Konstruksi Identitas Kepapuaan Dalam Dinamika Arus Demokrasi
Habel Suwae, Prof. Dr. Heru Nugroho,
2013 | Disertasi | S3 Kajian Budaya dan Mediaa Pembentukan identitas seseorang baik sebagai individu maupun kelompok pada perinsipnya melalui dua proses relasi, yaitu relasi dengan orang lain dan dirinya sendiri. Dalam relasinya dengan orang lain itulah kemudian membuka peluang bahwa pembentukan identitas sangat dipengaruhi faktor eksternal. Studi ini memfokuskan pada pembentukan identitas warga Papua dalam relasinya dengan narasi dominan, yaitu negara dan agama, di mana keduanya selama ini merupakan faktor eksternal yang cukup dominan dalam mengkonstruksi identitas Papu . identitas kepapuan dikonstruksikan oleh kekuatan negara melalui politik penyeragaman. Pada masa itu orang Papua adalah obyek yang Temuan studi ini antara lain, dipandang oleh pemerintah pusat, sehingga terus mengalami marginalisasi dalam segala aspek kehidupan baik politik, ekonomi, maupun sosial-kebudayaan. Melalui proyek kesatuan dan persatuan bangsa, orang Papua harus menjadi orang Indonesia yang bias pusat. Di sinilah kemudian terjadi bagaimana konstruksi Papua oleh pusat berada dalam posisi yang dipandang sebagai daerah pinggiran. Mula-mula cara pandang pusat memang secara teritori, tetapi kemudian juga secara politik dan kebudayaan. Oleh karena itu Papua mengalami marginalisasi baik secara politik maupun kebudayaan. Sementara itu, agama, dalam hal ini agama Kristen, memandang sistem keyakinan masyarakat Papua yang lebih berkarakter animisme sebagai liyan (others). Dalam pandangan Kristen agama lokal orang Papua adalah masalah yang harus diselesaikan dengan sistem keyakinan Kristen, agama smitis yang monotiesme. Sebagai narasi dominan, agama Kristen memposisikan diri sebagai superior atas inferioritas agama lokal orang Papua. Karena itu dalam rangka kristenisasi agama lokal Papua semua keyakinan orang Papua harus ditinggalkan dan harus memeluk Kristen. Politik penundukan ini berlangsung secara sistematis melalui berbagai jalur, baik politik, ekonomi, dan kebudayaan. Dalam kondisi dan kesadaran sebagai orang pinggiran itulah kemudian orang Papua mengkonstruksi identitasnya. Pada umumnya orang tidak pernah mempertanyakan bahwa bagaimana proses terbentuknya kesadaran itu, yang sebenarnya kesadaran yang dibentuk, sebuah kesadaran dikonstruksikan oleh pihak eksternal dan ketika melakukan proses komunikasi intrapersonal maka terjadilah proses konsensus bahwa kami orang Papua memang seperti yang dikonstruksikan oleh pihak luar itu. Terdapat tiga respons atas konstruksi identitas Papua leh kedua narasi dominan tersebut. Pertama, ada yang merespons dengan ketundukan, dalam arti proses pembentukan identitas internalnya sangat dipengaruhi oleh pengkonstruksi faktor eksternal, yaitu negara dan agama. Dalam proses ini, orang Papua mengkonstruksi identitasnya seperti yang dikonstruksi negara, dengan menjadi Indonesia yang bias pusat. Sementara orang Papua juga mengkonstruksi identitasnya seperti yang dikonstruksikan agama, dengn menjadi Kristen yang meninggalkan sistem keyakinan lokalnya, dan bahkan ada yang berbalik menjadi pelaku pemberantasan keyakinan lokal. Respons kedua atas pengkonstruksian dua narasi bersar tersebut adalah akomodatif. Akan tetapi sikap akomodatif orang Papua ini lebih tepat penerimaan dalam ketidakberdayaan. Karena kondisi obyektif masyarakat Papua memang lemah sumber daya manusia, dan bersamaan dengan itu perlu akselerasi dan eskalasi untuk maju atau modern, maka mau tidak mau Papua perlu penggerak ekonomi, penggerak pendidkan yang harus didatangkan dari luar. Akhirnya ia berada dalam suatu situasi serba terpaka menerima kedatangan pihak dari luar. Sikap mereka terhadap luar ini terpaksa harus “toleranâ€, yang secara substantif lebih merupakan ketidakberdayaan. Respons ketiga atas pengkonstruksian identitas dari dua narasi dominan itu adalah dengan negosiasi. Dengan mengambil momen era reformasi, orang Papua mencoba mengkonstruksi identitasnya dengan taktik negosiasi. Dengan taktik negosiasi itu orang Papua mengkonstruksi identitas yang cair, sebuah identitas yang meng “atasâ€-i kekentalan golongn, etnis, dan agama. Caranya dengan taktik bernegosiasi dan dialog dengan narasi dominan.
This study reveals that the state has exerted politics of homogenization upon the Papuans. The Papuans have been positioned as objects by the state. It is no surprising that the Papuans experience marginalization in almost all aspects of life such as politics, economy and socio-culture. Under the guise of national unity, the Papuans have been compelled to adjust their own identity to national identity defined by the state. This study also reveals that the state marginalizes Papua, not only in terms of territory but also politically and culturally. Construction of identity involves two kinds of relations, individual and social. Regarding the latter, it could be said that the construction of identity has been influenced by external factors. This study attempts to examine how external factors influence the way in which the Papuans construct their identity. More specifically, this study is aimed to analyze how dominant narratives, namely, state and religion, play a significant role in the construction of Papuan identity, both during the New Order and Reform eras. On the order hand, religion, particularly Christian, has been playing roles in marginalizing Papuan’s local religion which so-called animism. There is such a dichotomy: Christian/Animism, self/other, superior/inferior. In the perspective of Christianity, animism is considered as part of problems to be overcome by Christian religion. Christianization, therefore, has been chosen as a solution. In this sense, the Papuans are persuaded to leave their local system of belief and becoming Christian adherents. Those two dominant narratives, to some extend, have influenced the way in which the Papuans construct their own identity. This study demonstrates three kinds of identity constructions among the Papuans. First, the Papuans totally adjust and adhere to the identity set by the state and the Christian religion. They identify themselves as Indonesians, as constructed by the state; they also become the adherents of Christianity. Not only do they leave animism, but they fight against and attempt to remove it. Second, the Papuans accommodate identity set by the state and Christian religion. Due to the limited resources economically, culturally and politically, the Papuans choose to conform to ideas offered by the state and Christian religion. They realize that they need external supports in order to develop Papua. Third, the Papuans choose to negotiate identity set by the state and Christian religion. The Papuans apply tactics of negotiation and of dialogue with the dominant narratives. During the Reform era, particularly, the Papuans attempt to construct fluid identity, which enables them to cope with the solidity of identity of ethnicity, of religion and of other social groups living together in Papua.
Kata Kunci : Negara, Identitas, Papua, Multikultural