JAYAPURA DALAM TRANSFORMASI AGAMA DAN BUDAYA MEMAHAMI AKAR KONFLIK KRISTEN-ISLAM DI PAPUA
Idrus Alhamid, Prof. Dr. Djoko Suryo, MA,
2014 | Disertasi | S3 Agama dan Lintas BudayaIndonesia sebagai negeri yang kaya tidak hanya kaya sumber daya alam, tetapi juga rentan terhadap berbagai konflik sosial yang terjadi berulang-ulang. Konflik yang terjadi selama ini merupakan akumulasi dari penyelesaian persoalan yang tidak tuntas sehingga terus berkembang khususnya di kalangan masyarakat arus bawah. Salah satu daerah yang hingga kini masih mengalami konflik sosial adalah Papua khususnya Jayapura. Di daerah ini, berbagai persoalan menyulut terjadinya konflik antar identitas yang berujung pada konflik agama. Jayapura dengan komposisi penduduk yang relatif berimbang dari segi agama memunculkan klaim masingmasing kelompok yang merasa lebih berhak memiliki, khususnya rasa kepemilikan terhadap Papua. Perubahan komposisi penduduk juga memicu kekhawatiran mengenai konflik antaragama di Papua. Kedatangan para pendantang ke Papua yang kebetulan mayoritas Muslim, menimbulkan kekhawatiran masyarakat lokal yang mayoritas Kristen. Persoalan yang terjadi selanjutnya adalah gesekan antara masyarakat asli Papua dengan pendatang yang berujung pada konflik keberagamaan antara Kristen dan Islam dengan berbagai bentuknya. Agama pun menjadi ruang bagi politisasi konflik keberagamaan di Papua hingga saat ini. Untuk menjelaskan persoalan tersebut, penelitian ini menggunakan kerangka pemikiran konstruksi sosial Peter L Berger dan Thomas Lucmann yang melihat bahwa apa yang terjadi pada masyarakat merupakan sebuah realitas yang dibentuk melalui beberapa tahap. Agama sebagai sebuah realitas politik juga merupakan sesuatu yang sengaja dibentuk untuk mencapai kepentingan-kepentingan kelompok tertentu. Data penelitian ini diperoleh melalui tahapan-tahapan pengumpulan data penelitian kualitatif, yaitu observasi, wawancara, focus group discussion, dan studi dokumentasi. Observasi dilakukan di beberapa lokasi di Papua dengan menitikberatkan pada pola relasi masyarakat beragama. Wawancara dilakukan kepada beberapa pihak yang memiliki keterkaitan dengan kepentingan penelitian ini seperti elite pemerintah dan agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, dan masyarakat umum. Sementara itu, diskusi-diskusi terarah juga dilakukan untuk menguatkan data yang telah ada. Metode pengumpulan data yang lain adalah studi dokumentasi khususnya yang terkait dengan dokumen sejarah dan dokumen-dokumen penting lainnya. Penelitian ini menemukan tiga hal pokok. Pertama, konflik keagamaan di Papua khususnya di Jayapura tampak ketika Kristen dan Islam mengedepankan klaim masing-masing yang sebenarnya bisa didialogkan. Ketegangan-ketagangan yang ada sebenarnya sangat kuat di kalangan masyarakat luas, hanya saja terus ditutupi oleh para elite. Kedua, agama dijadikan sebagai sacred canopy di mana agama dianggap sebagai faktor perekat sekaligus pemecah kedamaian antara kedua agama. Agama pun sering difungsikan sebagai peredam ketegangan, sekaligus sumber ketegangan. Ketiga, fakta historis, sosiologis, dan antroplogis menujukkan bahwa konflik keberagamaan di Papua khususnya Jayapura berdampak pada terjadinya polarisasi hingga agama. Hal ini mengakibatkan ketegangan yang muncul memiliki pola dan keterkaitan antara persoalan ekonomi, sosial, politik, dan budaya yang terus berkembang dan dinamis.
Indonesia, a country with flourished natural resources, has been underpinning various and repeated societal conflicts, which detrimentally affected from the accumulation of huge unresolved problems, which gradually spreading into the grassroot of society. In Papua and Jayapura in particularly, probably one of the regions, which has experienced several societal conflicts, rooted from diverse identity issues and will be mounted up in religious conflict. Given that demographically, the composition of religious believers in Jayapura relatively equal in case of number, it has very often provoked claims from each group to declared them as the true owner of the land (Papua), and coincident with rapid people migration into Papua, which are accidently majority are Moslem that has also brought anxiety to the local inhabitants which are majority Christian believers. As the result, it has emerged social frictions between the native Papuan and the migrants in Jayapura, and placed religions (Christian and Islam) as the scapegoat of the problem. This frictions then become the furthest problems highlighted over Papua, as the religious spaces has been politicized into conflict arena which prone to any forms of inter-religious conflict in Papua. To understand this complex situation, this study through Peter L. Berger and Thomas Luckmann ‘s viewpoint of social construction, which argued that society, is a social reality, which being constructed in some ways. In this case, religion as a real political means, it also as a means constructed to gain interests of certain groups of society. Within this study, the data was collected through the ways of qualitative approach which are observation, interview, focused group discussion and documentation studies. The observation was held in some places in Papua and it was emphasized on the patterns of religious relationship in society, meanwhile the interview was focused on some authorized persons related to the research purposes such as government and religious elites, community leaders, youth leaders and other. To gain more insights, however the focused discussion and the documentation analysis were conducted to support each other, and in particularly, the documentation besides sought other important documents, it was scrutinized on historical documents. As the result, the study then reveals three fundamental findings. Firstly, the research suggested that religious conflict in Papua and for Jayapura in particularly looks critical in it forms when the claims from group of Christian and Moslem is much preferable to dialogical approach which indeed can be solved. The tensions between religious groups are very strongly found in wider society; however, the tensions had been kept hidden by the religious elites. Secondly, religion is considered as a sacred canopy in which religion is not only as a means of reconcilement but also as a means of segregation in society, as the broker of peaceful life within two religions. Thirdly, historical, sociological and anthropological evidences suggested that religious conflict in Papua especially for Jayapura is an ongoing trouble which gradually seeking for the conflict mode. Additionally, it should be noted that the conflict occurred in Papua is not a single matter, yet it has the modes and interconnected with economical, socio-political and cultural aspects, that have made the conflict continuously developed dynamically.
Kata Kunci : Konflik, Keberagamaan, Papua, Transmigrasi, Kristen-Islam