KEDUDUKAN GUBERNUR SEBELUM DAN SESUDAH AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR 1945

AL MASUDAH, Mailinda Eka Yuniza, S.H., LL.M.

2014 | Tesis | S2 Ilmu Hukum

Otonomi Daerah pada hakekatnya adalah penyerahan hak, wewenang, dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan. Peran Pemerintah seharusnya lebih ditekankan pada aspek kebijakan nasional, Provinsi pada koordinasi penyelenggaraan kebijakan dan kabupaten/kota sebagai pelaksana kebijakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengulas segi teoritik tentang kedudukan gubernur sebelum dan sesudah Amandemen UUD 1945, mengetahui kelebihan dan kekurangan dari kedudukan gubernur serta solusi yang ditawarkan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. penelitian ini juga bertujuan untuk memenuhi tugas akhir dan memperoleh gelar Magister dari fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Penelitian ini merupakan penelitain normatif dan menggunakan beberapa pendekatan, yakni: pendekatan undang-undang, pendekatan historis, pendekatan komparatif. Kedudukan Gubernur dalam sistem pemerintahan Indonesia berkedudukan sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah dan juga sebagai kepala daerah. Gubernur sebagai kepala provinsi berfungsi pula selaku wakil Pemerintah Pusat di daerah, dalam pengertian untuk menjembatani dan memperpendek rentang kendali pelaksanaan tugas dan fungsi Pemerintah guna mencapai keterpaduan baik perencanaan maupun pelaksanaan tugas agar tercapai efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan. Dalam statusnya sebagai daerah otonom, kewenangan provinsi yang diatur dalam Undang-undang serba tanggung karena urusan otonominya tidak jelas serta memunculkan tumpang tindihnya kewenangan antara provinsi dengan kabupaten dan pada gilirannya menyebabkan disharmoni antara Gubernur dengan Bupati/walikota. Selain memperjelas dan mempertegas tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, Undang-Undang Pemerintahan Daerah juga harusnya menentukan titik berat otonomi di provinsi agar posisi otonomi kabupaten/kota di bawah otonomi provinsi.

Territory autonomy is a transfer of right, authority, and obligation of territory to manage its own domestic issues based on the law. The role of the Government should be emphasized on the national policy, the Province coordinating the implementation of the policy and the regency as the implementer of the policy. This research is intended to review the theoretic approach of governor position according of governor position before and after amandementof UUD1945, to know the benefits and flaws of the governor position along with the solution offered to solve the problem.This research is also intended to fulfill the final project to achieve a magister title from the Faculty of Law, GadjahMada University,Yogyakarta. This research was a normative research and used several approaches, namely: the statute approach, case approach, historical approach, comparative approach, and conseptual approach The position of the Governor in the Indonesian government system before and after the amandement of UUD 1945 holds the position as the vice-seat of government and district head. The Governor, as the district head and representative of the government, serves as a bridge and shortens the span of control to reach the integrity of both planning and implementation in order to reach effectiveness and efficiency of government implementation. However, on its status as territory autonomy, the province authority which is arranged on ordinance is not clear and appears to be overlapping with the authority between the Governor and regent or mayor. In addition to clarifying and affirming the governor’s duty and authority as vice-seat of government, ordinance of local government must determine the pressing of autonomy in the province in order for the outonomy position of regency to be under the province autonomy

Kata Kunci : kedudukan gubernur, kelebihan posisi gubernur, kelemahan posisi gubernur, solusi