Laporkan Masalah

PELAMBANG ALAM LELUHUR: STUDI MITOS PETILASAN PEWAYANGAN DI GUNUNG RAHTAWU MURIA JAWA TENGAH

Ahsan, S.Th.I, Dr. Samsul Maarif

2013 | Tesis | S2 Agama dan Lintas Budaya

Studi ini mengkaji mitos petilasan pewayangan di Gunung Rahtawu sebagai bagian dari fenomena budaya dan agama. Fenomena ini menarik mengingat tradisi pewayangan biasanya hanya dikenal dalam pentas pagelaran seni, sementara di Gunung Rahtawu diperlakukan sebagai “cerita narasi suci”, bahkan tabu bagi masyarakat setempat untuk menggelar pentas wayang kulit di desanya. Tradisi ini mengakar cukup kuat dan masih dihayati oleh penduduk lereng Muria dalam sejumlah ritus budaya dan agama. Di satu sisi, Rahtawu dianggap sebagai peninggalan dari masa Jawa Kuno dan dikunjungi secara masal pada hari-hari tertentu semisal 1 Sura. Namun di sisi lain, muncul pula anggapan dari pihak luar bahwa mitos-mitos di Gunung Rahtawu adalah takhayul, irrasional, mengada-ada, dan bahkan dicap buruk oleh beberapa orang di luar penghayat kebudayaan Rahtawu. Ragam tafsir itu ingin diselidiki lebih jauh melalui studi mitos petilasan yang nampak menyimpan khazanah sekaligus misteri untuk diselidiki. Tujuannya adalah untuk mengungkap makna-makna dalam mitos petilasan pewayangan dalam kebudayaan masyarakat Rahtawu. Untuk mengurai jalinan maknanya, studi ini menggunakan pendekatan sistem simbol dan ilmu interpretif yang bertujuan untuk menggali dan mengungkap maknamakna. Hal ini berguna untuk melihat tidak kurang dari 22 petilasan yang masingmasing menyimpan kekayaan mitos tersendiri. Petilasan-petilasan ini tersebar di sekitar pemukiman penduduk Desa Rahtawu, di dekat mataair, di belantara hutan, dan di puncak-puncak pegunungan. Dengan cara itulah diharapkan dapat dijelaskan gejalagejala budaya yang dihayati oleh masyarakat Rahtawu. Mitos-mitos ini menjadi bagian dari cerita yang sangat tua dan diwariskan secara turun temurun. Tradisi ini pada mulanya disampaikan secara lisan hingga munculnya petilasan-petilasan yang menjadi sistem simbol kebudayaan masyarakat Rahtawu. Adapun temuan pokok dari hasil studi ini setidaknya terangkum dalam tiga hal. Pertama, mitos-mitos petilasan di Gunung Rahtawu mirip sekali dengan cerita-cerita yang digambarkan dalam dunia pewayangan baik dari sisi letak dan keadaan alamnya, isi ceritanya, figur-figurnya, maupun pemosisian nama-nama pewayangan dengan latar belakang cerita yang disebut dalam dunia pewayangan. Kedua, petilasan yang ada menyingkap simbol “alam leluhur” yang memiliki jalinan makna multivokal, diantaranya terkait kekerabatan, keberagamaan, dan integrasi sosial masyarakat lereng Muria. Ketiga, ada kontradiksi makna antara mereka yang percaya dengan pihak luar yang tidak percaya dan masing-masing disikapi sesuai dengan kearifan lokal dalam proses sosial yang sedang berlangsung untuk menjalin keselarasan kosmos. Adapun bagian yang paling umum adalah munculnya variasi makna dalam dua pola, yaitu “makna subyektif” dan “makna obyektif”. Makna subyektif ini diperlihatkan melalui laku kebudayaan dan keberagamaan yang bersifat individual dan personal; sedang makna obyektif diperlihatkan pada pola-pola kebudayaan dan keberagaman yang bersifat komunal dan kolektif. Hal ini berarti bahwa nilai-nilai lokal tidak selalu hilang diterpa nilai-nilai global, melainkan selalu terjadi hubungan dialektik diantara keduanya di dalam proses sosial yang mengiringinya.

This study examines cultural and religious phenomena of petilasan myths in the mountain of Rahtawu, Muria, Central Java. Petilasan is a sacred site(s) referring to an ancestor(s). This research investigates oral tradition of pewayangan myths that are presented in the petilasan(s). It studies symbols of petilasan which are believed to contain socio-religious and cultural meanings and values. The Rahtawu villagers believe that Rahtawu myths symbolize ‘ancestral world’ (alam leluhur), the relics of the ancient Javanese culture. For outsiders however, Rahtawu myths are superstitious, irrational, and ridiculous. The aim of this study is to examine religious and cultural meanings and values actively reproduced in activities of the Rahtawu Society. This study considers more than 22 petilasan scattered around Rahtawu villages. They are found in the forest, the springs, and on tops of mountains. Each of them has properties and frequently related to the shadow puppets myths. Those myths have originally delivered orally to set up a system of principles and values in the Rahtawu Society. Findings of this study elaborate in at least three aspects. First is the myths of petilasan pewayangan which are similar to stories depicted in the ‘shadow puppets world’ in terms of location and natural conditions, the contents of the story, figures, as well as heroes with background stories mentioned in the ancestral world. Second is the existence of petilasan that reveals symbols of the ‘ancestral world.’ Those symbols are meaningfully multi-vocal. They conveys about kinship system and values, religious, and social integration in the slopes of Muria Mountains. Third is there is a different interpretation between those who believe in myths and those who do not, but each addresses accordingly to their local wisdoms in social processes that underline the establishment of harmony. In addition, this mythical tradition reproduces varieties of meanings in two patterns: ‘subjective meaning’ and ‘objective meaning’. Patterns of subjective meaning have demonstrated through cultural and religious behaviors. They are characteristically individual and personal. Patterns of objective meanings have exercised through the cultural practices and diversity. Their characteristics are communal and collective. These diverse patterns of meanings imply that local values are not always vanished when encountering global values. There are always kinds of dynamic and dialectical relations in every encounter such as the ones between the local and the global.

Kata Kunci : mitos, petilasan, makna, wayang, gunung, Rahtawu


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.