Laporkan Masalah

KAWASAN LAR DI KABUPATEN SUMBAWA

HILAL, Prof. Ir.Sudaryono, M.Eng.,Ph.D.

2013 | Tesis | S2 Magist.Prnc.Kota & Daerah

Masyarakat Sumbawa mempunyai tradisi beternak di lar. Tradisi beternak ini merupakan kebiasaan yang sudah melekat sejak lama dan dipraktekkan secara turun temurun.Tradisi beternak masyarakat Sumbawa sebenarnya tidak dapat dipisahkan dengan tradisi bercocok tanam didalam kehidupan sehari-harinya. Masyarakat menyiasati kondisi alam secara arif yang memang dominan pertanian tadah hujan disamping karena beriklim tropik lembab, banyak terdapat padang rumput (lar). Ketika musim hujan/musim tanam datang, masyarakat terlebih dahulu mengantar hewan ternaknya ke lar dengan tujuan agar kegiatan bercocoktanam dengan pola basiru dapat berlangsung dengan baik. Di samping itu menjauhkan hewan ternak agar tidak mengganggu tanaman yang sengaja ditanam oleh masyarakat di lahan pertaniannya. Pemanfaatan lar sebagai kawasan pengembalaan bersama masyarakat yang bersandar pada konsensus sosial nampak keberadaannya mulai terancam. Ini tidak lain karena perkembangan peradaban manusia semakin cepat dan memaksa untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian. Perubahan tradisi bercocok tanam yang notabene sangat berkaitan dengan tradisi beternak memberi pengaruh yang cukup kuat dalam sistem beternak masyarakat yang selama ini di praktekkan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan konsep ruang pengelolaan kawasan lar berbasis nilai-nilai tradisi pola beternak masyarakat Sumbawa. Penelitian ini bersifat deduktif dan menggunakan metode kualitatif melalui pendekatan fenomenologi. Hasil penelitian ini menemukan bahwa tradisi beternak dan bercocok tanam merupakan dua hal yang saling melengkapi satu sama lain. Pertama; bahwa tradisi bercocok tanam dengan pola basiru sesungguhnya telah ikut andil membentuk tradisi beternak di kawasan lar. Kedua; bahwa masyarakat menyadari sistem beternak dengan melepas ternak di lar memiliki konsekwensi sewaktu-waktu ternak meninggalkan kawasan lar karena berbagai sebab. Persoalan ini disikapi oleh masyarakat dengan tradisi memagari lahan pertaniannya agar ternak tidak masuk dan mengganggu tanaman di dalamnya. Hal ini kemudian membentuk pola spasial akibat dipicu oleh pergerakan ternak keluar dari kawasan lar. Ketiga; bahwa lar sebagai kawasan yang di kelola secara bersama berdasar pada konsensus sosial sejauh ini tetap berjalan dengan baik dan tanpa ada penguasaan individu di dalamnya. Keempat; Bahwa pengelolaan lar bersandar pada konsensus sosial lambat laun akan tergerus jika tidak mengalami penguatan-penguatan, untuk itu pemerintah mencoba mengembangkan lar dengan pola berbeda namun tetap berbasis sumberdaya dan kearifan lokal sebagai bentuk penyesuaian terhadap perkembangan zaman. Dengan tujuan agar lar tetap lestari.

Society in Sumbawa regency, Indonesia, has a tradition of farming in lar . This farming tradition is a habit that has been attached in the community a long time and practiced from generation to generation. As known, Sumbawa people has husbandry tradition that can not be separated with their farming tradition in their daily life. Communities deal with natural conditions are sensitively using cistern rain system of agriculture since this humid tropical climate condition, there are so many pastures ( lar ) exist. When the rainy season / planting season comes , people first take their livestock to the lar, so basiru system activities is able to deliver properly. In addition, it also keeps farming from an interference of their animals. Using lar as a grazing area with communities which relies on social consensus has begun in danger. This condition influenced by a faster development of human civilization including some adjustments. Changes in agriculture tradition which is highly associated with husbandry traditions give a strong influence in their practical breeding system. The purpose of this study was to describe the concept of space-based on traditional values of Sumbawa community in the lar managemet. This research was deductive and using qualitative methods through phenomenological approach . Results of this study found that the tradition of farming and husbandry are the two activities that complimentary each other . First , the tradition of farming with the basiru patterns has been involved in the establisment of husbadry tradition using lar area. Second, the community awares that removing livestock within lar sytem has some consequences, for instance the livestocks leave the lar area to the farming area. To handle these problems, the communities have tried to make fence to protect their farming area from the livestocks. Some spatial patterns in the lar area emerge from these phenomena. Third, the lar area as raising area is managed together based an a social consensus and so far it is still running well without any individual interest an it. Fourth ; The lar management relies on social consensus will gradually erod if there are no attempts to strengthen this existence. So it is important for the related goverment to develop consistently new sustainable husbandry sytem based an it local wisdom.

Kata Kunci : Lar, Tradisi beternak, Kearifan lokal


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.