Laporkan Masalah

“DI ANTARA DERU MESIN INDUSTRI” (Kajian tentang Kehidupan Buruh Perempuan PT. Sandang Jaya Kabupaten Sukoharjo – Jawa Tengah)

HERNING SETYAWATI, Dr. Atik Triratnawati, M.A.

2014 | Skripsi | ANTROPOLOGI BUDAYA

Seiring jalannya industrialisasi, partisipasi tenaga kerja perempuan di sektor industri pun terus meningkat, terutama di industri manufaktur. Walaupun demikian, kemajuan tersebut tidak terlalu berarti karena kehidupan buruh perempuan umumnya jauh dari kata sejahtera. Mereka sering mengalami eksploitasi dan menerima upah yang relatif rendah tanpa dipenuhi hak-haknya. Selama ini kisah yang sering kita dengar tentang nasib buruh perempuan adalah kasus-kasus di industri perkotaan. Menjadi menarik apabila konteksnya diubah menjadi kehidupan buruh perempuan di pedesaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kondisi kerja dan gambaran kehidupan buruh perempuan di industri pedesaan serta bagaimana mereka bertahan. Penelitian dilakukan selama bulan Juni-Juli 2013 di Kota Tekstil tepatnya di Desa Jetis, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Desa ini adalah tempat berdirinya salah satu pabrik tekstil dan garmen terbesar di Asia Tenggara, PT. Sandang Jaya. Lima buruh perempuan PT. Sandang Jaya menjadi informan kunci. Melalui metode observasi partisipasi dan wawancara mendalam, diperoleh hasil penelitian yang menggambarkan kehidupan sehari-hari buruh perempuan baik di dalam pabrik maupun di luar pabrik. Kondisi kerja buruh perempuan PT. Sandang Jaya ternyata cenderung buruk. Mereka dihadapkan pada jam kerja yang panjang, molor produksi, kerja shift dan kerja lembur tiada henti dan sistem kerja kontrak yang sangat merugikan. Belum lagi berbagai risiko kerja yang mengancam. Kerja keras buruh perempuan pun tidak diimbangi penyediaan fasilitas yang layak oleh perusahaan. Upah minim dan tidak adanya kenaikan upah sesuai masa kerja adalah balasan yang diberikan oleh perusahaan. Akan tetapi “daripada nganggur” menjadi dorongan kuat bagi buruh perempuan untuk tetap bekerja. Nampaknya mereka tidak menyadari dua kekuasaan besar yang telah berkolaborasi yakni pengusaha dan pemerintah. Demi kepentingan dua aktor ini tenaga buruh lah yang dikorbankan. Serikat Pekerja yang tidak ada gaungnya semakin memudahkan eksploitasi dan pelanggaran hak buruh. Di sisi lain solidaritas yang timbul sesama buruh perempuan selama proses kerja rupanya telah mereduksi kesadaran adanya hubungan industrial yang timpang. Proses produksi yang penuh tekanan pun dijalani sebagai sesuatu yang normal.

industrial sector continues to increase, particularly in the manufacturing industry. Nevertheless, the progress is not very meaningful because the lives of women workers are generally far from prosperous. They often experience exploitation and receive relatively low wages without their rights fulfilled. Up till now, the story we often hear about the fate of women workers are cases in urban industry. Be interesting if the context is changed to the lives of women workers in the rural industries. This study aims to determine how the picture of the lives and working conditions of women workers in rural industries and how they survive. The study was conducted during the months of June-July 2013 in the Textile City precisely in Jetis Village, District Sukoharjo, Sukoharjo Regency, Jawa Tengah. This village is home to the one of the largest textile and garment factories in Southeast Asia, PT. Sandang Jaya. Five women workers of PT. Sandang Jaya became key informants. Through participatory observation and indepth interviews, obtained the results of research that describes the everyday life of women workers both inside and outside the factory plant. The working conditions of women workers of PT. Jaya clothing tends turns bad. They are faced with long working hours, delayed production, shift work and overtime relentless and contract labor system which is very harmful. Not to mention the various risks that threaten job. The hard work of women workers was not matched by the provision of adequate facilities company. Minimum wage and no wage increases corresponding period of employment is the reply given by the company. But “rather than unemployed” became a powerful impetus for women workers to keep working. Apparently they did not realize the two great powers who have collaborated ie financiers and governments. For the benefit of the two actors the labor force are sacrificed. Unions with no no repercussions further facilitate the exploitation and labor rights abuses. On the other hand arising solidarity among women workers during the work process seems to have reduced awareness of unequal industrial relations. The production process was stressful lived as normal.

Kata Kunci : industrialisasi, buruh perempuan, upah, lembur, kontrak.


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.