KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN DAN PERLAWANAN PETANI HUTAN DESA TEMULUS DI KAWASAN RPH KEDUNGSAMBI
PUGUH PAMBUDI WIBOWO, Dr. Erwan Agus Purwanto, M.Si.
2013 | Tesis | S2 Manajemen dan Kebijakan PublikMulai dari kerajaan-kerajaan Jawa hingga pemerintah Indonesia adalah rentan periode-periode penting tentang bagaimana rezim kebijakan silih berganti mewarnai riwayat perjalanan pengelolaan hutan di Jawa tersebut. Tetapi, penerapan kebijakan penguasaan dan pengelolaan sumber daya hutan yang masih dipertahankan sampai saat ini tak lantas dapat diterima oleh semua pihak, termasuk perlawanan petani hutan Desa Temulus, Kecamatan Randublatung, Blora yang sampai saat ini masih dilakukan. Pola pemanfaatan hutan di kawasan RPH Kedungsambi oleh petani hutan Desa Temulus seringkali bertentangan dengan kebijakan pengelolaan sumber daya hutan oleh negara. Persepektif negara yang sentralistik sering membuat petani hutan Desa Temulus yang marjinal semakin tertindas secara struktural. Pertanyaan besar yang ingin dijawab oleh penelitian ini adalah, mengapa kebijakan pengelolaan hutan yang telah direncanakan dan dimplementasikan di kawasan RPH Kedungsambi ternyata menimbulkan perlawanan petani hutan Desa Temulus hingga sekarang? Penelitian ini bertujuan mengetahui kebijakan pengelolaan sumber daya hutan di kawasan RPH Kedungsambi, perlawanan petani hutan, alternatif kebijakan melalui regulatory negotiation. Penelitian ini dilakukan menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan fenomelogi di Desa Temulus kawasan hutan RPH Kedungsambi. Data yang dipakai adalah data primer dan sekunder yang diperoleh melalui (1) pengumpulan data dalam bentuk dokumen melalui browsing dan clipping print; (2) observasi langsung; (3) wawancara mendalam; (4) FGD (Forum Group Discussion)-diskusi kelompok. Data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan teknik kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa : (1) kebijakan pengelolaan sumber daya hutan berbasis pada negara kurang memihak kepentingan petani hutan menimbulkan perlawanan tertutup di era Orde Baru maupun terbuka di era Reformasi. Usaha pemerintah untuk memisahkan penduduk dari hutan dan menghapuskan hak-hak tradisi petani hutan terhadap hutan menimbulkan ketegangan dan konflik, serta menjadi ancaman terhadap kelestarian hutan; (2) terjadinya perlawanan petani hutan berakar pada nilai-nilai tradisi kepemilikan komunal atas sumber daya hutan, persoalan ekonomi, dan kesenjangan sosial terhadap perilaku eksploitasi, diskrimatif atas akses sumber daya hutan oleh pihak pegawai Perhutani dan petani merasa bahwa kawasan RPH Kedungsambi adalah bekas Dusun Babadan Sidorejo yang telah dibubarkan sepihak. Oleh karena itu, perlu digagas model pengelolaan sumber daya hutan berbasis masyarakat. Kemudian, dalam kasus ini dinobatkan regulatory negotiation untuk mencari format “kontrak sosial baru†antar stakeholder berbentuk Peraturan Daerah Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat dan tentunya tidak meninggalkan aspirasi petani hutan Desa Temulus.
Starting from Javanese Kingdoms to Indonesian government is the span of important periods on how ever changing policy regimes in the history of forest management in Java. But, the implementation of forest resources control and management still maintained today hasn’t been accepted by every party, including the resistance of the forest farmers of Temulus Village, District Randublatung, Blora which is still ongoing. The forest farmers of Temulus Village forest use patterns often conflict with forest resources management policy by the state. The dominant prespective of the state often makes the forest farmers of Temulus Village increasingly marginal and structurally repressed. The big question that would like to answered by this research is, why does forest management policies which have been planned and implemented in RPH Kedungsambi area cause the forest farmers of Temulus Village’ resistance to this day? This study aims to find out forest resources management policy in RPH Kedungsambi area, resistance of the forest farmers of Temulus Village, alternative policy strategy by using regulatory negotiation. The study was conducted by using a discriptive qulitative method with a phenomenalogikal approach. The data used were primary and secondary data obtained through: (1) data collection in the form of documents and clipping browsing through print, (2) direct observation, (3) in-depth interviews, (4) FGD (Focus Group Discussion)-group discussion. The data were collected were then analyzed using qualitative technique. The results of this study that : (1) state-based forest resources management policies don’t side with forest farmers’ interest, causing closed resistances in New Order government era and open resistances in Reformation government era. The government’s efforts to remove communities from forests and erase traditional rights of forest farmers on forest cause tension and conflicts, as well as threatening forest conservation; (2) forest farmers’ resistances are rooted in traditional values of communal ownership on forest resources, economic issues, and social inequality on exploitative, discriminative behaviors on access to forest resources by employees of Forestry Public Company and the forest famers fell that RPH Kedungsambi area is ex Babadan hamlet which have been dispersed. Therefore, the model of community based forest resources sholud be initiated. Then, this case proposes a regulatory negotiation to look for a format of “new social contract†among various stakeholders in the form of Local Regulation and of course involves forest farmers of Temulus Village by implementing community forestry. Community Based Forest Management Local Regulation and of course involves forest farmers of Temulus Village aspiration.
Kata Kunci : kebijakan pengelolaan sumber daya hutan, perlawanan sosial, regulatory negotiation