ETNOSENTRISME DAN POLITIK REPRESENTASI DI ERA OTONOMI KHUSUS PAPUA
Avelinus Lefaan, Prof. Dr. Heru Nugroho
2013 | Disertasi | S3 Kajian Budaya dan MediaKetika terjadi perubahan konstelasi politik nasional yang ditandai oleh berakhirnya rezim pemerintah Orde Baru, maka di Papua pun terjadi dinamika politik lokal yang signifikan. Pemerintah pusat kemudian memberikan Otonomi Khusus sebagai sebuah kompromi politik atas tuntutan gerakan Papua Merdeka. Dalam perkembangan lebih lanjut, era Otonomi Khusus ini menyedorkan berbagai fakta dan permasalahan yang kompleks, terutama ketika isu etnosentrisme dan merebaknya praktik politik representasi di kalangan segenap elite Papua. Studi ini berusaha mencari penjelasan di seputar isu etnosentrisme dan politik representasi tersebut dengan pendekatan kualitatif. Beberapa temuan studi ini antara lain bahwa etnosentrisme masih menguat di Papua. Praktik etnosentrisme itu berlangsung pada ranah politik, birokrasi, dan sosial-ekonomi. Dalam ranah politik, praktik etnosentrisme berlangsung dalam dinamika politik kepartaian, terutama pada evens Pilkada. Dalam birokrasi yang masa sebelumnya lebih banyak didominasi oleh sumber daya dari luar, kemudian muncul gejala papuanisasi sektor birokrasi dengan mengambil momentum Otonomi Khusus. Dalam ranah sosial, etnosentrisme tampak pada terbelahnya citra orang Papua daratan dan orang Papua gunung. Dikotomi ini kemudian dieksploatasi oleh segenap elite politik lokal untuk merebut kekuasaan dalam arena kontestasi politik, yaitu Pilkada. Praktik politik representasi sering dilakukan oleh segenap elite politik Papua dalam dinamika politik lokal. Politik pengatasnamaan rakyat ini pun lantas menjadi gejala yang marak melalui permainan bahasa politik para elite politik lokal. Para elite itu berusaha merepresentasikan realitas rakyat jelata tetapi atas konstruksi dan frame elite, dan sekaligus di balik itu demi kepentingan elite itu sendiri. Mereka selalu bicara bahwa rakyat ingin ini dan itu, sehingga apa yang direpresentasi tentang realitas kebutuhan rakyat itu tidak lain adalah kepentingannya sendiri. Resistensi rakyat Papua atas praktik politik representasi itu diwujudkan dalam berbagai bentuk tindakan protes melalui unjuk rasa agar elite politik mengembalikan Otonomi Khusus kepada pemerintah pusat, karena selama ini tidak membawa dampak positif bagi kesejahteraan rakyat. Namun sebagian besar warga Papua, terutama yang berada di daerah pedalaman tidak tahu bahwa Otonomi Khusus itu sebenarnya untuk mereka, sehingga nasib mereka tetap tertinggal, terpinggirkan, dan tanpa bersuara.
After the fall of the New Order regime, the national political constellation has changed.This situation has given impact to the dynamics of local politics. Papua has undergone such a situation. The government has established special autonomy in Papua as a kind of political compromise upon demands from the Independent Papua Movement. However, the implementation of special autonomy in Papua has resulted in complex problems, which are related to the notion of ethnocentrism and the politics of representation among Papuan elites. This study is aimed to examine how ethnocentrism and politics of representation take place in Papua during the implementation of special autonomy. The result of the study demonstrates that ethnocentrism is getting stronger in Papua, especially in the political field, bureacracy and social field. In the political field, ethnocentrism has been indicated in the dynamics of political parties, particularly during the local political elections. In bureaucracy, ethnocentrism has taken a form in the Papuanization of bureacracy, which previously had been dominated by non-Papuan resources. In the social field, ethnocentrism can be indicated through the dichotomy of Papuan image, namely “Papua Daratan†versus “Papua Gunungâ€. Such dichotomy has been used and exploited by local political elites to win political struggle such as local political elections. Politics of representation has been undertaken through political language game among local elites. In disguise of representing the grass-root, those elites actually struggle to win their own interests.
Kata Kunci : Etnosentrisme, Representasi, Politik Representasi