POLITIK AKOMODASI NEGARA TERHADAP AGAMA (Studi Kasus Penggunaan Fatwa MUI Sampang atas Syi’ah dalam Kasus Penodaan Agama)
MAURISA ZINIRA, Dr. Zainal Abidin Bagir
2013 | Tesis | S2 Agama dan Lintas BudayaHilangnya hak-hak konstitusional kelompok minoritas adalah bukti bahwa negara gagal dalam melindungi kelompok minoritas dari praktik intoleransi yang dilakukan oleh kelompok yang tidak menginginkan adanya perbedaan. Kegagalan tersebut disebabkan oleh kurang tegasnya negara dalam mengambil kebijakan yang berbeda dari kebijakan otoritas agama. Kasus Syi’ah di Sampang menunjukkan bahwa kebijakan negara cenderung mengikuti aspirasi kelompok mayoritas daripada mengakomodasi kelompok minoritas. Penelitian ini merupakan studi akomodasi negara terhadap agama yang berangkat dari dua pertanyaan mendasar, yang pertama terkait dengan peran fatwa MUI Sampang dalam kasus penodaan agama dan yang kedua mengenai bagaimana seharusnya negara mengakomodasi kelompok minoritas. Pertanyaan pertama dimaksudkan untuk melihat relasi negara dan lembaga agama dan yang kedua lebih bersifat teoritis mengenai alternatif akomodasi kelompok minoritas. Berdasarkan pertanyaan penelitian, data dikumpulkan melalui wawancara dengan ulama di Sampang dan Jawa Timur, pemerintah Sampang dan pengungsi Syi’ah. Selain itu pengumpulan data juga dilakukan melalui penulusuran pustaka baik buku, jurnal, artikel, media masa cetak maupun elektronik, dan dokumen resmi dan surat-surat. Hasil dari penelitian dapat disimpulkan bahwa fatwa digunakan sebagai alat bukti baik di tingkat penyidikan maupun pengadilan. Penggunaan tersebut mengindikasikan bahwa negara menerima fatwa MUI Sampang sebagai otoritatif sehingga penggunaannya diperlukan dalam pembuatan kebijakan terkait masalah kebebasan beragama. Pola tersebut menandai relasi negara dan agama yang berbeda dengan relasi agama dan negara di masa Orde Baru karena negara tidak memiliki kontrol terhadap lembaga agama tetapi justru lembaga agama yang berusaha mempengaruhi kebijakan negara. Pola tersebut menurut Stepan dapat menghambat tumbuhnya demokrasi karena pemerintah tidak independen dalam pembuatan kebijakan terkait masalah keagamaan. Namun begitu, solusi untuk memisahkan negara dan agama justru tidak tepat karena tidak sesuai dengan identitas bangsa Indonesia, yang dapat dilakukan dengan mempertimbangkan karakter bangsa Indonesia adalah menata kembali relasi negara dan agama dengan tidak memberikan otoritas penuh kepada lembaga agama dan menegaskan kembali status MUI sebagai bagian dari civil society sehingga keberadaaannya tidak dipolitisasi oleh pemerintah atau mempengaruhi kebijakan pemerintah. Selain penguatan civil society, penguatan dari sistem konstitusi juga perlu terus diupayakan yaitu dengan menyusun konstitusi dengan semangat perlindungan terhadap hak asasi manusia dan keadilan sosial.
The lost of religious minority’s constitutional rights is an evidence that The State fails to protect religious minority from intolerant actions by intolerant groups who are not willing to accept difference. This failure is caused by lack of firmness by the state to issue a policy without depending on religious minority. The case of Shi’a in Sampang clearly shows that State’s policy tends to refer to majority’s aspiration instead of accomodating the right of minority. This research is a study on state accomodation to religions which is based on two fundamental questions, the first relates to the role of fatwa issued by MUI Sampang in the case of religious defamation and the second is more theoritical in nature concerning the accomodation of religious minority’s rights. Based on that two research questions, data is collected through interviews with religious authority both in Sampang and East Java, offcial government of Sampang and the refugees of Shi’a. Furthermore, data collection is also done through library research including books, journals, articles, printed and electronic mass media, offical documents and letters. The result of the research can be concluded that fatwa is used as evidence at the level of both investigation and trial to accuse Shi’a as practicing religious defamation. The use of fatwa by the State officials indicates that the State considers fatwa as authoritative, therefore according to the state, the use of fatwa is necessary in issuing policy related to religious freedom. However, it marks new pattern of relationship between state and religion which is different from what it was before during New Order regime. Nowadays, state does not have control over religious institution, yet, religious institution attempts to influence the State policy through its fatwa. This relationship, according to Stepan hinders the growth of democracy since the state is dependent on religious institutions in concerning with the policy of religious freedom. Nevertheless, a thought to separate state and religion is imprecise since it neglects the identity of Indonesian which is religious. Therefore, Stepan argues that it is necessary to rearrange the relationship between state and religion by reaffirming each other position thus not influencing each other’s authority. Having this firm position, religions are neither politicized by the State as it occured under New Order regime nor influence the independency of the State in promoting the democary. In addition to strengthening civil society, it is important to strengthen the system of the constitution by arranging it on the spirit of protecting human right and social justice.
Kata Kunci : negara, demokrasi, akomodasi, kelompok minoritas, MUI