Representasi Nilai Posfeminisme Dalam Film Nasional (Analisis Semiotika Tentang Nilai Posfeminisme Pada Film Mereka Bilang Saya Monyet!)
Verani Indiarma, Dr. phil. Ana Nadhya Abrar, M.E.S
2013 | Tesis | S2 Ilmu Politik/Ilmu KomunikasiEra postmodern telah ikut mengubah wajah perempuan dalam media, yang semula dalam film modern menjadi objek hasrat berganti menjadi subjek hasrat, seperti dalam film Mereka Bilang Saya Monyet!. Pergeseran tersebut sangat mengesankan adanya nilai-nilai posfeminisme dalam film. Namun, ketidaksadaran patriarkal terus ‘bekerja’, sehingga perlu dicermati lagi bagaimana perempuan direpresentasikan dalam film MBSM! Untuk mengkaji bagaimana perempuan direpresentasikan dalam film MBSM! ini, digunakan analisis semiotika milik Barthes. Analisis semiotika Roland Barthes dipilih karena mampu menjangkau tidak hanya pada level teks, maupun simbol namun juga menggunakan satu terma lagi dalam pembacaan tanda, yaitu mitos. Dalam mengkaji tanda menggunakan mitologi barthes tidak lagi diharuskan membedah penanda dan petanda pada level linguistik secara terpisah, cukup mengetahui makna denotati secara global, karena dari tanda denotatif inilah mitos akan dibicarakan. Beranjak dari mitos inilah kemudian dapat memposisikan suatu tanda berada dalam ranah ideologis tertentu. Hasil penelitian ini kemudian menunjukkan bahwa film MBSM! tidak memiliki perbedaan dengan film-film era modern. Tidak ada penggambaran perempuan yang dapat mengantarkan penonton perempuan dalam kesenangan melihat atau hasrat yang bebas dalam film MBSM! ini, sebagaimana yang diajukan dalam nilai-nilai posfeminisme. Film ini secara jelas hanya mengulang narasi klasik yang ada dalam film-film modern, tidak ada penggambaran perempuan yang otonom, bebas, berani memilih jalannya sendiri dan bahagia dalam pilihan itu. Dengan demikian temuan dalam hasil penelitian menunjukkan anti tesis yang menggambarkan film MBSM!sebagai film yang hanya menawarkan label baru, namun tetap dengan fenomena lama. Tidak berbeda dengan sinema feminis modern yang berakhir pada penggambaran perempuan yang lemah dan karenanya selalu menjadi objek penderitaan.
Postmodern era has change how women are being portrayed in the media. Previously portrayed in modern films as the object of desire, women have now become the subject of desire, as told in Mereka Bilang Saya Monyet! This shift gives the impression of postfeminism values in films. But patriarchal unconsiousnes apparently still “workingâ€, so further observation on how women are being represented in MBSM! is necessary. To study how women representation worked in MBSM!, Barthes’ semiotic analysis is then used. Roland Barthes’ semiotic analysis is chosen because its wide scope reached not only on textual level and symbols, but also reading of signs, which is myth. In analyzing signs using Barthes’ mythology, reserachers no longer obliged to dissect signifier and signified separately on linguistic level. Knowing denotative meaning globally is sufficient because from these denotative signs myth will then be discussed. Starting from myth, researchers are then able to positioned certain signs belongs in which level of certain ideology. The result of this research showed that MBSM! have no difference from films in modern era. There is no representation of women in MBSM! that able to convey the message of pleasure of viewing and freedom of desire to women audiences, as postfeminism values suggested. This film only repeats classical narration in modern films, there is no depiction of autonomous, independent woman who has courage to choose her own path and be happy with her own decisions. Thus, this research found an athithesis which concluded that MBSM! as a film simply offers a new label for an age-old phenomenon, similar to feminist cinema in modern era that depicted women as weak and fragile being as subjects of misery.
Kata Kunci : Representasi, Film, Perempuan, Semiotika, Nilai-nilai Posfeminisme