â€KAIPA PULAGGAJATNU ?“: WACANA KEMENTAWAIAN DI BUMI SIKEREI
Maskota Delfi, S.Sos.,M.Hum., Prof. Dr. Sjafri Sairin, M.A; Dr. Lono Lastoro Simatupang, M.A
2013 | Disertasi | S3 AntropologiDisertasi ini berjudul: \\"Kaipa Pulaggajatnu?\\"1: Wacana Kementawaian Di Bumi Sikerei. Fokus utama dari studi ini adalah pada persoalan mendasar dari perbedaan makna ke-Mentawai-an dan mengapa perbedaan itu semakin diperdebatkan dewasa ini? Tujuan studi ini adalah untuk menambah perbendaharaan etnografi suku di Indonesia khususnya tentang wacana identitas pada kelompok indigenous untuk memperkaya wawasan kita dan menumbuhkan sifat keterbukaan dalam menghargai perbedaan sehingga „kekhasan‟ tidak menjadikan kelompok kesukuan menjadi semakin „ekslusif'. Pemahaman mengenai wacana identitas di Mentawai dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan desain etnografi. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi partisipasi, wawancara mendalam dan membaca teks-teks wacana terkait perbincangan laggai, khususnya yang tertulis di media lokal \\"Pualiggoubat\\". Melalui metode tersebut penelitian ini menemukan bahwa ke-Mentawai-an merupakan ranah pertarungan dimana makna-makna tentang identitas dikonstruksi. Konstruksi yang dibentuk melalui wacana oleh berbagai kelompok yang berkepentingan menunjukkan bahwa makna ke-Mentawai-an tidaklah statis dan tunggal. Pewacana sebagai subjek selalu mengubah makna identitas sesuai dengan konteks, relasi kekuasaan dan kepentingan dibalik pewacanaan mereka. Masing-masing pewacana mengonstruksi makna ke-Mentawai-an berdasarkan pengetahuan dan pengalaman (modal) yang dimiliki dan selalu dalam proses yang terus menerus diproduksi/dikonstruksi. Wacana identitas muncul sebagai bentuk praktik kebudayaan, karena mengandung kepentingan yang didukung kekuasaan maka wacana dan kebudayaan berada dalam hubungan dialektis dan saling mempengaruhi. Wacana ke-Mentawai-an turut dipengaruhi wacana global, misalnya wacana tentang indigenous rights dan demokratisasi turut membangkitkan kesadaran kaum cendekia Mentawai untuk menunjukkan lokalitas yang berbeda dari etnis Minangkabau yang telah lama dianggap menguasai Mentawai. Oleh karenanya kelompok elite Mentawai, khususnya orang Sakalagan (Pulau Sipora dan Pagai) menolak pemberlakuan pemerintahan nagari dengan menciptakan nama laggai sebagai wacana perlawanan mereka. Di Mentawai sendiri orang Siberut menolak ide laggai dari orang Sakalagan dengan membangun klaim mereka sebagai orang yang „asli‟ sekaligus orang yang „tahu adat‟. Untuk menunjukkan klaim orisinalitas mereka maka orang Siberut memunculkan pulaggajat sebagai strategi dalam pertarungan yang disesuaikan dengan kalkulasi modal (pengetahuan tentang adat Mentawai). Adanya dua nama itu, yakni laggai dan pulaggajat menunjukkan adanya pertarungan wacana di antara orang-orang Mentawai sendiri. Wacana tertentu dibangun untuk melawan dominasi, namun di ruang dan waktu yang berbeda wacana itu bisa mensubordinasi kelompok lain, dan pada akhirnya juga akan dilawan dan memerlukan strategi yang berbeda sesuai modal baru yang dimilik
The dissertation is titled Kaipa Pulaggajatnu?2: Discourse on Mentawaianess in the Land of Sikerei. The focus of this study is on the fundamental effects of Mentawaian inter-regional differences, and why recently those differences have become a focus of further debate. The purpose of this study is to increase the discourse on identity of the indigenous people as a part of ethnographic interest in Indonesia. This is in order to enrich our knowledge and foster respect for diversity and openness in the discourse, to prevent that typical Mentawaianess does not transform tribal groups to become exclusive. To increase the understanding of the discourse on Mentawaian identity, an ethnographic qualitative research method was applied. Data was collected through participant observation, in-depth interviews and by appraisal of oral and documented discourse on laggai, with a particular interest in excerpts found in the local media. Through the methods applied in this study, it was revealed that the Mentawaian sphere of divergence was mainly formed by a regional identity construct. Construction occurred through discourse by various interest groups. It suggests that the importance of being Mentawaian, has not a static or singular meaning. Discourse is subject to change, according to the contexts of meaning in identity and power relations, and the interests hidden behind the discourse. Discourse on identity emerged as elements of cultural practice in Mentawai, because it contains power interests that support the discourse and culture, in a dialectical relationship and through mutual influence. The discourse in the Mentawaian community is also affected by the parallel global discourse. A discussion on indigenous rights and democratisation has raised awareness of Mentawai scholars, of the economic and social influence of the Minangkabau ethnic group who have long been in control of Mentawaian affairs. The research shows that in the discourse, social resistance is various. The overwhelmingly Sipora and Pagai Island elite group, known as Sakalagan, rejected the government desire to use the term nagari, as a Minangkabau derived name for village councils. The inhabitants on the Island of Siberut reject the idea raised by the Sakalagan of laggai, and in line with their claim of Mentawaian originality, advanced pulaggajat as a name for village council. The existence of the two names, laggai and pulaggajat, indicate the discourse struggle among Mentawaian people themselves in a negotiation strategy that exists within society. It appears that the discourse is a part and means to resist inter-island domination. However it appears that the discourse itself could become a means to subordinate groups in the Mentawai archipelago or as an instrument to oppose whatever is proposed. It will need a development as another strategy with new capacities that will evolve from this process.
Kata Kunci : wacana identitas, ke-Mentawai-an, laggai, pulaggajat, dominasi dan perlawanan.