INCLUSIONARY HOUSING IN INDONESIA: THE ROLE OF BALANCED RESIDENTIAL RATIO 1:3:6 IN MAKASSAR
Vera Yuniati, Prof. Ir. Bakti Setiawan, MA., Ph.D.
2013 | Tesis | S2 Magist.Prnc.Kota & DaerahRiset ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana instrumen inclusionary housing diterapkan di Indonesia melalui Kebijakan Lingkungan Hunian Berimbang 1:3:6. Inclusionary housing merupakan salah satu instrument land value capture, dimana pemerintah mewajibkan para pengembang perumahan komersil untuk menyediakan unit rumah sederhana dan terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah dalam jumlah yang sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan. Di Indonesia, Kebijakan Lingkungan Hunian Berimbang ditetapkan oleh pemerintah pusat berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Perumahan Rakyat nomor 648-384 tahun 1992, nomor 739/KPTS/1992, dan nomor 09/KPTS/1992 tentang Pedoman Pembangunan Perumahan dan Permukiman dengan Lingkungan Hunian yang Berimbang untuk dilaksanakan di seluruh Daerah Tingkat II, kabupaten dan kota, di Indonesia. Surat Keputusan Bersama ini juga dikenal dengan SKB 3 Menteri. Kebijakan Lingkungan Hunian Berimbang memiliki dua tujuan utama: (1) Untuk menyediakan rumah yang terjangkau, dan (2) untuk lebih mendorong terbentuknya masyarakat yang terintegrasi secara sosial melalui pembangunan perumahan berimbang yang terdiri dari perumahan mewah, menengah dan sederhana dalam satu kawasan dan mendorong subsidi silang. Oleh karena itu, setiap pembangunan perumahan oleh pengembang komersil harus memenuhi rasio 1:3:6, yaitu 1 unit rumah mewah, 3 unit rumah menengah, dan 6 unit rumah sederhana. Studi kasus yang dipilih penulis dalam riset ini adalah Kota Makassar, ibukota Propinsi Sulawesi Selatan sekaligus kota terbesar di kawasan timur Indonesia. Penilaian penerapan kebijakan Lingkungan Hunian Berimbang 1:3:6 di kota ini dilihat dari empat dimensi – legal, ekonomi, keuangan, dan sosial – selama periode 1993 – 2003. Pembahasan keempat dimensi tersebut diletakkan dalam konteks penyediaan perumahan yang terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah melalui salah satu instrumen land value capture. Oleh karena itu, isyu lainnya seperti keterjangkauan dalam jangka panjang serta isyu integrasi sosial dan etnik tidak dibahas dalam riset ini. Temuan umum pada riset ini adalah bahwa Kebijakan Lingkungan Hunian Berimbang (LHB) 1:3:6 kurang diterapkan oleh Pemerintah Kota Makassar. Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat tersebut diadopsi langsung tanpa diformulasikan lebih detail atau dirumuskan khusus dalam bentuk Peraturan Daerah atau sejenisnya. Meskipun prosedur dan kriteria sanksi sudah tercantum dengan jelas dalam Kebijakan LHB 1992, ketiadaan institusi atau badan khusus di tingkat nasional dan daerah yang berwenang dalam menjalankan fungsi koordinasi, pengendalian dan pengawasan, menyebabkan tidak diterapkannya kebijakan tersebut secara maksimal. Faktor lain yang dianggap sebagai penyebab kurangnya implementasi Kebijakan Lingkungan Hunian Berimbang 1:3:6 ini adalah landasan hukumnya yang lemah, yaitu hanya setingkat keputusan menteri. Ditambah lagi dengan kurangnya respon pemerintah daerah untuk menerbitkan peraturan daerah yang lebih spesifik yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerahnya. Hal ini menyebabkan sanksisanksi yang tercantum dalam SKB 3 Menteri tidak diterapkan oleh pemerintah daerah. Di lain pihak, insentif-insentif berupa percepatan penerbitan dan pemotongan biaya pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang ditawarkan pemerintah daerah, ternyata tidak cukup memotivasi para pengembang untuk menerapkan LHB 1:3:6. Meskipun demikian, temuan penting dalam penelitian ini yang perlu di garis bawahi para pemangku kebijakan adalah bahwa pola lingkungan hunian berimbang dengan rasio 1:3:6 ini secara ekonomi memungkinkan untuk diterapkan oleh pengembang. Hal ini diindikasikan oleh keuntungan yang diperoleh dari pertambahan nilai lahan yang relatif tinggi jika dibandingkan dengan nilai lahan di awal pembelian. Faktor-faktor yang mempengaruhi perhitungan tersebut adalah pemilihan lokasi di wilayah pinggir kota dan berbatasan dengan kota atau kabupaten lain serta kondisi lahan yang awalnya adalah lahan kosong. Akan tetapi, penelitian ini tidak bisa menemukan dampak ekonomi penerapan kebijakan lingkungan hunian berimbang terhadap harga dan tingkat produksi unit rumah mewah pada suatu proyek perumahan karena ketersediaan data dan studi lainnya yang tidak mendukung. Temuan spesifik pada lokasi penelitian adalah bahwa pada rentang waktu tahun 1993-2003 produksi perumahan oleh para pengembang anggota Real Estate Indonesia (REI) di Kota Makassar didominasi oleh tipe rumah menengah yang mencapai 54% dari total produksi unit rumah pada periode tersebut. Produksi selebihnya hampir berimbang antara unit rumah sederhana dan unit rumah mewah, yaitu 24% tipe rumah sederhana dan 21% tipe rumah mewah. Akan tetapi, dari total unit rumah sederhana yang diproduksi pada kurun waktu tersebut, 55% berasal dari proyek-proyek perumahan yang menerapkan pola lingkungan hunian berimbang 1:3:6. Selain itu, terkait dengan efektivitas pola lingkungan hunian berimbang sebagai solusi untuk mengatasi isyu segregasi ruang, penelitian ini menemukan bahwa sangat jarang ditemukan proyek perumahan yang dibangun sejak tahun 1993 yang mematuhi peraturan pembangunan unit rumah mewah, menengah dan sederhana yang terintegrasi pada satu hamparan. Contoh kasus proyek perumahan Bukit Baruga Makassar, pihak pengembang membangun unit rumah menengah dan rumah mewah pada area administratif Kota Makassar, sementara unit rumah sederhana dibangun terpisah pada area yang secara administratif bukan lagi wilayah Kota Makassar, tetapi kabupaten lain yang berbatasan langsung dengan Kota Makassar yang harga lahannya jauh lebih murah. Hal ini merupakan indikasi bahwa integrasi ruang yang ingin dicapai melalui pola lingkungan hunian berimbang masih sulit diwujudkan.Perubahan kebijakan yang ditetapkan pemerintah pusat pada 2011 pun tidak memperlihatkan perbaikan yang signifikan terkait integrasi ruang. Tidak jauh berbeda dengan kebijakan sebelumnya, perubahan kebijakan LHB pada tahun 2011 masih menyiratkan ambiguitas. Di satu sisi, peraturan yang baru mewajibkan pembangunan unit rumah mewah, menengah dan sederhana terintegrasi dalam satu hamparan. Akan tetapi, di sisi lain peraturan tersebut juga memperbolehkan pembangunan yang tidak dalam satu hamparan dengan syarat masih dalam area administrasi kota atau kabupaten yang sama. Meskipun berbagai disinsentif juga disebutkan, namun hal tersebut tampaknya masih membuka peluang untuk negosiasi. Ambiguitas ini justru tidak sejalan dengan tujuan kebijakan itu sendiri, yaitu membangun komunitas masyarakat yang terintegrasi secara spasial melalui penerapan pola lingkungan hunian berimbang pada satu hamparan. Pada akhirnya, penelitian ini mengakui bahwa kebijakan lingkungan hunian berimbang ini dapat berperan penting dalam upaya pemecahan masalah penyediaan perumahan yang terjangkau dan terintegrasi secara spasial. Pemerintah daerah harusnya lebih jeli dalam melihat peluang yang ada pada peraturan ini untuk membantu mereka menyediakan perumahan yang terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah dengan cara memobilisasi kenaikan nilai lahan yang dinikmati oleh para pengembang dan mengalokasikannya bagi penyediaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Akan tetapi, untuk memungkinkan keberhasilan hal tersebut sangat dibutuhkan peraturan yang jelas dan rinci serta political will yang kuat dari pemerintah daerah.
This research attempts to find out how inclusionary housing is implemented in Indonesia through the balanced residential ratio 1:3:6 regulation (Lingkungan Hunian Berimbang – LHB). The regulation was introduced by the national government in 1992 for implementation at local level by all municipalities and regencies. There are two main objectives of the LHB 1:3:6 regulation: (1) to produce affordable housing, and (2) to encourage more socially integrated development via mixed-income residential areas and cross-subsidies. Henceforth, every new residential development by a private developer should reflect the 1:3:6 ratio (1 high-income, 3 middle-income and 6 low-income units). Using the case of Makassar City, the capital city of South Sulawesi Province and the largest city in the eastern part of Indonesia, the author tries to assess the implementation of the balanced residential ratio 1:3:6 regulation from four dimensions - legal, economic, financial, and social - during period 1993 – 2003. Those dimensions are discussed in the context of provision for affordable housing through the application of land value capture. Thus other issues such as long-term affordability and social ethnic integration are not covered in this research. The general finding for the balanced residential ratio, LHB 1:3:6, which was adopted by the Makassar Local Government in 1992, has been lack of implementation. The local government simply adopted it without formulating more detailed local regulations or adapting it to the city’s ordinances. Although the procedures and sanctions are clearly stated, the absence of a dedicated institution or committee at national and local levels in coordinating, controlling, and monitoring the implementation of the regulation, results in non-compliance. The legal basis provided by the national government, which is at ministerial level, and the absence of specific local regulations, means that the sanctions stated in the balanced residential ratio regulation were not applied by the local government. On the other hand, the incentives in the form of fast-track permit and reduction of retribution for building permit provided by local governments are not enough to motivate developers. This is because developers usually look for the highest possible profit. However, it is economically feasible for developers to fulfill the inclusionary obligation. This is indicated by the relatively high increment of land value gained by developers compared to the value of the land at the time they purchased it. Factors that influenced that result are the chosen location at periphery areas and also in an adjacent municipality, as well as the initial land use which was vacant land. Meanwhile, economic impacts of the balanced residential ratio regulation on price and production of luxurious units were not clear because of lack of data and studies regarding those issues.In addition, during the period 1993 – 2003 housing production by developers in Makassar was dominated by the medium type which reached 54% of total housing production in that period. The rest of production was shared almost equally between the basic houses and luxurious houses. The data shows that the percentage was 24% for the former and 21% for the latter. However, from the total amount of basic houses built in Makassar, 55% were produced from projects that implemented 1:3:6 regulation. Concerning the extent that the balanced residential regulation addressed the spatial segregation issue, this research barely found housing development since 1993 that followed the requirement to build a mixed-residential development within one contiguous area. In the case of the selected project in Makassar, Bukit Baruga Residential, the developer built the basic houses in an adjacent municipality where the land price was very cheap. This indicates that spatial integration through mix-residential area is hard to achieve. Meanwhile, changing in policy has not given much significant improvements regarding spatial integration purpose. Similar with the former 1:3:6 regulation, the new balanced residential ratio introduced in 2011 still illustrates ambiguity. At one side it makes mix-residential in one contiguous area compulsory for large scale residential development. But on the other hand, the developing of basic houses is allowed at different area as long as the location is in the same municipality or regency. Although some disincentives are introduced, but spatial integration seems still negotiable. This ambiguity is contrary to the objective of the regulation itself that trying to develop spatially integrated communities by mixing different types of housing within one contiguous area. Finally, this research admits that this policy could play an important role for local governments to address issues of affordable housing and spatial integration. It enables local government to recapture the increment of land value obtained by private developers to provide affordable housing for low income households. Lessons learnt from the past suggest that clear and detailed regulations, as well as strong political will of the local government, are needed to be able to mobilize the increment on land value obtained by developers. Although it is economically feasible for developers to set aside a certain portion of housing units and make it affordable for low income households, it will not be recaptured if local government does not fully understand the opportunities that this regulation offers in assisting them with provision of affordable housing.
Kata Kunci : Mobilisasi kenaikan nilai lahan, lingkungan hunian berimbang,integrasi spasial, Makassar, Indonesia.