Laporkan Masalah

MERAJUT RESISTENSI DI TENGAH REPRESI (Kajian Tentang Jemaat Ahmadiyah Indonesia di lombok , Indonesia)

NGATINI, Zainal Abidin Bagir, Ph.D,

2013 | Tesis | S2 Agama dan Lintas Budaya

Tidak ada satupun sikap yang muncul tanpa ada sedikit unsur akting, kata George Elliot seperti yang dikutip Scott dalam bukunya Domination and the Arts of Resistance (Scott, 1990: 1). Pemyataan elliot tersebut tidaklah berlebihanjika diterapkan untuk memahami kasus yang terjadi pada Jemaat Ahmadiyah Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Jemaat Ahmadiyah Lombok merupakan bagian dari Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), salah satu aliran dalam Islam yang difatwakan sesat dan menyesatkan oleh Majelis Ulama Indonesia tahun 1980 dan diulangi kembali tahun 2005. Menyusul fatwa sesat tersebut,berbagai usaha untuk mencegah pertumbuhan eksistensi ajaran Ahmadiyah dan mengembalikan anggotanya ke ''jalan yang benar\", terus dilakukan dengan jalur persuasi koersif (Lofland & Skonovd,1981). Di daerah Lombok upaya persuasi koersif yang diwujudkan dalam berbagai bentuk dari penerbitan berbagai surat larangan penyebaran ajaran/paham Ahmadiyah oleh Bupati dan Kepala Kejaksaaan negeri; bujukan halus dengan berbagai janji dan ancaman; ejekan; pengucilan dari dunia kerja dan pergaulan sosial; pelemparan batu; pemukulan; pengusiran; pembakaran rumah; penjarahan harta; hingga penghilangan nyawa. Persuasi koersif yang terjadi sejak 1972 hingga 2011 ini mengakibatkan jemaat Ahmadiyah Lombok mengalami objective-subjective deprivation (Beith-Hallahmi & Argyle, 1997) seperti kehilangan tempat tinggal, kehilangan sumber mata pencaharian tetap, kehilangan anggota keluarga, kehilangan harta benda, terusir dari kampung halaman, mengungsi dari satu tempat ke tempat lain selama 6 tahun, menderita gangguan kejiwaan, dan lain sebagainya. Namun, semua usaha persuasi koersif tersebut tidak terlalu membuahkan hasil, terbukti meskipun sudah dilarang dan diberi ancaman dalam berbagai bentuk masih ada jemaat yang memutuskan tetap menjadi Ahmadiyah dan beraktivitas seperti biasa bahkan mencoba melakukan resistensi. Melalui pendekatan sosiologis, penelitian ini bertujuan untuk mengeskplorasi alasan mengapa sejumlah jemaat Ahmadiyah di Lombok memilih untuk tetap menjadi Ahmadiyah di tengah tekanan keras kelompok mayoritas Muslim. Selain itu, penelitian ini juga ditujukan untuk mengetahui bagaimana pola adaptasi jemaat Ahmadiyah Lombok yang bertahan tersebut terhadap situasi yang mereka hadapi. Data dalam penelitian ini didapatkan melalui serangkaian wawancara mendalam dengan jemaat Ahmadiyah dan pihak non-Ahmadiyah; observasi partisipatif terhadap kehidupan jemaat Ahmadiyah; studi literatur terhadap sumber tentang Ahmadiyah dari berbagai sumber; dan mengumpulkan data dari bulan Januari sampai dengan F ebruari tahun 2012. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa ada tiga alasan mengapa sejumlah jemaat memutuskan untuk tetap menjadi Ahmadiyah di tengah tekanan keras mayoritas Muslim dan pemerintah, yaitu alasan teologis, alasan sosiologis dan alasan etis. Sementara itu, untuk dapat meminimalisir dampak tekanan dari kelompok mayoritas Muslim yang tidak menghendaki keberadaan mereka, jemaat Ahmadiyah Lombok melakukan resistensi yang penulis kategorikan menjadi dua; resistensi publik dan resistensi domestik. Kedua jenis resistensi ini merupakan jenis resistensi yang disebut oleh James C. Scott sebagai everyday forms ofresistance atau the infrapolitics ofsubordinate group.

\"There is no action possible without little acting\", said George Elliot as quoted by Scott in his work Domination and the Arts of Resistance (Scott, 1990: 1). I think Elliot's statement fits best to summarize what has been going with Indonesian Ahmadiyya in Lombok, West Nusa Tenggara. Indonesian Ahmadiyya in Lombok is part of Indonesian Ahmadiyya congregation (JAI), an Islamic sect which has been condemned by the Indonesian Ulama Council (MUI) in 1980 and repeated in 2005 as defiance of Islam due to its belief in Mirza Ghulam Ahmad as the promised Messiah. FollOwing the religious decree of MUI issued in 1980 and reissued in 2005 which banned Ahmadiyya's religious activities, there have been numbers of efforts to inhibit Ahmadiyya's teaching from growing and to bring the members of Ahmadiyya back to the \"right tracl('. These efforts find their way in so-caned coercive persuasion (Lofland & Skonovd, 1981). In Lombok, the coercive persuasion has many forms ranging from legal laws of local governments banning Ahmadiyya activities, bribery, intimidations, exclusions from social activities, stoning, expulsion, house burnings, robbery, to killing. The coercive persuasion that has been taking place since 1972 leads Indonesian Ahmadiyya congregation in Lombok to experience objective-subjective deprivations (Beith- Hallahmi & Argyle, 1997). Those objective-subjective deprivations are like losing dwelling places, losing jobs, losing family members, losing possessions, undergoing psychological disorder, fleeing from their hometown, doing refugee from one place to another place and finally living in refugee camp for more than 6 years. Still, despite being in the face of miasma, JAI In Lombok, persists being Ahmadis, doing their daily activities as usual and resistance at the same time. Employing sociological approach, this research intends to investigate why certain numbers of lAI in lombok remained to be Ahmadis under such miasma. Furthermore, this research afso aims to explore how some people who remained to be Ahmadis adjust themselves to such coercive and persuasive condition and deal with their objective-subjective deprivations. The data for this research were collected through a series of individual in-depth and group interviews with Ahmadis and non-Ahmadis, participative observation over the Ufe of JAI in Lombok, and studying the literatures on Ahmadiyya issue from January to February 2012. The research shows that there are three kinds of reasons of why certain numbers of people remained to be Ahmadis despite such miasma they face; theological reason, sociological reason, and ethical reason. Meanwhile, to make the impact of coercive persuasion and the objective-subjective deprivation less severe, they do, following Scott, everyday forms of resistance or the infra-politic of subordinate group. Relying on Scott's theory of reSistance, , categorize the resistance of jAr in Lombok into two groups; public resistance and domestic resistance.

Kata Kunci : persuasive coercion, objective-subjective deprivation, everyday forms ofresistance


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.