MODEL PENYELESAIAN KONFLIK KERUANGAN ANTARA GAJAH DAN MANUSIA DI KABUPATEN BENGKULU UTARA
Heri Purnomo, Ir. Gunung Radjiman, M.Sc
2013 | Tesis | S2 Magist.Prnc.Kota & DaerahKonflik keruangan antara gajah dan manusia merupakan fenomena yang sering terjadi di beberapa daerah yang terdapat habitat gajah, tidak terkecuali di Kabupaten Bengkulu Utara. Konflik ini terjadi akibat adanya peningkatan pemanfaatan lahan untuk keperluan permukiman, pertanian, perkebunan dan pertambangan. Akibatnya kawasan hutan yang pada awalnya merupakan habitat gajah dikonversi, sehingga wilayah jelajah gajah menjadi sempit. Hal inilah yang mengakibatkan terjadi konflik antara gajah dan manusia yang merugikan kedua belah pihak. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan mengunakan metode wawancara, kuesioner Delphi dan Focus Group Discussion (FGD). Wawancara dilakukan untuk menggali permasalahan yang terkait dengan konflik keruangan antara gajah dan manusia. Kuesioner Delphi digunakan untuk menjaring pendapat para pakar/ahli mengenai model penyelesaian konflik keruangan antara gajah dan manusia. Selanjutnya FGD digunakan untuk menjaring opini dari pengguna model terhadap model yang telah dirumuskan berdasarkan pendapat para pakar/ahli. Penelitian ini menghasilkan tiga model penyelesaian konflik keruangan antara gajah dan manusia yang terjadi di Kabupaten Bengkulu Utara berdasarkan pendapat para pakar/ahli yaitu model penyamaan persepsi stakeholder, model peningkatan status dan perluasan habitat gajah dan model pengelolaan intensif kawasan PLG Seblat dan sekitarnya. Berdasarkan opini pengguna model, ketiga model tersebut merupakan model yang dapat digunakan untuk menyelesaikan monflik keruangan antara gajah dan manusia secara menyeluruh. Namun demikian terdapat beberapa kelemahan dari model yang dihasilkan yaitu model terlalu komplek sehingga sangat sulit untuk diaplikasikan di lapangan, memerlukan waktu yang lama dan biaya yang besar serta memerlukan komitmen yang kuat dari seluruh pihak yang terkait. Berdasarkan kelemahan yang ada pada model yang diusulkan oleh para pakar/ahli, maka dalam penelitian ini mengusulkan model relokasi perambah di kawasan koridor gajah sebagai salah satu alternatif model penyelesaian konflik keruangan antara gajah dan manusia. Hal ini didasari pada lemahnya penegakkan hukum terhadap para perambah, sehingga upaya relokasi perambah merupakan salah satu solusinya.
Spatial conflict between elephants and humans is a phenomenon that often occurs in some areas there are elephant habitat, not least in North Bengkulu. The conflict is due to the increased use of land for residential, agriculture, plantation and mining purposes. As a result, the forest area was originally an elephant habitat is converted, so the elephant into narrow ranges. This has resulted in a conflict between elephants and humans that harm both parties. This research is a qualitative study using interviews,Delphi method and Focus Group Discussion (FGD). Interviews were conducted to explore issues related to spatial conflict between elephants and humans. Delphi method was used to solicit the opinions of the experts on the model of the spatial resolution of conflicts between elephants and humans. Furthermore, FGD was used to solicit opinions from the user models that have been formulated by the experts. This study resulted in three spatial models of conflict resolution between elephants and humans that occurred in North Bengkulu by the experts. There are (a) stakeholder perception models, (b) the model increased the status and elephant habitat expansion; and (c) intensive management model PLG Seblat and surrounding areas. Based on user opinion, the third models can be used to resolve the spatial konflik between elephants and humans as a whole. However, there are some disadvantages of the models due to the model is too complex so it is very difficult to be applied in the field. Besides it is take a long time and an expensive, and requires a strong commitment from all stakeholders. Based on weaknesses in the model proposed by experts, this research proposes the relocation of squatters of the elephant corridor as an alternative model of the spatial resolution of conflict between elephants and humans. This is based on the lack of law enforcement against the squatters.
Kata Kunci : Model, Konflik, Model Penyelesaian Konflik, Konflik Gajah dan Manusia