ) as the development of counter-discourse that can seize public attention in order to establish a system of democratic values are adaptable in the Indonesian context. An explanation of the process of democratization which recorded the cultural politics of the analysis abov , this study suggests that the theory of democracy is becoming a mainstream practice reference for the government to have a number of weaknesses in the system of democracy in Indonesia, which is proportionally unexplained role of key figures. The theory of the transition to democracy on the one hand figures overestimate the ability of creating cultural change called democratization (heterodoxa). Meanwhile the structuralist too skeptical or understate the role and capabilities of key figures, in this case the president, in creating change, with a strukturlah are able to build a democracy in a country. Indeed, the political actors who are in the peak position is almost always a variable that determines the pattern and direction of each country 's transition to democracy, after going through the process of liberalization. But there is no consolidated democracy without the support of local traditions or culture, in addition to liberal values. Theorization of democratization that is able to dynamically dialecticalle by agency centered and structure centerd, namely democratization theory in which the role of a cultural political actors (agency) that are within the power structure, such president have strategically significant role not only possible to make a change to the doxa , but also can construct a set of democratic value system more sensitive to local culture and context of Indonesia which higrogent. by such a democratization of cultural politics tawassuthiyah democracy ( democratic middle way ) between hegemony – procedurale and democracy that gives the freedom of expression that can lead to anarchism, between agent -centered and structure centerd.

Kata Kunci : Value System, Political Action, Cultural Politics, habitus, Doxa Democracy Tawassuthiyah


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.